Masuk Daftar
My Getplus

Baswedan Dikerdilkan, Muso dan Sjahrir Dilupakan

Misi diplomasi Haji Agus Salim di Mesir difilmkan dengan judul Moonrise Over Egypt. Dua sejarawan menyoroti pengerdilan dan penghilangan tiga tokoh penting.

Oleh: Randy Wirayudha | 18 Mar 2018
Kritikus dan sejarawan mengulas Film "Moonrise over Egypt". Salim Said, Asvi Warman Adam, Rushdy Hoesein, dan Ibong Syahruzah (cucu H. Agus Salim) saat mengulas Film "Moonrise over Egypt". Foto: Randy Wirayudha/Historia.

MEDIO April 71 tahun lampau, kerjasama delegasi Republik Indonesia (RI) pimpinan Menteri Luar Negeri H. Agus Salim dengan pemerintah Kerajaan Mesir membuahkan persahabatan dahsyat. Sineas Indonesia dan Mesir kini mengabadikannya dalam film layar lebar bertajuk Moonrise over Egypt.

Beberapa adegannya diambil langsung di Kairo, Mesir pada Agustus 2016. “Cukup banyak pemain dan kru yang berangkat ke Kairo, di samping bekerjasama dengan tenaga-tenaga sineas Mesir,” cetus sutradara Pandu Adiputra dalam press screening film tersebut, Jumat (1/3/2018).

Filmnya mengisahkan pergulatan delegasi RI pimpinan Agus Salim (diperankan Pritt Timothy) dalam memperjuangkan pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Indonesia. Meski begitu, Pandu membumbui film dengan dramatisasi, pembelokan alur cerita, hingga penghadiran tokoh-tokoh fiktif.

Advertising
Advertising

“Timbul seakan-akan ada dua bagian dari film ini. Satu bagian perjuangan diplomatik Indonesia. Kedua, ada juga cerita mata-mata Belanda dan pemuda Indonesia, pedagang Indonesia jadi mata-mata Belanda. Kita enggak pernah dengar cerita ini. Apakah ini agar ceritanya tidak datar dan menjadi menarik?” ujar kritikus film Salim Said dalam konferensi pers usai press screening.

Sejarawan Asvi Warman Adam juga merasakan hal serupa. “Memang di satu sisi penulis dan sutradara punya keleluasaan menambahkan tokoh fiktif atau alur cerita yang tidak ada dalam fakta sejarah. Ini sudah biasa dalam film-film tema sejarah. Tapi sejauh mana aspek non-historis tadi mendominasi film ini? Itu pertanyaannya,” timpal Asvi.

Mata-mata dan Bahasa

Dalam pemaparannya, produser Adie Marzuki menjelaskan bahwa dari riset mereka yang dibantu kosultan sejarah Hendi Johari dan sejarawan Rushdy Hoesein, memang ada peristiwa mematai-matai aktivitas delegasi RI di Kairo itu. Pengkhianatan itu tak lepas dari kartu subsidi mereka selama kuliah di Mesir dari pemerintah Belanda. “Kenyataannya memang ada yang tidak mengembalikan kartu subsidi sebagaimana yang disepakati PPKI. Itu yang kemudian dipergunakan Belanda untuk membujuk mereka, agar menelisik aktivitas delegasi Indonesia,” terang Adie.

Tim produksi merasakan betul kesulitan merangkum kisah sejarah rumit itu ke dalam sebuah cerita dengan durasi yang terbatas. Terlebih, sasaran penonton mereka generasi muda dari usia 13 tahun. Oleh karena itu, tim menyederhanakan aksi spionase itu agar lebih mudah dicerna semua kalangan, memperindah alur cerita, hingga enak ditonton.

Konsekuensinya, film ini jadi melupakan beberapa aspek yang lekat dengan kisah Agus Salim dkk. di Mesir. Contohnya, perihal bahasa. Agus Salim dikenal poliglot (menguasai banyak bahasa asing). Tiga anggota delegasi lain, A.R. Baswedan, H.M. Rasyidi, dan Nazir Datuk Pamuncak, juga jago bahasa Arab sehingga dimasukkan ke dalam tim agar bisa lebih mudah mengambil hati para diplomat Liga Arab. Anehnya, tak sekalipun dialog di film menampilkan penggunaan bahasa Arab. Pun Bahasa Belanda, yang mestinya selalu diucapkan tokoh Adriaanse, Jansen, atau Willem van Rechteren Limpurg (diperankan Harry Bond Jr.).

Menurut produser Amir Sambodo, ketiadaan dialog berbahasa asing disebakan kesulitan pendalaman bahasa. “Memang awalnya kita mau bikin Agus Salim dkk. bicara banyak bahasa. Tapi kita cari cast-nya enggak ada yang bisa. Kita diskusi dengan Pandu, ya akhirnya kita putuskan pakai bahasanya Indonesia dan Inggris,” ujar Amir.

Tokoh dan Peran Terlupakan

Terlepas persoalan teknis, kritikus dan sejarawan mengeluhkan adanya pengerdilan peran A.R. Baswedan dan penghilangan beberapa tokoh penting dalam misi diplomati itu di film. A.R. Baswedan, misalnya, digambarkan tak lebih sebagai pelengkap.

Padahal, kata Asvi, “Kepulangan Baswedan juga tak mudah. Harus berpindah-pindah pesawat, terdampar di Singapura dan kehabisan uang. Setelah ada yang membantu dan tiba di Jakarta, nota diplomatik itu harus disembunyikan di dalam kaus kakinya sehingga dia bisa selamat sampai ke Yogya untuk disampaikan ke presiden. Makanya, hemat saya perlu ditambahkan.”

Sementara, Rushdy mempertanyakan kenapa tokoh Perdana Menteri Sutan Sjahrir tak dihadirkan sama sekali di film. “Sjahrir punya pengaruh dalam persoalan-persoalan terkait. Dia kan perdana menteri. Apalagi Agus Salim berangkat ke Lake Success (Amerika, markas DK PBB) bersama Sjahrir,” ujarnya.

Selain mempertanyakan Sjahrir, Rushdy juga menyoroti penghilangan tokoh Muso di film itu meski Muso bukan anggota delegasi. “Muso datang dari Kairo bersama duta besar kita di Cekoslowakia. Beliau datang menggunakan nama (samaran) Suparto. Dia sempat berdebat dengan para mahasiswa (Indonesia) yang kuliah di Kairo tentang politik negara,” sambungnya.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Konservator: Profesi Penjaga dan Perawat Koleksi Sejak Kapan Toilet Dipisah untuk Laki-laki dan Perempuan? Warisan Persahabatan Indonesia-Uni Soviet di Rawamangun Setelah Inggris Menjadikan Bekasi Lautan Api Saat Pelantikan KSAD Diboikot Hans Christoffel Memburu Panglima Polem Keluarga Ament Tuan Tanah Cibubur dan Tanjung Timur Memori Getir Pembantaian Hama Bambang Utoyo, KSAD Bertangan Satu Ketika Media Amerika Memberitakan Sukarno dan Dukun