Masuk Daftar
My Getplus

Di Balik Jatuhnya Kabinet Sjahrir

Menjelang pecahnya Agresi Militer Belanda I, kegentingan politik terjadi di kubu Republik. Tindakan Perdana Menteri Sjahrir menjadi sorotan utama.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 17 Jun 2021
Sutan Sjahrir dalam rapat umum di Jakarta tahun 1946 (Perpustakaan Nasional RI)

Dalam sebuah pertemuan Kabinet di gedung kepresidenan pada 26 Juni 1947, ketegangan di tubuh Republik mencapai puncaknya. Tiap-tiap menteri, serta perwakilan partai memberikan pandangan mereka tentang situasi politik terkini. Mereka saling melempar kritik terhadap satu sama lain, yang membuat suasana debat menjadi panas.

Sorotan utama di dalam perdebatan tersebut adalah sikap Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang dianggap terlalu lemah saat berhadapan dengan pemerintah Belanda. Sebagai ujung tombak perjuangan di ranah diplomasi, dia diharapkan dapat bersikap tegas dan bertindak cepat. Terutama dalam situasi genting pasca mendaratnya kembali Belanda di Indonesia yang baru merdeka.

Akan tetapi golongan Sayap Kiri, sebagaimana diceritakan Soebadio Sastrosatomo dalam biografinya Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik karya Rosihan Anwar, menilai Sjahrir tidak bersikap tegas dalam mendukung upaya kemerdekaan tersebut. Dia dianggap terlalu banyak memberikan kompromi terhadap tuntutan Belanda. Bahkan muncul beragam tudingan yang menyebut Sjahrir telah menjual negara kepada para penjajah itu.

Advertising
Advertising

Baca juga: Kemarahan Sjahrir Kepada Sultan Hamid

Suasana di ruang rapat malam itu kian berat kala PM Sjahrir menyerahkan portefeuille terkait posisinya kepada Presiden Sukarno. Dijelaskan dalam Daerah Istimewa Jogjakarta terbitan Departemen Penerangan RI, penyerahan mandat tersebut merupakan jawaban Sjahrir atas penentangan kalangan sayap kiri kepadanya dan putusan mereka yang di antaranya berbunyi: “… tidak menyetujui kompromi yang terkandung dalam surat-menyurat antara delegasi Indonesia dan Komisi Jenderal (Belanda) karena tidak menjamin persatuan antara pemerintah dan rakyat.”

Sebagaimana disarikan Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional: dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan, surat-menyurat antara pemerintah Indonesia dan Belanda itu merupakan kelanjutan dari nota perjanjian dalam Perundingan Linggarjati. Pihak Belanda, melalui nota Komisi Jenderal tertanggal 27 Mei 1947, meminta sejumlah hal kepada PM Sjahrir sebagai perwakilan pemerintah Republik, secara singkat isinya: membentuk pemerintahan bersama sementara, mengeluarkan uang bersama, menyelenggarakan impor-ekspor bersama, dan melibatkan pihak Belanda dalam penyelenggaraan ketertiban dan keamanan di seluruh wilayah Indonesia.

Sjahrir pun menerima nota tersebut. Dalam sebuah pidato radio tanggal 19 Juni 1947, imbuh Muljana, Sjahrir menjelaskan tentang jawaban pihak Republik, yang pada dasarnya menyetujui usul-usul Belanda, utamanya pembentukan pemerintahan bersama. Sementara lain-lainnya akan dibicarakan setelah pemerintahan bersama itu terbentuk. Sikap Sjahrir inilah yang disoroti kalangan sayap kiri dan partai anti Sjahrir, serta kelompok-kelompok yang tidak setuju dengan keputusannya.

Baca juga: Makanan Hatta dan Sjahrir di Pengasingan

“Partai yang asalnya mendukung Sjahrir, pada saat itu menarik dukungannya, tidak mendukung Sjahrir lagi. Keterangan PM Sjahrir tentang reaksinya kabinet Belanda, menimbulkan perdebatan sengit. Timbul resolusi. Suhu politik membumbung tinggi, situasi politik menjadi semakin gawat,” ungkap Hario Kecik dalam Pemikiran Militer 1: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia.

