Masuk Daftar
My Getplus

Ketika Pemerintah RI Menjamin Eksistensi Orang Tionghoa

Pertemuan resmi pertama antara pemerintah Republik Indonesia dengan golongan Tionghoa dihelat di Yogyakarta. Hal tersebut dilakukan guna menjaga kepentingan masing-masing

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 17 Jun 2021
Suasana Konferensi Indonesia-Tionghoa (Arsip Nasional RI)

Yogyakarta, 17 September 1946. Suasana di Pendopo Kepatihan malam itu mendadak ramai. Orang-orang berkumpul di bangunan yang sekarang menjadi bagian dari kompleks Pemprov D.I. Yogyakarta tersebut. Berbagai kalangan hadir di sana. Mulai dari pejabat pemerintah daerah, pejabat Republik, pejabat keraton, hingga orang-orang dari golongan Tionghoa. Mereka datang untuk menghadiri sebuah perundingan yang kemudian dikenal sebagai Konferensi Indonesia-Tionghoa.

Dalam sebuah arsip foto terbitan IPPHOS tahun 1946, yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia, tampak hadir Wakil Presiden Mohammad Hatta, beserta jajaran menteri di Kabinet Sjahrir II. Di ruang konferensi tersebut Hatta terlihat duduk bersama Sri Sultan Hamengkubuwono IX (di sebelah kanan), dan Sri Paku Alam (di sebelah kiri). Tampak pula hadir Pamglima Besar TNI Jenderal Sudirman, serta Ketua DPA R.A.A. Wiranatakusuma.

Baca juga: Lima Tionghoa di Taman Makam Pahlawan

Advertising
Advertising

Dijelaskan dalam Daerah Istimewa Jogjakarta, terbitan Departemen Penerangan RI, tujuan Pemerintah Republik mengadakan pertemuan tersebut adalah konsolidasi soal bangsa asing yang hidup di tanah air. Sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang dan politik manifest 1 November 1945, pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan keselamatan bangsa asing di negerinya.

“Meskipun masih banyak rintangan-rintangan teristimewa dari luar, pemerintah terus berusaha untuk menjalankan kewajibannya sebagai negara yang merdeka terhadap bangsa asing. Di dalam kalangan bangsa asing, maka penduduk Tionghoa mempunyai tempat yang luas dan penting sekali,” tulis buku Departemen Penerangan RI itu.

Di dalam konferensi tersebut dibahas berbagai persoalan yang melibatkan bangsa Tionghoa secara khusus, dan Indonesia secara umum, seperti perekonomian, kesosialan (pengungsian), pengajaran, dan keamanan. Bagi pemerintah Republik, keberadaan bangsa Tionghoa ini amat penting dalam proses pembangunan ekonomi. Terlebih mayoritas dari mereka bekerja sebagai pedagang dan pemilik perusahaan, baik besar maupun kecil. Sehingga diharapkan dapat berperan aktif membantu menstabilkan ekonomi negara.

Baca juga: Tionghoa Priangan dalam Pusaran Revolusi

Setelah meyanyikan lagu kebangsaan Indonesia dan Tionghoa, ketua panitia Tjie Sam Kong dari organisasi Tionghoa Chung Hua Tsung Hui (CHTH) membuka pertemuan malam itu. Setelah memberikan sedikit pidato pembukaan, pimpinan rapat selanjunya diserahkan kepada Tabrani dari Kementerian Penerangan RI sebagai wakil pemerintah.

Pada kesempatan itu Tabrani menjelaskan bahwa pemerintah menilai kedudukan golongan Tionghoa lebih utama dibandingkan golongan asing lainnya. Sudah sejak lama, orang-orang Tionghoa menjadi bagian dari perjalanan negeri ini. Mereka juga turut andil menentukan gerak perekonomian, dan berbagai hal lainnya.

Sama halnya dengan Tabrani, Bung Hatta juga menyebut bahwa kekuatan utama kalangan Tionghoa di Indonesia adalah perekonomian. Dalam sambutannya, dia mengatakan kalau golongan Tionghoa telah sejak zaman penjajahan Belanda menjadi perantara antara golongan penjajah dan golongan yang dijajah. 

