Masuk Daftar
My Getplus

Kisah Penculikan Sjahrir

Dianggap kurang bertaji menghadapi Belanda, Perdana Menteri Sutan Sjahrir “diamankan” oleh kelompok oposisi.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 04 Nov 2019
Sjahrir di tengah wartawan-wartawan saat pernyataan pasca dibebaskan dari penculikan (Repro Mengenang Sjahrir)

PASCA 1945, Republik Indonesia belum menemukan arah politik yang jelas. Sekalipun partai-partai politik seperti Masyumi, Partai Sosialis, Partai Nasional Indonesia, dan sebagainya telah dibentuk, pendirian serta pandangan yang diambil sangat berbeda satu sama lain. Akibatnya, setiap wilayah memiliki sikap tersendiri dalam menjaga tempat bernaungnya. Bangsa ini tidak bisa sedikitpun disebut ajeg.

MC Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia Since C.1200 menggambarkan situasi Indonesia pertengahan tahun 1946. Situasinya cukup tidak menentu. Terutama setelah Belanda kembali mencoba peruntungannya menguasai Indonesia. Sejumlah daerah dibuat bergolak karenanya. Sementara itu di ranah politik terjadi beberpa peristiwa penting, di antaranya pembentukan Kabinet Sjahrir II, penangkapan Tan Malaka, dan peristiwa Tiga Daerah di Pekalongan.

Mengetahui keadaan semakin genting, Perdana Menteri Sutan Sjahrir terus mengusahakan perundingan dengan pihak Belanda. Dia bersikeras agar Belanda mengakui kekuasaan Indonesia secara de facto dan menghentikan pendaratan bala tentaranya ke tanah air. Memang sejak dari perundingan di Hooge Veluwe tidak ada usulan baru yang diajukan Sjahrir, tetap pada persoalan hubungan baik antar dua negara berdaulat.

Advertising
Advertising

Baca juga: Perjanjian Diplomatik yang Dilupakan

Menurut Rosihan Anwar dalam Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik usul perundingan antara Sjahrir dengan pihak Belanda diberitakan secara seenaknya oleh pers Belanda di Jakarta sehingga terjadi salah persepsi di antara para pembaca. Pemerintah Sjahrir pun dituduh oleh rakyatnya sendiri telah menjual negara kepada Belanda.

“Karena Sjahrir berdiam diri, maka kecurigaan terhadap pemerintah makin meningkat,” tulisnya.

Rupanya sikap Sjahrir tersebut dinilai oleh sejumlah pihak sebagai sikap yang lemah. Dia dianggap tidak tegas dalam mendukung upaya kemerdekaan. Mohammad Hatta dalam otobiografinya Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi menyatakan dirinya pernah mencoba untuk mengendalikan suasana dengan memberi penjelasan tentang isi usul balasan Indonesia pada sebuah rapat raksasa di Yogyakarta.

Namun tokoh-tokoh seperti Mr Soebardjo, Chaerul Saleh, Iwa Kusumasumantri, dan Dr Buntaran tetap menilai Sjahrir perlu “diamankan” agar proses melepaskan diri dari Belanda dapat berjalan lancar. Kelompok yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan ini dikenal sebagai oposisi pada era Kabinet Sjahrir. Mereka menginginkan Indonesia bebas sepenuhnya, tanpa intervensi Belanda sedikitpun. Dan penangkapan Sjahrir diyakini dapat mengubah politik diplomasi terhadap Belanda.

Baca juga: Jejak Langkah Sang Pengikut Tan Malaka

Sebetulnya ada alasan lain mengapa Sjahrir ditangkap. Rosihan menyebut para oposisi menginginkan Tan Malaka yang tengah ditahan di Madiun dibebaskan dan kembali ke gelanggang politik. Mereka lebih memilih Tan Malaka ketimbang Sjahrir karena dianggap terlalu lemah dalam membangun Indonesia yang baru merdeka.

Berbekal surat penangkapan dari Mayjen TNI Sudarsono, Mayor Abdul Kadir Yusuf berangkat ke Solo, ditemani sejumlah lakon oposisi lainnya. “Mereka mengetahui hari itu PM Sjahrir berada di Solo dalam perjalanan inspeksi kembali dari Jawa Timur.” Pada 27 Juni 1946 rencana berhasil dijalankan. Pemerintah dilanda kepanikan. Keadaan darurat pun langsung dikeluarkan presiden.

Proses Penangkapan

Dikisahkan salah seorang kepercayaan Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo, penangkapan terjadi di Javasche Bank, Solo. Saat itu dirinya sedang bersama dengan Sjahrir, Menteri Dalam Negeri Dr Sudarsono, Soemitro Djojohadikusumo, Mayjen Sudibjo, dan Darmawan Mangunkusumo. Sjahrir yang baru pulang dari Jawa Tengah, menginap di Javasche Bank. Sementara Soebadio sendiri telah lebih dahulu berada di Solo.

