BEBERAPA hari lalu, kerusuhan meletus di rumah tahanan (rutan) cabang Salemba yang berada di lingkungan Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob), Kelapa Dua, Depok. Penyebabnya: urusan makanan. Lima polisi dan satu tahanan teroris tewas.
Rutan di Mako Brimob adalah tempat penahanan para tersangka tindak pidana, termasuk terorisme. Sebelumnya ia dipakai untuk menghukum anggota polisi yang nakal.
Sebuah kerusuhan terjadi di lingkungan yang seharusnya memiliki tingkat pengamanan tinggi dan penjagaan ketat adalah sebuah ironi. Kelebihan kapasitas daya tampung narapidana menjadi catatan tersendiri. Namun, hal serupa juga pernah terjadi di masa lalu. Pada 30 Januari 1973, kerusuhan terjadi di rutan Komando Daerah Kepolisian (Komdak) Metro Jaya.
Menurut Ekspres edisi 16 Februari 1973, sebanyak 560 tahanan yang menempati sel bawah tanah Komdak Metro Jaya (sekarang Polda Metro Jaya) merusak pintu sel blok A dan B. Mereka membuat gaduh dengan berteriak-teriak dan mencorat-coret ruang tahanan. Usai lepas dari sel, mereka merusak segala barang di aula bawah tanah Komdak Metro Jaya.
“Batu-batu kemudian berterbangan merusak kaca-kaca jendela dan pintu kantor yang terletak di tingkat dua,” tulis Ekspres.
Suasana makin mencekam. Komandan jaga lantas meminta bantuan Polisi Militer Angkatan Darat (POMAD) dan Resimen Pelopor dari Kelapa Dua. Mereka juga memanggil pemadam kebakaran dan ambulan.
Pasukan bantuan yang datang memberikan tembakan peringatan ke udara. Pemadam kebakaran menyemprotkan air ke arah mereka, dan gas air mata dilepaskan.
Kericuhan akhirnya teratasi menjelang pagi.
Motif Kerusuhan
Kerusuhan dipicu ketidakpuasan atas perlakuan buruk yang kerap diterima para tahanan. Hal ini terkait pula dengan ruang tahanan yang melebihi kapasitas.
“Kapasitas sel maksimal hanya dapat menampung sebanyak 250 orang,” kata Kepala Dinas Humas Komdak Nyonya Pramono kepada Ekspres.
Sementara Kepala Daerah Kepolisian (Kadapol; sekarang Kapolda) Metro Jaya Irjen Polisi Widodo Budidarmo menyebut keterlibatan orang luar. Dia mengatakan, sebelum terjadi kerusuhan, beberapa orang luar menghubungi petugas untuk meminta agar para tahanan diberi beberapa lelonggaran. Namun, permintaan itu tak digubris komandan-komandan yang jaga di sana.
Menurut Sinar Harapan, 1 Februari 1973, Widodo menyatakan, kelonggaran yang dimaksud terkait berhubungan dan bergaul sesama tahanan.
Terkait hal itu, seorang polisi wanita (polwan) senior yang pernah berdinas di rutan Komdak pada 1970-an memberikan kesaksian yang mengejutkan. Kesaksian itu dikutip Irawati Harsono dalam tulisan berjudul “Polwan Menegakkan Etika Kepedulian di Tengah Budaya Patriarki”, dimuat di buku Hukum yang Bergerak.
Menurut polwan itu, saat terjadi kerusuhan di rutan Komdak, tembok pembatas ruang tahanan laki-laki dan perempuan dijebol. Lantas, banyak tahanan perempuan diperkosa.
Saat itu, ruang tahanan dibagi menjadi dua bagian terpisah. Separuh untuk tahanan laki-laki dewasa dan separuh lainnya untuk anak-anak dan perempuan dewasa.
Sisa-sisa G30S
Waktu itu, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum diundangkan –baru dilakukan tahun 1981. Akibatnya, banyak tahanan meringkuk selama bertahun-tahun, dan tak ada batasan waktu diajukan ke pengadilan. Coretan di dinding, yang ditemukan wartawan Ekspres, menyiratkan kekecewaan para tahanan itu. Salah satunya, terdapat coretan: “Kami minta agar cepat sidang.”
Namun, seperti alasan yang biasa dipakai di masa Orde Baru, pihak kepolisian menyebut keterlibatan orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Kepala Daerah Kepolisian (Kadapol; sekarang Kapolda) Metro Jaya Irjen Polisi Widodo Budidarmo maupun Nyonya Pramono menyimpulkan, “kerusuhan ini didalangi sisa-sisa G-30-S/PKI.”
Yang pasti, peristiwa tersebut menimbulkan kerugian Rp300 ribu. Empat tahanan yang dituding sebagai provokator diperiksa. Menurut Widodo, pascakerusuhan diadakan pemindahan tahanan sebanyak 100 orang ke rutan Guntur, 20 orang lainnya dimutasi ke Kelapa Dua.
Baca juga:
Ketika Sipir Berserikat di Dalam Penjara
Lima Pemberontakan Penjara Paling Berdarah