Masuk Daftar
My Getplus

Langkat Kembali Bergeliat

Sempat terhenti di tangan rakyat karena revolusi sosial, para pewaris tahta Kesultanan Langkat kembali menghidupkannya.

Oleh: M.F. Mukthi | 13 Agt 2017
Prosesi pemakaman Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat Shah bin Sultan Haji Musa. Tampak jenazahnya dari Istana Darul Aman, 1927. Foto: Eth-Bibliothek Zurich, Bildarchiv.

IRINGAN-iringan kecil itu mulai bergerak dari Museum Langkat sekira pukul 9.30. Sri Paduka Duli Yang Mulia Tuanku Azwar Abdul Djalil Rahmatshah Al Hajj berjalan paling depan. Di belakangnya, sejumlah pria berpakaian teluk belanga dan perempuan berbaju kurung mengikuti. Mereka menuju Masjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara.

Sabtu pagi, 30 Maret 2013, Tuanku Azwar, pewaris tahta Kesultanan Negeri Langkat sejak 2003, menghelat acara “Anugerah Gelar Adat Melayu Kesultanan Negeri Langkat”. Selain mengangkat pemangku adat di beberapa wilayah Tanjung Pura, Tuanku Azwar memberi gelar “Datuk” kepada sejumlah orang yang dianggap berjasa bagi kesultanan.

“Acara ini bukan untuk membangkitkan kembali feodalisme, tapi membangkitkan adat istiadat,” ujar Bupati Langkat Ngogesa Sitepu dalam sambutannya. Ngogesa Sitepu merupakan salah seorang yang mendapat gelar, yakni Datuk Setia Negeri.

Advertising
Advertising

Sultan menyayangkan kian menurunnya kiprah masyarakat Melayu. “Negeri Langkat itu sudah sejak dulu ada di depan negeri yang lain. Tapi lihatlah sekarang, masyarakat Melayu semakin terpinggirkan,” ujarnya.

Dalam acara itu, pemerintah dan pihak kesultanan menyampaikan keinginan untuk menjadikan Tanjung Pura sebagai destinasi wisata sejarah. Pembangunan istana Langkat, yang telah hancur, pun diagendakan meski belum ada kepastian kapan dan di mana. “Kalau kita beritahu, nanti mahal harga tanahnya,” ujar Ngogesa Sitepu kepada Historia, sambil bergurau.

[pages]

Persaingan dan Rongrongan

Istana Darul Aman, kompleks kediaman kesultanan Langkat, bukan semata pusat pemerintahan. Ia juga simbol kemajuan peradaban; di saat wilayah lain belum memiliki tempat pendidikan formal dan pemerintah kolonial Belanda belum menjalankan politik etis di Sumatra, kesultanan telah mendirikan sekolah formal untuk warganya. Sultan Abdul Aziz (1893-1927) membangun sekolah-sekolah itu untuk memenuhi hasratnya agar putra-putri Langkat, tak hanya bangsawan, bisa maju di kemudian hari. Dia bahkan mendatangkan banyak guru dari Mesir.

Jejak Kesultanan Langkat tak bisa lepas dari perang antara kerajaan Aceh dan kerajaan Aru II sekira abad ke-16. Kala itu Aceh dan beberapa kerajaan di pantai timur Sumatra saling bersaing untuk memperebutkan hegemoni politik dan ekonomi atas Selat Malaka, jalur perdagangan paling ramai. Lantaran kalah perang, orang-orang dari kerajaan Aru II melarikan diri ke Rentang Hamparan Perak (kini Deli Serdang, Sumatra Utara). Di sana, mereka mendirikan sebuah kerajaan yang kemudian dinamai Langkat –diambil dari pohon Langkat yang banyak tumbuh di tepi Sungai Langkat dan hilir Sungai Batang Serangan. Dewa Syahdan (1500-1580) menjadi raja pertamanya.

Pada masa raja ketiga, Kahar bin Panglima Dewa Sakti, kesultanan melakukan banyak perubahan. Selain memindahkan pusat kerajaan dari Rentang Hamparan Perak ke Kota Dalam Secanggang, dia memperbaiki manajemen pemerintahan. Karenanya, “sejumlah kalangan menetapkannya sebagai pendiri kerajaan Langkat pada 17 Januari 1750,” tulis Zainal Arifin dalam Subuh Kelabu di Bukit Kubu.

Wilayah kerajaan meluas ketika Badiulzaman atau Sutan Bendahara, anak Raja Kahar, naik tahta. Perdagangan juga meningkat pesat, terutama dengan Penang dan Malaka. “Ekspor utama adalah lada dan rotan; impornya adalah garam, opium, dan kapas,” tulis Walter Hamilton dalam The East Indian Gazetteer. Vol. II.

