DIRJEN Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, pendidikan sejarah sekarang kurang menarik: membosankan, mengundang kantuk, dan penuh hafalan. Akibatnya, menjelang ujian kompetensi, banyak murid mengeluarkan jurus hafalan satu malam. Materi sejarah pun tak banyak masuk ke kepala mereka karena mayoritas pengajaran sejarah di sekolah semata membacakan ulang isi buku tanpa pemahaman sejarah yang riil dan relevan.
Hal itu menjadi satu masalah yang disoroti Direktorat Jenderal Kebudayaan sejak penyelenggaraan Seminar Sejarah Nasional (SSN) tahun 2017. Banyak hal dalam pembelajaran sejarah yang perlu dibahas secara mendalam dan dirumuskan ulang, seperti cakupan materi, kisah-kisah terpinggirkan, dan pengajaran sejarah lokal. Bertolak dari situ, Direktorat Jenderal Sejarah mengambil “Paradigma dan Arah Baru Pendidikan Kesejarahan di Indonesia” sebagai tema SSN tahun ini.
Baca juga: Sejarah di mata generasi z
“Tema (SSN, red.) merupakan amanat SSN yang pertama. Kita belum menemukan arah pendidikan sejarah. Seminar ini memberi masukan penting untuk pemerintah pada praktik pelajaran sejarah di sekolah,” kata Ketua Panitia Sri Margana dalam sambutannya di UGM, Senin (3/12) malam. Selama ini, lanjut Margana, pembahasan SSN lebih fokus pada penulisan sejarah. Sementara bahasan tentang pembelajaran kesejarahan kurang menjadi fokus, permasalahan dalam pengajaran sejarah pelan-pelan menumpuk.
Hilmar yang berhalangan hadir dalam pembukaan SSN memberikan pidato sambutannya lewat video singkat. Menurutnya, pembelajaran sejarah di Indonesia memiliki cakupan sangat luas dan seringkali menyulitkan siswa dengan hafalan tahun, tokoh, dan peristiwa. Padahal, dia mencontohkan, di beberapa negara di Eropa, pendidikan sejarah selalu terkait dengan upaya mendidik sekaligus membangun generasi bangsa. Materi dan cakupan pengajarannya pun jauh lebih sederhana.
Baca juga: Penulisan sejarah dalam mode 2.0
“Dalam kurikulum kita, pembelajaran sejarah bertujuan menumbuhkembangkan nilai-nilai kebangsaan dan mengaitkan peristiwa nasional dengan peristiwa lokal serta membangun memori kolektif kebangsaan. Cita-citanya sangat idealis namun cakupan dalam silabus masih sangat luas,” kata Hilmar.
Sebagai pembanding, Hilmar mencontohkan, pembelajaran sejarah di Singapura lebih sederhana dan tidak memberatkan siswa. Siswa tidak melulu dicekoki materi sejarah dari satu arah tetapi diajak aktif untuk menyingkap sejarah terdekat di lingkungannya. Siswa juga tidak menilai atau membuat kesimpulan tergesa-gesa atas peristiwa sejarah. Singapura mengajarkan siswa mereka untuk terbiasa melihat pandangan yang berbeda sehingga menimbulkan sikap toleran. “Selain itu, anak diberi pembelajaran secara perlahan yang sedikit-sedikit akan menimbulkan kesadaran sejarah dan empati.”
Pembelajaran sejarah ala Romo Mangun
Model pembelajaran yang disebutkan Hilmar pernah dicetuskan YB Mangunwijaya, tokoh pendidik asal Yogyakarta lewat Sekolah Dasar Kanisius Eksperimentasi Mangunan. Pengajaran sejarah, menurut Romo Mangun, sapaan akrabnya, bisa dimulai dari yang terdekat seperti sejarah keluarga, sejarah desa, atau muasal produk budaya yang ditemui sehari-hari, semisal seperti cara makan, cara berpakaian, dan makanan.
Tema-tema yang dekat dengan lingkungan sekitar akan memudahkan anak dalam mempelajari sejarah. Pengajaran model ini, menurut Romo Mangun, membuat anak paham tentang perubahan dan perkembangan yang terjadi di sekelilingnya.
Baca juga: Mendikbud: pengajaran sejarah harus diubah
Pengamatan dimulai dari yang terdekat seperti keluarga, sekolah, tetangga, desa, hingga wilayah yang lebih luas namun disesuaikan dengan kemampuan anak SD. Mengajarkan sejarah yang jauh dari jangkauan anak-anak, seperti sejarah politik, selain tidak punya relevansi langsung pada anak juga menyulitkan imajinasi mereka karena tidak dapat ditemui dalam dunia sederhana anak.
“Pembelajaran sejarah menjadi bermakna ketika anak dapat menemukan nilai sebuah peristiwa masa lampau yang dapat gunakan untuk memahami kondisi masa kini. Pada dasarnya, belajar sejarah yakni memahami kemanusiaan dan melahirkan kesadaran sejarah,” kata Romo Mangun seperti dikutip Dedy Pradipto dalam Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional.
Baca juga: Pengajaran sejarah tak lengkap dapat memicu konflik