Masuk Daftar
My Getplus

Pemilu di Wilayah Kesultanan

Pemilu di Yogyakarta tahun 1951 dipandang sebagai sebuah eksperimen demokrasi. Tak hanya proses sosialisasinya yang menarik, hasilnya pun mengejutkan.

Oleh: Amanda Rachmadita | 28 Jan 2024
Bilik Pemilu Yogyakarta 1951 (BPAD DI Yogyakarta).

KEMERDEKAAN tak hanya membebaskan rakyat Indonesia dari penjajahan, tetapi juga membuka kesempatan menentukan pemerintahan sendiri. Sebagai sebuah negara baru, partai politik dan pemilihan umum menjadi hal penting. Kendati pemilu nasional baru terlaksana sepuluh tahun setelah kemerdekaan, namun pemilu lokal berhasil diselenggarakan di beberapa daerah sejak tahun 1946, seperti di Kediri, Surakarta, dan Kalimantan Selatan.

Memasuki tahun 1950-an, pemilu lokal kembali digelar di sejumlah wilayah, salah satunya di Yogyakarta. Menurut M. Nazir Salim, pemilu di Yogyakarta yang digelar untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Daerah menarik untuk dikaji karena Yogyakarta merupakan wilayah kerajaan, namun justru yang paling awal melaksanakan pemilu. Pada 1951, Sri Sultan Hamengkubowono IX, penguasa Yogyakarta, memelopori pemilu sebagai upaya untuk membentuk pemerintahan yang demokratis.

“Apa yang Sultan HB IX lakukan memberikan makna yang luas bagi perkembangan demokrasi dan partisipasi di Indonesia, karena apa yang dilakukan di Yogyakarta menjadi preferensi bagi banyak daerah lain di Indonesia,” tulis Salim dalam “Pemilihan Umum 1951 di Yogyakarta: Dari Yogyakarta, Indonesia Membangun Demokrasi”, termuat di Jogja Memilih: Sejarah Pemilu 1951 & 1955 di Yogyakarta.

Advertising
Advertising

Panitia Pemilihan Yogyakarta menyusun jadwal tahapan pelaksanaan pemilu, mulai dari pendaftaran hingga pelantikan anggota dewan terpilih, sejak 16 Juli hingga 24 Desember 1951. Bahkan, sosialisasi pemilu sudah dilakukan sebelumnya.

Sosialisasi pemilu tidak mudah. Maklum, pemilu merupakan hal baru bagi panitia maupun masyarakat. Banyak warga yang tidak memahami makna pemilu, untuk apa diselenggarakan, dan apa untungnya bagi mereka. Kendala lainnya yakni masih banyak masyarakat yang tidak bisa membaca dan kesadaran politik rendah. Tingginya angka buta huruf membuat panitia menyelenggarakan pemilu secara tidak langsung atau bertingkat.

Sosialisasi juga terkendala masalah keamanan karena status keadaan bahaya atau Staad van Oorlog en Beleg (SOB) yang ditetapkan oleh UU No. 6 Tahun 1946 belum dicabut. Status SOB ini dipersoalkan oleh partai politik khususnya golongan kiri. Pasalnya, undang-undang tersebut menyebabkan terjadinya penangkapan di beberapa daerah, seperti di Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Yogyakarta. Situasi ini membuat partai politik ragu untuk bergerak bebas dalam menyambut pemilu. Akibatnya, Panitia Pemilihan Yogyakarta harus bekerja keras mensosialisasikan pemilu kepada masyarakat.

Baca juga: 

Buka-Tutup Sistem Pemilu Indonesia

 

Panitia menggunakan berbagai cara untuk mengenalkan pemilu kepada masyarakat, mulai dari menyebarkan selebaran, poster, hingga pemutaran film. Sosialisasi melalui pemutaran film layar tancap dari desa ke desa cukup efektif. Di sela-sela pertunjukan film, panitia menjelaskan arti pemilu dan tujuannya.

Selain itu, panitia menggunakan bahasa sehari-hari untuk mengakrabkan masyarakat dengan istilah-istilah baru dalam pemilu. Contohnya istilah “djago” untuk menyebut calon pemilih DPR Daerah yang akan dipilih oleh masyarakat dalam pemilu. “Dari sana desas-desus, cerita dari mulut ke mulut di banyak wilayah mulai mengakrabkan makna dan tujuan pemilu ke telinga masyarakat,” tulis Salim.

Istilah djago menjadi daya tarik bagi masyarakat. Mereka menanyakan djago di masing-masing kelurahan tiap kali berbincang dengan kawan atau kerabat. Media massa juga turut mempopulerkan istilah ini. Dalam pemberitaan, sejumlah surat kabar menggunakan istilah seperti “penyembelihan djago” untuk menyebut hari dilaksanakannya pemilu.

Namun, sosialisasi yang dilakukan panitia bukan tanpa celah. Beberapa warga mengeluhkan penjelasan panitia tentang pemilu yang panjang dan sulit dimengerti. Selain itu, muncul juga pertanyaan apakah pemilih akan mendapatkan upah karena telah menyediakan waktu (meninggalkan sawah dan pekerjaannya sebagai buruh maupun pedagang di pasar) untuk mengikuti pemilu.

“Sudah pasti ada banyak kelemahan, karena pemilu adalah hal baru bagi warga Yogyakarta sekaligus wilayah yang menjadi tempat uji coba, oleh sebab realitas itulah mengapa Yogyakarta kemudian selalu disebut sebagai ‘kelinci percobaan’, karena mau mengawali pemilihan yang penuh risiko dan gagal,” tulis Salim.

Walau begitu, semakin mendekati hari pemungutan suara, animo masyarakat terhadap pemilu meningkat. Sebagaimana dilaporkan De Vrije Pers: Ochtendbulletin, 27 Agustus 1951, pendaftaran pemilih di semua kelurahan atau desa cukup memuaskan. Sekitar 80 persen pemilih (berusia 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan) telah terdaftar di TPS, di mana mereka telah menerima surat suara. Di semua kelurahan, jumlah calon jauh melebihi jumlah pemilih yang ditetapkan.

“Kelurahan Mantridjeron Utara di Kota Yogyakarta mencatat jumlah pencalonan terbanyak yakni 251 orang, sementara jumlah calon pemilih yang dibutuhkan hanya 35 orang. Sedangkan yang terendah adalah 18 calon untuk 10 suara pemilih. Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya minat masyarakat yang tinggi dalam pemilihan ini, tetapi juga terdapat pertarungan yang sengit di antara para calon,” tulis surat kabar tersebut.

Tak hanya menarik minat masyarakat Yogyakarta, De Vrije Pers: Ochtendbulletin, 31 Agustus 1951, juga melaporkan sejumlah pengamat dari berbagai daerah hadir pada hari pemungutan suara yang berlangsung serentak tanggal 27 dan 28 Agustus. Perwakilan dari beberapa departemen pemerintah dan komunitas otonom serta parlemen juga datang untuk meninjau pelaksanaan pemilu.

Baca juga: 

Pemilu di Kediri Masa Revolusi

Salim mencatat warga ramai-ramai mendatangi lokasi pemungutan suara yang dibagi menjadi 427 tempat. Masing-masing tempat pemungutan suara rata-rata memiliki delapan bilik suara (rata-rata terbuat dari gedhek) dengan satu kotak suara untuk satu djago, sehingga panitia menyediakan 3.416 bilik suara di seluruh Yogyakarta. Bumbung (bambu) dan besek yang disediakan oleh panitia di setiap bilik sejumlah djago yang ada, sehingga total jumlah bumbung atau besek yang disediakan oleh panitia sebanyak 151.088, sementara tanda gambar untuk calon yang dipasang di besek atau bumbung sebanyak 169.974 buah. “Penggunaan bambu dan besek tentu saja karena mudah didapatkan dan murah, selain itu hampir semua dusun di Jawa memiliki pohon bambu,” tulis Salim.

Banyaknya pemilih yang tak dapat membaca membuat tanda gambar yang dipasang di besek dan bumbung menjadi sangat penting. Ada berbagai tanda gambar yang dipasang, namun umumnya sudah dikenal oleh para pemilih seperti bunga, lingkaran, atau lambang padi. Di hari pemungutan suara, para djago akan berada di dekat tanda gambar pilihannya. Saat para pemilih umum mulai berdatangan ke tempat pemungutan suara, mereka mendekati para djago untuk mengamati tanda gambarnya. Selanjutnya mereka menukarkan tanda pemilih umum dengan surat suara lalu masuk ke ruangan pemilihan yang sudah disediakan.

Selesai pemilihan umum tahap pertama, panitia pemilihan melaporkan 7.268 djago yang terpilih. Djago terpilih ini akan memilih anggota DPR Daerah pada 7 Oktober 1951 di tingkat kecamatan. Calon anggota DPR Daerah diajukan oleh partai, organisasi, dan perseorangan. Masyarakat tak lagi terlibat dalam proses pencalonan anggota DPR Daerah karena sudah memberikan mandat suara kepada para djago yang terpilih. Meski begitu masyarakat diundang oleh panitia pemilihan untuk menyaksikan penghitungan suara pada 15 Oktober 1951.

Daniel Dhakidae dalam “Pemilihan Umum di Indonesia: Saksi Pasang Naik dan Surut Partai Politik”, termuat di Demokrasi dan Proses Politik menyebut hasilnya Masyumi sukses meraih kursi terbanyak dengan 18 kursi dari 40 kursi yang diperebutkan. Hasil ini membuat Masyumi semakin diperhitungkan terlebih pada pemilu sebelumnya di Kediri dan Surakarta pada 1946, partai tersebut juga sukses mendominasi hasil pemilu.

Sementara itu menurut Salim, hasil yang tak terduga justru diperoleh Persatuan Pamong Desa Indonesia (PPDI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Meski tidak banyak melakukan upaya menggerakan massa, PPDI berhasil mendapatkan suara kedua terbanyak setelah Masyumi. “Kemungkinan besar yang terjadi adalah sistem perwakilan dalam pemilihan menjadi kuncinya,” sebut Salim. “Yang mengejutkan justru PNI, menampilkan calon dengan nama-nama terkenal seperti tokoh revolusi, bupati, camat, dan tokoh-tokoh lainnya, namun hanya terpilih empat orang.”*

TAG

pemilu yogyakarta pemiludalamsejarah

ARTIKEL TERKAIT

Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Kematian-kematian Sekitar Pemilu 1971 PPP Partai Islam Impian Orde Baru Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Jenderal Kehormatan Pertama Sudharmono Bukan PKI Ketika Komedian Mencalonkan Diri Jadi Presiden Suami-Istri Cerai Gara-gara Beda Partai Gambar Partai Dilumuri Tahi