“Orang-orang Tionghoa di negeri ini berasal dari kelas pedagang, mereka hampir semuanya pedagang. Dalam kapitalisme, tujuan dari para pedagang adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya sendiri. Karena kenyataannya pada pedagang Tionghoa menjadi kepanjangan tangan dari kapitalis asing di masyarakat Indonesia, mereka telah menimbulkan kesan yang tidak disenangi,” kata Hatta seperti dikutip Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik.

Baca juga: Pemuda Tionghoa Pun Berjuang

 

Untuk menghilangkan kesan negatif warga Tionghoa, Hatta mengajak mereka ikut dalam sistem perekonomian baru yang dijalankan pemerintah RI. Sistem ekonomi tersebut didasarkan kepada kesejahteraan sosial. Segala jenis produksi dan distribui akan dibuat aturan baru. Maka kesan warga Tionghoa, imbuh Hatta, akan berubah dari lawan menjadi kawan. Dan dengan sendirinya “soal Tionghoa” hilang dari masyarakat.

Setelah mendengar sambutan Wakil Presiden, dan sejumlah pejabat negara, acara dilanjutkan dengan agenda putusan rapat. Dalam hal ini seluruh peserta rapat, terutama golongan Tionghoa, menyatakan ketaatannya kepada keputusan pemerintah RI. Sementara pemerintah harus memperhatikan betul hak-hak warga Tionghoa. Selain itu, rapat juga mengakui perkumpulan CHTH sebagai organisasi khusus kepentingan Tionghoa. Mereka juga sepakat membentuk panitia Indonesia-Tionghoa untuk mengatur berbagai kepentingan kedua belah pihak.

Kemudian di ranah ekonomi, ditetapkan bahwa hubungan kerja sama antara pemerintah dan golongan Tionghoa akan dijalankan. Pertimbangan dalam putusan tersebut adalah keberadaan warga Tionghoa yang telah berabad-abad lamanya di Indonesia harus tetap terjaga. Kerja sama yang kekal itu harus diwujudkan kembali dengan pembangunan di lapangan perdagangan.

Baca juga: Kuliner Tionghoa di Nusantara

Di ranah lain, seperti pendidikan, pemerintah berjanji membantu menyediakan alat-alat pengajaran untuk sekolah-sekolah Tionghoa. Mereka juga diperkenankan menjalankan pendidikan mereka selama tidak membahayakan berdirinya Republik Indonesia. Di ranah penerangan, pemerintah akan memberikan pemahaman kepada seluruh rakyat tentang keberadaan warga Tionghoa bahwa mereka bukanlah musuh bangsa. Di sisi lain, warga Tionghoa juga akan diberikan pengetahuan tentang jiwa revolusi bangsa Indonesia.

Konferensi Indonesia-Tionghoa di Yogyakarta ditutup pada malam 18 September 1946, bertempat di Balai Prajurit Ngabean. Tidak ada pertemuan khusus di sana. Acara hanya diisi oleh pertemuan ramah-tamah antara golongan Indonesia dan Tionghoa. Penutupan juga dihadiri pejabat Republik dan perwakilan golongan Tionghoa.

“Kemudian sesudah dibacakan keputusan-keputusan konferensi, dipertunjukkan tari-nyanyian dari golongan Tionghoa, permainan anak-anak oleh murid Taman Siswa, dan lain-lainnya. Setelah diadakan sambutan-sambutan, malam perpisahan diakhiri,” tulis buku yang diterbitkan oleh Departemen Penerangan RI tersebut.

TAG

konferensi indonesia tionghoa yogyakarta

ARTIKEL TERKAIT

Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Jenderal Kehormatan Pertama Pemilu di Wilayah Kesultanan Dukungan Paku Alam pada Republik Indonesia Gendhing Mares, “Anak Kandung” Perkawinan Musik Jawa dan Eropa Jaminan Keselamatan Rakyat saat Melakukan Perjalanan Peran Soeharto dan Keppres Hari Penegakan Kedaulatan Negara Angkringan Punya Cerita Ketika Sukarno Mengecam Agresi Belanda Ketika Sri Sultan Berterimakasih Kisah Sang Pematung Jenderal Soedirman di Usia Senja