Namun kejayaan itu tak berlangsung lama. Semasa kepemimpinan anaknya, Tuah Hitam (awal abad ke-19), Langkat diserang kerajaan Siak Sri Inderapura dan Belanda. Dan Siak berhasil menguasai wilayah ini. Beberapa dekade kemudian, Aceh kembali menyerang. Tuanku Ibrahim, penguasa Aceh, ingin melemahkan semua pesaing Aceh, mengirim ekspedisi ke pesisir timur pada 1854 untuk memaksakan kekuasaannya di Langkat, Deli, dan Serdang. Dengan demikian, tulis MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern, “Aceh bergerak ke selatan tepat ketika pihak Belanda menghentikan untuk sementara waktu kemajuannya ke utara.”

Untuk melepaskan diri dari cengkeraman Aceh, Langkat bekerjasama dengan Belanda, yang berhasrat menaklukkan Aceh. Langkat mendapat jaminan keamanan, akses lebih luas dalam perdagangan, dan berbagai keuntungan lainnya. Langkat ikut pula meraup keuntungan dari pembukaan perusahaan perkebunan swasta Belanda di wilayahnya. “Daerah yang mencakup kesultanan Deli, Langkat, dan Serdang dianggap sebagai lahan ideal untuk menghasilkan daun tembakau berkualitas tinggi,” tulis Anthony Reid dalam Sumatera Tempo Doeloe: Dari Marco Polo Sampai Tan Malaka.

Sewaktu Belanda menguasai seluruh Sumatra minus Aceh, perekonomian Langkat maju pesat. Kekayaan Langkat bertambah dengan ditemukannya minyak, yang kemudian dieksplorasi perusahaan Belanda Koninklijke Nederlandsche Maatschappij tot Exploitatie van Petroleum-bronnen in Nederlandsch Indie atau dikenal sebagai “De Koninklijke”. Kesultanan Langkat mendapatkan keuntungan dari konsesi yang dikeluarkan pada 1883, yang membuatnya menjadi kerajaan terkaya di Sumatra timur.

Menjelang abad ke-20, kesultanan Langkat mengalami perpecahan. Setelah menaklukkan Besitan, Sultan Musa menyunting Maslurah, putri kerajaan Besitang. Maslurah mengajukan syarat: kelak anaknya dari perkwinan dengan Sultan Musa menjadi pewaris tahta. Sultan Musa mengiyakan. Karena perjanjian inilah Sultan Musa menyerahkan tahta kepada Tengku Abdul Aziz, anak bungsu dari perkawinannya dengan Maslurah.

Perkawinan politis itu sendiri menyulut kemarahan anak-anak Sultan Musa. Tengku Hamzah sempat melakukan kudeta namun gagal. Dia lalu memisahkan diri dan membangun istana sendiri di Kota Pati, yang terletak di Tanjung (persimpangan). Lantaran di dekat istananya terdapat sebuah gerbang, kawasan itu lalu dinamakan Tanjung Pura.

Tengku Hamzah mewariskan tahta kepada anaknya, Pangeran Adil. Sementara Sultan Abdul Aziz menyerahkan kekuasaan kepada Sultan Mahmud Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmadsyah.

Sejak naik tahta, Sultan Mahmud berupaya menyatukan kembali kerajaan, antara lain melalui perkawinan. Dia menikahkan anaknya, Tengku Kamaliah, dengan Teungku Amir Hamzah, raja penyair Pujangga Baru, anak Pangeran Adil. Upaya tersebut berhasil.

Ketenangan yang mulai terbangun kemudian terusik dengan masuknya Jepang. Istana tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti kebijakan pemerintahan militer Jepang. Seperti wilayah-wilayah lain di Indonesia, penduduk Langkat diperas atau dipekerjakan di proyek-proyek Jepang. Amir Hamzah seringkali pasang badan. “Diam-diam Amir membayar denda orang-orang itu,” tulis NH Dini dalam Amir Hamzah: Pangeran Dari Seberang.

Perlawanan dilakukan M. Nurdin, wakil kepala Negeri Besitang sekaligus Datuk Panglima Sultan Langkat. Pada 15 Desember 1945, dia dan anak buahnya menyerang markas Jepang di dekat stasiun keretaapi Besitang. Enam serdadu Jepang tewas, sisanya lari tunggang-langgang. Jepang langsung membalas malam itu juga. Mereka mengerahkan beberapa truk berisi pasukan untuk menyergap Nurdin. Meski sempat memberi perlawanan, Nurdin dihabisi secara kejam. Dia tewas mengenaskan dan jenazahnya dibuang ke sungai.

Ketika Jepang kalah dalam Perang Pasifik, keadaan Kesultanan Langkat juga bukannya membaik.

[pages]

Revolusi Sosial

Kabar proklamasi kemerdekaan Indonesia sampai di Sumatra Timur. Sultan Mahmud segera menyatakan bergabung dengan Republik pada 5 Oktober 1945.

Di kalangan bawah, rakyat menghimpun diri dalam kesatuan-kesatuan perjuangan dan angkat senjata untuk mempertahankan kemerdekaan. Mereka siap melawan Sekutu (Inggris-Belanda) yang datang untuk melucuti persenjataan Jepang. Namun, mereka juga punya sasaran lain: para bangsawan, yang mereka anggap sebagai kepanjangan tangan penjajah.

Sore, 4 Maret 1946, suasana di kompleks istana Binjai mencekam. Barisan orang dari beragam kesatuan seperti Pesindo, Laskar Rakyat, Napindo, dan Harimau Liar menyanyikan “Darah Rakyat” sambil berjalan mendekat. Berulangkali mereka berteriak, “Raja telah jatuh, rakyat berkuasa! Rakyat menjadi hakim! Hidup rakyat! Musnahkan bangsawan!”

Amir Hamzah, kepala luhak (bupati), yang berkantor di istana itu tetap tenang. Setelah membiarkan beberapa orang berbuat anarki di istana, dia berdialog dengan salah seorang pemimpin massa. Mereka minta bendera kerajaan, yang mendampingi bendera merah putih, diturunkan.

Tiga hari kemudian, dua orang dari barisan massa datang menjemput. Meski istrinya tak rela, Amir tetap tenang. Kepada istrinya, sebagaiman dikutip NH Dini, dia berpesan singkat: “Janganlah lupa apa yang telah ambe katakan. Jaga baik-baik anak kita. Dan janganlah pula Uyah ataupun anak kita mendendam. Semoga Tuhan selalu melindungi kita!”

Amir juga sempat menggendong dan mencium anak semata wayangnya, Tengku Tahura, yang masih berusia tujuh tahun. “Tinggallah buah hati Entu. Baik-baiklah dan jangan nakal!”

Setelah itu, Amir pergi dan tak pernah kembali. Dia meninggal pada 20 Maret 1946.

Namun, istri dan anak Amir serta keluarga bangsawan lainnya juga ditahan. “Di seluruh kota Binjai, orang-orang yang berdarah ningrat ditangkap. Ada yang diperiksa, ditanyai berbagai hal, lalu diizinkan pulang. Tapi kebanyakan langsung ditahan,” tulis Dini.

Bukan hanya menangkap. Mereka juga menjarah harta kekayaan dan menghancurkan bangunan-bangunan kerajaan. Pada 30 Juli 1947, mereka menghancurkan istana kesultanan Langkat di Tanjung Pura dan Binjai. “Penangkapan-penangkapan dan perampokan-perampokan terhadap para raja segera berubah menjadi pembantaian yang mengakibatkan tewasnya baratus-ratus bangsawan Sumatra Timur, di antaranya ialah penyajak Amir Hamzah,” tulis Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern.

Pemerintah pusat, politisi setempat, dan satuan-satuan tentara pun bergerak menangkapi para perusuh. Namun, kekuasaan raja-raja Sumatera Timur sudah benar-benar melemah.

Banyak bangsawan melarikan diri ke berbagai tempat. Dengan menyembunyikan identitas, mereka menjalani hidup yang jauh berbeda dari masa-masa sebelumnya. Tengku Kamaliah, istri mendiang Amir Hamzah, misalnya, harus berbisnis kecil-kecilan untuk menyambung hidup.

Kini, pewaris tahta kesultanan Langkat berusaha mengumpulkan serpihan-serpihan warisan kerajaan yang masih tersisa.

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Philippe Troussier si Dukun Putih Kibuli Raden Paku Sehimpun Riwayat Giyugun Tepung Seharga Nyawa Lyndon LaRouche, Capres Abadi AS Pengawal Raja Charles Melawan Bajak Laut Bumi Pertiwi Hampir Mati Lagu Ramadan yang Tak Termakan Zaman Pengawal Raja Charles Dilumpuhkan Orang Bali Kisah Putri Bangsawan India Jadi Mata-mata Inggris (Bagian II)