Masuk Daftar
My Getplus

Penulisan Sejarah dalam Mode 2.0

Produksi penulisan sejarah maupun penyebaran informasi kesejarahan harus merespons situasi zaman.

Oleh: Aryono | 16 Des 2017
Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, menyampaikan sambutan dalam Peringatan 60 tahun Seminar Sejarah 1957-2017.

SEKIRA 165 ahli sejarah berbagai umur, berasal dari berbagai daerah di Indonesia, selama tiga hari, 14-16 Desember 2017, saling bertukar paparan. Masing-masing akan menyampaikan makalah yang sudah disusun, kemudian berdiskusi. Keseluruhan acara tersebut bertajuk "Peringatan 60 Tahun Seminar Sejarah 1957-2017" dengan Universitas Gajah Mada sebagai tuan rumah.

“Seminar ini adalah inisiasi dari dua lembaga, MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) dan PPSI (Perkumpulan Prodi Sejarah Seluruh Indonesia). Kemudian disusun panitia, dan UGM ditunjuk sebagai tuan rumah. Persiapannya sekitar enam bulan jadi mulai dari call of paper,” ujar Sri Margana, ketua panitia seminar sejarah, kepada Historia.

Semula, seminar ini hanya akan membatasi pada 60 pemakalah dan hanya diselenggarakan selama dua hari saja. Namun, banyaknya abstraksi makalah yang masuk, maka jumlah pemakalah yang diundang membengkak menjadi 165 orang dan waktu pun bertambah satu hari.

Advertising
Advertising

“Saya berharap ini bisa reguler, kalau bisa dibikin tahunan. Karena ini kesempatan bagi teman-teman S-2, S-3 atau teman-teman yang mempunyai skripsi bagus, bisa tampil di sini. Itu sangat membantu teman-teman yang lebih muda untuk mulai mengenal dunia riil dalam penulisan sejarah. Kalau di sini terbuka ruang. Saya senang, di sini tidak memandang umur, pangkat, jabatan, semua datang sebagai orang yang punya perhatian terhadap sejarah kita,” ujar Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, kepada Historia.

Seminar nasional kali ini mengambil tema khusus, yaitu Sejarah untuk Kebinekaan dan Keindonesiaan: Refleksi 60 tahun Seminar Sejarah Indonesia.

“Ya, karena sudah 60 tahun, sejarawan Indonesia perlu berefleksi bahwa seminar 1957 itu masih menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Seminar ini berusaha untuk menjawab masalah yang belum tuntas, seperti masalah filsafat sejarah nasional, periodisasi dan sebagainya,” ujar penulis buku Ujung Timur Jawa, 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan ini.

Seminar ini, selain merefleksikan seminar tahun 1957, juga ingin merespons keadaan sekarang. Tantangan yang dihadapi sejarawan tahun 1957, benar-benar berbeda dengan sejarawan masa kini.

Jika tahun 1957, ujar Margana, tantangannya mungkin seputar dekolonialisasi, lalu upaya mengubah persepsi historiografi kolonial ke historiografi nasional, kemudian masalah sejarah nasional yang ditulis bangsa sendiri.

“Nah, sekarang ini mungkin tantangannya berbeda. Sejarawan dihadapkan tantangan kekinian yang semakin rumit seperti belakangan ini menguatnya politik identitas, melemahnya rasa pluralisme. Di sinilah kita perlu merespons itu. Sejarawan barangkali perlu melihat dari peristiwa masa lampau yang bisa menunjukkan bahwa kebinekaan dan pluralisme itu adalah bagian dari proses sejarah yang sudah lama dan menjadi bagian dari kesepakatan bangsa,” ujar Margana. Dan oleh sebab itu, “sejarawan ditantang untuk menunjukan kajian sejarah dari sisi itu, untuk kembali menguatkan rasa kebinekaan,” imbuhnya.

Sejarah yang Meluas

Seminar sejarah kali ini mengambil empat subtema pokok yaitu (1) Menemukan Historiografi Indonesia, (2) Pluralisme dan Identitas: Pengalaman dan Pandangan Berkebangsaan, (3) Agama dan Negara: Pergulatan Pemikiran dan Ketokohan, (4) Kapita Selekta Pendidikan Sejarah Indonesia.

“Banyak pertanyaan politik yang dibahas secara akademik dalam seminar ini. Soal agama, keragaman, soal dalam masyarakat. Soal-soal ini memicu para sejarawan, para profesional untuk bekerja secara metodik memikirkan persoalan ini. Bagaimana cara kita merumuskan, bagaimana cara mengajukan pertanyaan yang tepat. Sehingga nanti tidak keluar solusi-solusi instan,” ujar Hilmar Farid, ketua MSI, semalam (14/12).

Suatu ketika, cerita Hilmar, sejarawan Sartono Kartodirdjo pernah menulis mengenai susahnya menulis macro history. Menurut Sartono, menulis macro history membutuhkan energi besar dan sumber daya manusia yang banyak.

“Persoalan teknis ini sebenarnya sekarang kita sudah punya. Jumlah orang yang belajar sejarah sudah begitu banyak, akses kepada informasi dan arsip yang sudah didigitalkan sudah ada. Jadi apa yang dulu Pak Sartono berkata tidak mungkin dilakukan, sekarang menjadi mungkin. Dan itu sudah tercermin dari makalah-makalah yang masuk dalam seminar sejarah sekarang ini,” ujarnya.

Hilmar juga menyoroti bagaimana penulisan sejarah dalam merespons situasi zaman saat ini, saat segala informasi dengan mudah dipilih sesuai selera dengan cepat. Generasi zaman sekarang, jarang membaca buku secara analog, yang membaca dari halaman depan ke halaman terakhir. Anak sekarang mencari informasi yang sesuai dengan dirinya sendiri.

“Kita ini perlu memproduksi sejarah Indonesia sentris dalam model 2.0. Mode ini mengkombinasi banyak hal dan membantu mencari apa yang kita cari. Kalo web jaman dulu, sebelum 2.0, ya kita perlu men-download untuk mencari sesuatu. Tapi dengan mode 2.0, mereka bisa bekerja sendiri, penganalisanya bukan manusia atau sejarawan, namun algoritma. Inilah ranah produksi pengetahuan sejarah hari ini,” ujar Hilmar.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Lika-liku Sejarah Pipa Bukan Belanda yang Kristenkan Sumatra Utara, Tetapi Jerman Antara Lenin dan Stalin (Bagian I) Situs Cagar Budaya di Banten Lama Pemusnah Frambusia yang Dikenal Dunia Perupa Pita Maha yang Karyanya Disukai Sukarno Musik Rock pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Pasukan Kelima, Kombatan Batak dalam Pesindo Tertipu Paranormal Palsu Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi”