Nazi-Jerman menduduki Belanda pada 10 Mei 1940. Mahasiswa Indonesia dalam Perhimpunan Indonesia ikut melakukan verzet atau perlawanan. Beberapa dari mereka tertangkap bahkan mati di kamp konsentrasi Nazi, seperti Sidartawan dan Moen Soendaroe. Sedangkan Irawan Surjono tewas ditembak Nazi ketika berusaha melarikan diri dari razia.
Penangkapan Soendaroe berawal dari tertangkapnya Stijntje "Stennie" Gret, kekasih Djajeng Pratomo di Rotterdam. Polisi politik Nazi (Sicherheitsdienst) pun mengetahui alamat Djajeng Pratomo di Den Haag.
“Tanggal 18 Januari 1943 Sicherheitsdienst melancarkan penggerebekan. Djajeng dan teman sekamarnya, Moen Soendaroe ditahan,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah.
Baca juga: Irawan Soejono Mati Ditembak Nazi
Djajeng kuliah kedokteran sedangkan Soendaroe studi di Sekolah Tinggi Tekstil di Enschede sejak tahun 1939. Dalam penggeledahan ditemukan sejumlah majalah ilegal. Bukti ini menjadi alasan kuat untuk menahan kedua mahasiswa itu. Dua orang buruh Indonesia, Kajat dan Hamid, yang sedang bertamu juga ikut ditahan. Kedua buruh yang tak tahu apa-apa itu kemudian dilepaskan.
Meskipun menjalani interogasi yang lama dan berat, Djajeng dan Soendaroe tak mengungkapkan apapun tentang kegiatannya dan Perhimpunan Indonesia. Mereka kemudian dimasukkan ke Kamp Vught di Belanda.
Baca juga: Perhimpunan Indonesia, Wahana Perjuangan di Negeri Belanda
Pada Maret 1943, Djajeng lewat kurir ilegal, dapat menyampaikan informasi tentang interogasi kepada kawan-kawannya di Perhimpunan Indonesia. Kegiatan Perhimpunan Indonesia di Rotterdam dan Den Haag ditangguhkan. Para pemimpinnya bersembunyi. Djajeng berhasil menenangkan mereka dengan menyatakan bahwa orang Jerman tak tahu apapun tentang kegiatan Perhimpunan Indonesia.
Djajeng dan adiknya, Gondo Pratomo yang belajar di Sekolah Tinggi Dagang, kemudian dikirim ke Kamp Dachau; Stennie ke Kamp Ravenbruck, dan Soendaroe ke Kamp Neuengamme.
“Djajeng Pratomo berhasil bertahan hidup di Dachau dan bebas dari sana, sedang Moen Soendaroe meninggal di Neuengamme,” tulis Poeze.
Kamp Neuengamme merupakan bagian dari jaringan kamp konsentrasi Nazi, yang terdiri dari kamp utama dan lebih dari 85 subkamp. Didirikan pada 1938 di dekat Desa Neuengamme, Bergedorf, Hamburg, Kamp Neuengamme menjadi kamp konsentrasi terbesar di Jerman Barat Laut. Lebih dari 100.000 tahanan di kamp utama Neuengamme dan subkamp, 24 subkamp di antaranya untuk tahanan perempuan. Korban tewas yang terverifikasi adalah 42.900: 14.000 di kamp utama Neuengamme, 12.800 di subkamp, dan 16.100 karena pemboman selama minggu-minggu terakhir Perang Dunia II.
Baca juga: Sidartawan Mati di Dachau, Kamp Konsentrasi Pertama Nazi
Data kematian Soendaru tercatat di kz-gedenkstaette-neuengamme.de. Disebutkan nomor tahanannya 59167, lahir di Surabaya pada 17 Maret 1919, dan meninggal di kamp utama Neuengamme pada 22 Januari 1945.
Di Dachau, Djajeng melihat tumpukan mayat setiap hari. Dia bekerja paksa di pabrik pesawat terbang Messerschmitt. Setiap hari dia juga menyaksikan orang digantung. Jika ada peluang, dia mencoba menyelamatkan tawanan.
Baca juga: Djajeng Pratomo, Pejuang yang Terlupakan
Di Kamp Ravenbruck, Stennie berusaha menyelamatkan tahanan perempuan dengan mencat hitam rambut mereka agar tampak muda. Sebab tahanan jompo akan dibinasakan.
Djajeng, Gondo, dan Stennie dapat bertahan dari penderitaan di kamp konsentrasi sampai dibebaskan Sekutu. Djajeng dan Stennie baru bertemu kembali pada September 1945. Mereka menikah pada Februari 1946. Stennie meninggal pada 2010 sedangkan Djajeng meninggal di usia 104 tahun pada 2018.