Pemilu di Kediri Masa Revolusi
Jauh sebelum pemilu nasional pertama tahun 1955, pemilu sempat digelar di masa revolusi seperti di Kediri pada 1946.
PEMILIHAN umum 1955 dianggap sebagai titik awal pelaksanaan pemilu di Indonesia. Pasalnya, pesta demokrasi yang berlangsung pada September dan Desember itu merupakan yang pertama kali digelar secara nasional. Meski begitu, jauh sebelumnya pemilu lokal telah diselenggarakan di beberapa wilayah, salah satunya di Kediri pada 1946.
Pemilu itu berkaitan dengan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat (BPR) Keresidenan Kediri. Dalam buku Propinsi Djawa-Timur terbitan Departemen Penerangan disebutkan pembentukan BPR Keresidenan Kediri diselenggarakan dengan cara pemilihan bertingkat yang terdiri dari dua bagian. Pemilihan pertama diselenggarakan untuk menentukan anggota Dewan-dewan Desa. Sedangkan pemilihan kedua digelar untuk memilih anggota-anggota BPR.
Pemilihan pertama diselenggarakan di seluruh daerah Keresidenan Kediri pada Mei 1946, dan pada 8 Mei telah terpilih 26.073 anggota Dewan-dewan Desa. Setelah itu dilakukan persiapan untuk menyelenggarakan pemilihan anggota BPR.
“Berdasarkan putusan BPR Keresidenan Kediri tanggal 23 Juni 1946, maka guna mengatur penyelenggaraan pemilihan BPR Karesidenan Kediri dibentuk sebuah Panitia Penyelenggara Pemilihan BPR Karesidenan Kediri yang menetapkan ‘Aturan Pemilihan anggota BPR Keresidenan Kediri’,” tulis buku tersebut.
Keresidenan Kediri dibagi dalam lingkungan pemilihan yang sama besarnya dengan kecamatan atau bagian kota otonom, dan distrik-distrik pemilihan yang sama besarnya dengan kabupaten atau kota otonom. Di tiap-tiap lingkungan pemilihan dibentuk sebuah Panitia Lingkungan yang menyelenggarakan pemilihan di lingkungan masing-masing.
Di tiap-tiap distrik pemilihan dibentuk panitia distrik yang mengawasi dan memeriksa pemilihan-pemilihan di daerahnya masing-masing. Pemilihan ini memilih 100 anggota BPR; 80 anggota dipilih oleh anggota Dewan-dewan Desa, sementara 20 anggota lainnya ditunjuk oleh 80 anggota terpilih.
Baca juga:
Sebelum pemilihan anggota BPR diselenggarakan, para Panitia Lingkungan melakukan sosialisasi ke desa-desa guna memberi informasi kepada para pemilih (anggota Dewan-dewan Desa) mengenai tata cara memilih. Panitia menggunakan contoh dari kartu pemilihan (stembiljet) untuk sosialiasi.
Tak hanya Panitia Lingkungan, partai-partai politik dan badan-badan yang turut ambil bagian dalam pemilihan juga melakukan sosialiasi untuk menjaring suara. Mereka keluar masuk desa mengkampanyekan partainya masing-masing.
Tantangan yang dihadapi panitia maupun petugas partai dalam sosialiasi adalah masih adanya anggota Dewan-dewan Desa yang tidak bisa membaca. Solusinya, anggota Dewan-dewan Desa tersebut dianjurkan supaya pada waktu memilih memegang kartu pemilih kemudian menghitung dari atas ke bawah, lalu memilih bilangan yang disukai (nomor urut partai dalam kartu pemilihan) dan mengisi lingkaran yang ada di belakangnya dengan suatu tanda.
Pemilihan anggota BPR dilaksanakan pada Juli 1946. Pada 11 Juli, semua anggota Dewan-dewan Desa dikumpulkan di ruangan pemilihan di masing-masing kecamatan. Mereka diberikan penjelasan secukupnya tentang tata cara mengisi kartu pemilihan.
Setelah itu, dengan suara keras, ketua Panitia Lingkungan memanggil satu per satu anggota Dewan-dewan Desa. Anggota Dewan-dewan Desa yang dipanggil namanya datang menghampiri panitia untuk mengambil sehelai kartu pemilihan yang telah diberi paraf oleh ketua Panitia Lingkungan.
Anggota Dewan-dewan Desa kemudian memasuki ruangan pemilihan untuk mengisi lingkaran yang ada di belakang nama partai yang dikehendaki dengan suatu tanda dan memasukkan kartu pemilihannya ke dalam kotak pemilihan. Proses pemberian suara ini dilakukan secara rahasia dan tiap pemilih hanya dapat memilih satu partai.
Setelah proses pemungutan suara di lokasi pemilihan, lantas bagaimana cara menentukan jumlah kursi untuk masing-masing partai?
Departemen Penerangan menjelaskan jumlah kursi untuk masing-masing partai ditentukan dengan cara membagi jumlah suara dari masing-masing partai dengan quotum. Hasil dari pembagian itu merupakan jumlah kursi yang diberikan kepada masing-masing partai.
Quotum tersebut ditetapkan dengan membagi jumlah semua suara dengan jumlah kursi yang akan dibagikan (80), hasilnya dibulatkan ke atas hingga menjadi angka penuh. Kursi-kursi yang belum terisi sesudah pembagian akan diberikan kepada partai yang memiliki sisa suara terbanyak.
Hasil pemilu BPR tercatat dari 26.073 pemilih (anggota Dewan-dewan Desa), suara masuk berjumlah 20.871 dengan 386 suara atau 1,8 persen tidak sah. Dengan demikian, terpilihlah 80 anggota BPR. Pada 1 Agustus 1946, 80 anggota BPR tersebut menetapkan partai-partai mana yang akan mendapat 20 kursi yang masih belum diisi.
Uji Nugroho Winardi menulis dalam Jogja Memilih: Sejarah Pemilu 1951 & 1955 di Yogyakarta, Masyumi meraih kursi terbanyak dalam pemilu Keresidenan Kediri dengan 43 dari 80 kursi. Tak berhenti di Kediri, Masyumi kembali mendominasi pemilu di Surakarta pada 10 Desember 1946, di mana partai tersebut sukses mendapatkan 104 dari 125 kursi. Setelah tahun 1946, pemilu di masa revolusi kembali diselenggarakan di luar Pulau Jawa. Pada 1948, pemilu digelar di Kalimantan Selatan untuk memilih Dewan Banjar.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar