Masuk Daftar
My Getplus

Penculikan Tokoh Bandung di Awal Revolusi

Diplomasi dengan Inggris yang dianggap terlalu lunak membuat para pemuda frustasi. Berujung pada penculikan tokoh di Bandung.

Oleh: Nur Janti | 30 Okt 2019
Amarawati Poeradiredja, berkisah tentang penculikan kakeknya. (Fernando Randy/Historia).

MASIH lekat dalam ingatan Amarawati Poeradiredja ketika sekelompok pemuda mendatangi rumah Residen Priangan Kardata Poeradiredja, kakeknya, pada 24 Oktober 1945. Mereka menggedor pintu dan memaksa masuk. Begitu pintu dibuka, mereka mendorong istri Kardata dan langsung mencari sang residen.

“Nenek saya didorong, hampir dicekik. Kakek saya ditangkap,” kata Amarawati pada Historia.

Kardata saat itu berusia 65 tahun. Ia ayah dari perempuan pejuang Bandung Emma Poerdiredja dan Perdana Menteri Pasundan Adil Poeradiredja. Kardata mengundurkan diri karena tidak berhasil mempertahankan otoritasnya sebagai residen. Dalam pengumuman publiknya tanggal 12 oktober 1945, ia menyatakan bahwa dirinya tidak lagi bertanggung jawab pada pemeliharaan ketertiban umum. Secara resmi ia mengundundurkan diri pada 24 Oktober dan absen pada hari yang sama. Tepat setelahnya, ia diculik.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Dari Pengungsian ke Pengungsian

Selain Kardata, dua tokoh di Bandung lain juga ditangkap, yakni Niti Sumantri dan Ukar Bratakusumah. Mereka kemungkinan besar ditangkap antara 25 dan 26 oktober 1945. Ketiga orang itu diculik oleh kelompok pemuda yang sama dengan penculik Kardata. Para pemuda itu, kata Amarawati, bukan orang Sunda. Mereka berbaju putih, celana hitam, dan berdasi kupu-kupu. Menurut John RW Smail dalam Bandung Awal Revolusi, para pemuda itu merupakan pemuda dari badan perjuangan Bandung yang hampir semua pemimpinnya adalah orang non-Sunda.

Penculikan Kardata, Niti, dan Ukar jadi buntut diplomasi yang ditempuh para pemimpin politik di Bandung. Para pemuda itu kecewa terhadap langkah diplomatif Poeradiredja dan KNI Karesidenan Priangan yang pada 10 Oktober 1945 membuat kesepakatan dengan Komandan RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees) di Bandung, Mayor Gray bahwa unit pasukan Jepang telah diperintahkan untuk mundur ke pos masing-masing dan mengimbau agar rakyat tidak melakukan serangan dan kembali ke rumah masing-masing. Mayor Gray memberi jaminan bahwa tidak ada organisasi NICA di Kawedanan Preanger selama ia memegang kendali.

Kenyataannya, pihak Jepang tetap melakukan penembakan, penahanan, dan penggeledahan. Setelah 10 Oktober 1945, atas perintah Inggris, Jepang kembali mengontrol kota Bandung hingga pertengahan November. Sekira 1500 serdadu Jepang yang diperkuat tentara Inggris diturunkan ke kota itu.

Baca juga: 

Kisah di Balik Bandung Lautan Api

Sebuah laporan menyebutkan bahwa orang-orang Kenpeitai mencegat dan menganiaya pedagang pribumi yang berangkat ke pasar. Mereka memaksa para pedagang untuk menjual barang dagangan hanya kepada Belanda. Usut punya usut, tindakan ini didukung oleh Gray yang memerintahkan Jepang untuk melanjutkan kontrol penuh.

Kontrol Inggris-Jepang mengakibatkan semacam kebuntuan semangat di kalangan pemuda Bandung. Gerakan pro-kemerdekaan melemah. Suara teriakan “Siap!” yang biasa digaungkan para pejuang tidak terdengar untuk sementara. Atmosfer revolusi meredup.

Kondisi itu makin diperparah dengan adanya pertemuan 22 Oktober 1945 yang menghasilkan pembentukan Badan Perhubungan, yang tugasnya mengurusi hubungan dengan staf Brigadir Jenderal N Mac Donalnd, komandan Brigade Infanteri India ke-37 yang menjadi penguasa tertinggi di Bandung.

Melalui Badan Perhubungan, Inggris meminta Indonesia sepakat mengumpulkan seluruh persenjataan untuk diserahkan padanya. Indonesia menolak permintaan itu karena hal semacam ini terlalu berat dilakukan masyarakat yang masih berada dalam atmosfer revolusi. Untuk membujuk pihak Indonesia, pada 23 Oktober Inggris mengatakan orang Belanda, Eropa, dan pegawai RAPWI sudah dilucuti sehingga rakyat Indonesia juga harus meyerahkan senjatanya dalam 48 jam.

Baca juga: 

Kisah Warung Siluman

Rakyat Indonesia mengajukan protes, “Jika inggris berniat melucuti rakyat, maka terjadi perlawanan”. Frustasi karena terus ditekan dan tidak berdaya melawan pasukan kecil Jepang, mereka  jadi mudah terpancing. Para pemuda ini pun mencari pihak yang dianggap bertanggungjawab.

Selain Kardata, Niti, dan Ukar, mereka juga menculik dan membunuh Otto Iskandardinata. Tokoh lain seperti Suhari (kepala BKR Kota Bandung) dan Sukanda Bratamanggala (bekas komandan kompi Peta) hampir diculik namun gagal lantaran dihalang-halangi bawahannya. 

Penculikan yang dilakukan merupakan taktik penghukuman pada para tokoh Bandung setelah diangap terlalu lunak dalam berdiplomasi dan mengakibatkan tekanan penjajah pada rakyat. Namun, masih menurut Smail, taktik ini tidak efektif karena dilakukan di tengah hubungan baik Indonesia-Inggris.

Pada akhirnya, para tawanan diangkut ke Surabaya, ditahan selama terjadi pertempuran dan dibebaskan setelahnya. “Kakek saya dibawa ke timur. Katanya di sana perlakuannya buruk,” kata Amarawati.

TAG

bandung-bergerak sejarah-bandung

ARTIKEL TERKAIT

Menggerakkan Ideologi Kebangsaan dari Bandung Dari Pengungsian ke Pengungsian Kisah Pemenggal Prajurit Gurkha Antara Lenin dan Stalin (Bagian I) Jenderal Nasution Mengucapkan Selamat Hari Natal Musuh Napoleon di Waterloo Hina Diponegoro Warisan Persahabatan Indonesia-Uni Soviet di Rawamangun Ketika Kapolri Hoegeng Iman Santoso Kena Peremajaan Sekolah Dokter Dulu Sekolah Miskin Setelah  Jadi ABRI, Polisi Jadi Alat Politik Penguasa