Sekira pukul 11.16 malam, kata Soebadio, Mayor AK Yusuf bersama empat orang masuk ke dalam gedung Javasche Bank. Sambil menodongkan senjata, mereka memaksa Sjahrir untuk ikut ke dalam mobil yang telah mereka siapkan. Sang perdana menteri sempat protes dan berdebat dengan nada keras. Namun ancaman senjata membuat Sjahrir tak berdaya. Akhirnya rombongan itu menuruti apa kemauan AK Yusuf.

Baca juga: Penculikan Tokoh Bandung di Awal Revolusi

Namun ternyata tidak semua orang berhasil diamankan. Soebadio dan Sudarsono yang melihat gelagat aneh sesaat setelah perdebatan dimulai segera pergi melepaskan diri. “Saya yang melihat gelagat itu meloloskan diri dengan menggunakan bambu melompat dan mencebur ke dalam kali yang mengalir di sekitar Hotel Merdeka. Dengan menyamar sebagai rakyat biasa, kami naik kereta api di stasiun Gowok menuju Yogyakarta. Setibanya di Yogya saya lapor pada kabinet,” terang Soebadio saat diwawancarai Rosihan Anwar pada 8 Oktober 1994.

Dalam biografinya itu, Soebadio menyebut Sjahrir dibawa oleh rombongan AK Yusuf ke Desa Paras, sebuah daerah yang dahulu digunakan Pakubuwono X sebagai tempat meditasi. Di sana dia dititipkan kepada Mayor Soekarto. Menurut keterangan Sutrisno, salah seorang perwira yang bertugas di Paras, ketika penangkapan terjadi, para penjaga di sana tidak mengetahui kalau yang dibawa oleh rombongan AK Yusuf adalah Perdana Menteri Sjahrir.

“Dikiranya seorang pembesar yang mau istirahat, makanya Sjahrir diterima dengan baik dan ditempatkan di sebuah pesanggrahan kepunyaan Susuhunan. Kini gedung itu sudah digusur,” ucap Sutrisno sewaktu diwawancarai Rosihan Anwar pada 10 Oktober 1994.

Baca juga: Menyibak Tabir Partai Sjahrir

Upaya Pembebasan

Menurut Sejarawan Ricklefs setelah mendengar kabar penculikan Sjahrir, Sukarno berusaha secepatnya membuat siaran radio. Baginya kejadian itu merupakan peristiwa yang dapat membahayakan persatuan bangsa. Untuk itu, demi menjaga pemerintahan tetap berjalan baik, Sukarno langsung melakukan pengambilalihan kekuasaan.

Pada 28 Juni pemerintahan RI di Yogya belum mengetahui dengan jelas lokasi penahanan Sjahrir. Sukarno lalu melakukan siaran radio pada malam 29 Juni. Dia sangat mengecam aksi orang-orang yang melakukan penculikan tersebut. Sukarno juga menuntut pembebasan secepatnya. Si Bung ingin Sjahrir ada di Solo dalam keadaan baik.

“Saya tidak ingin menjadi diktator! Saya ingin adanya satu pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Saya oleh karena itu hanya untuk sementara waktu saja mengambil segala kekuasaan negara di tangan saya sendiri. Kepada segenap rakyat berpikiran sehat, saya minta ikut berusaha untuk mengembalikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Menteri Kemakmuran Ir Darmawan Mangunkusumo, Mayor Jenderal Sudibjo dan lain-lain yang turut kena culik dengan selamat kepada kami. Ini adalah kewajiban tiap-tiap warga negara Republik Indonesia yang cinta pada Republiknya," demikian isi sebagian pidato Presiden Soekarno tersebut.

Baca juga: Baswedan Dikerdilkan, Muso dan Sjahrir Dilupakan

Setelah mendengar siaran radio Sukarno, orang-orang di Paras mulai menyadari bahwa tamu di tempat mereka adalah Perdana Menteri Sjahrir. Di saat yang bersamaan, AK Yusuf datang untuk membawa kembali Sjahrir. Namun permintaan itu segera ditolak oleh para penjaga di Paras. Mereka yang telah mengetahui identitas Sjahrir ingin mengembalikannya sendiri. Pengawalan Sjahrir dilakukan hingga rombongan tiba di Istana Negara di Yogyakarta pada 30 Juni dini hari.

“Bung Karno dibangunkan dan waktu melihat Sjahrir dia langsung merangkul Sjahrir. Ibu Fatmawati juga bangun dan segera membuatkan kopi untuk pasukan yang mengawal rombongan Sjahrir,” tulis Rosihan.

Baca juga: Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Buku

 

TAG

sjahrir

ARTIKEL TERKAIT

Om Sjahrir dan Anak-Anak Banda Neira Lima Tokoh Bangsa Bibliofil Ketika Sukarno Marah Kepada Sjahrir Secuil Cerita Jenaka dari Cianjur Semasa Pendudukan Saudara Tua Akhir Pernikahan Sjahrir Ketika Ahmad Subardjo Menolak Ajakan Sjahrir Ketika Ahmad Subardjo Hampir Dibunuh Di Balik Jatuhnya Kabinet Sjahrir Jajanan Tiga Bapak Bangsa Ketika Rosihan Anwar Ikut Sidang Kabinet RI