Ketika Sjahrir menyerahkan mandat kabinetnya, Presiden Sukarno tidak langsung memberikan jawaban. Dia terlebih dahulu ingin medengar pendapat dari pemimpin-pemimpin partai tentang persoalan tersebut. Sekira pukul 23.00, presiden mengumpulkan semuanya, kemudian memulai rapat darurat. Di sana hadir Ali Sastroamidjojo (PNI), Soekiman (Masjumi), Tan Ling Djie (Partai Sosialis), Maruto Darusman (PKI), S.K. Trimurti (PBI), Harjono (Sobsi), Sakirman (Laskar Rakyat), Tambunan (Parkindo), dan Krissubanu (Pesindo).

Lewat tengah malam, perundingan dihentikan untuk memberi kesempatan kepada para pemimpin bertukar pikiran satu sama lain. Seluruh partai, kecuali PNI, mengusulkan pembentukan Presidentieel Kabinet untuk pemerintah Republik. Sementara Ali Sastroamidjojo keberatan dengan hal itu dan menghendaki pembentukan kabinet yang lebih bertanggung jawab.

Baca juga: Ketika Bung Sjahrir Pergi

Akan tetapi karena tidak mendapat dukungan mayoritas, PNI meminta waktu berunding dengan Dewan Partai. Setelah kurang lebih satu jam melakukan rapat internal, Ali Sastroamidjojo menyampaikan persetujuannya atas usul-usul partai lain. Keputusan bulat pun didapat dalam rapat para pimpinan partai, yakni Presidentieel Kabinet.

Kekuatan partai politik saat itu memang terbilang cukup besar. Usulan-usulan mereka memberikan pengaruh terhadap keputusan besar pemerintah Republik. Terlihat juga saat para pimpinan mengusulkan pembentukan sebuah komisi untuk membantu presiden dalam memberikan jawaban atas nota pemerintah Belanda. Presiden langsung menyetujuinya. Sehingga terbentuklah sebuah komisi kecil yang terdiri dari Amir Syarifuddin (Sayap Kiri), Soejono Hadinoto (PNI), Harsono Tjokroaminoto (Masjumi), Tambunan (Parkindo), dan I.J. Kasimo (PKRI).

Sekira pukul 03.00 dini hari, Setelah selesai dengan rapat darurat pimpinan partai, presiden memulai kembali rapat kabinet yang telah tertunda sejak pukul 23.00. Dalam rapat itu, Sukarno menerima pengembalian mandat Sjahrir dan sejak itu Kabinet Sjahrir demisioner. Dengan kosongnya kursi PM, sementara waktu presiden mengambil kekuasaan pemerintah sepenuhnya. Sebelum nantinya menunjuk kabinet baru di bawah pimpinan Amir Syarifuddin. 

“Kabinet Sjahrir dijatuhkan oleh partainya sendiri. Suatu peristiwa yang agak aneh. Oleh karena itu, timbul berbagai interpretasi terhadap tindakan Amir Syarifuddin tersebut: yang senang membenarkan; yang tidak senang mencela,"tulis Muljana.

TAG

sutan sjahrir kabinet sjahrir

ARTIKEL TERKAIT

Jenderal Nasution Mengucapkan Selamat Hari Natal Musuh Napoleon di Waterloo Hina Diponegoro Warisan Persahabatan Indonesia-Uni Soviet di Rawamangun Ketika Kapolri Hoegeng Iman Santoso Kena Peremajaan Sekolah Dokter Dulu Sekolah Miskin Setelah  Jadi ABRI, Polisi Jadi Alat Politik Penguasa Cerita di Balik Pengunduran Diri Bung Hatta Akibat Bantuan untuk Penduduk Papua Dikorupsi Dulu Hoegeng Jadi Menteri Iuran Negara Arsip Merekam Anak Yatim Zaman Kolonial