DUA menteri pertahanan (menhan) Indonesia di masa permulaan Republik berdiri terbilang sosok yang misterius. Waktu itu namanya masih menteri keamanan rakyat. Supriyadi, menteri pertahanan pertama, menghilang jelang pelantikannya sebagai menteri keamanan rakyat. Apa sebab Supriyadi lenyap, masih misteri hingga kini sehingga lekatlah predikat menteri pertahanan yang hilang pada sosok eks perwira PETA itu.
“Menteri Keamanan Rakyat Supriyadi tidak pernah datang ke Jakarta dan tidak memberi jawaban yang pasti kesediaannya diangkat menjadi menteri. Maka tanggal 20 Oktober 1945 Presiden mengangkat Suliyoadikusumo sebagai Menteri Keamanan Rakyat ad interim yaitu menteri sementara sebelum yang asli ditemukan,” catat Bibit Suprapto dalam Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan Indonesia.
Imam Muhammad Suliyoadikusumo sang pengganti Supriyadi pun sayup-sayup terdengar kiprahnya. Nama Suliyoadikusumo dalam situs resmi Kementerian Pertahanan, kemhan.go.id, hanya disebut sekilas lalu saja.
“Sebagaimana diketahui bahwa Supriyadi tidak pernah menduduki posisi sebagai Menhan dan selanjutnya posisi Menhan digantikan oleh Suliyoadikusumo sebagai Menteri ad interim pada 20 Oktober 1945,” demikian dilansir Kementerian Pertahanan.
Baca juga: Perjalanan Prabowo Menuju Menteri Pertahanan
Sewaktu Jenderal Benny Moerdani menjadi menteri pertahanan (1988—1993), ada pemandangan ganjil di ruang kerjanya di Kantor Departemen Hankam, Jalan Merdeka Barat. Dari deretan potret menteri pertahanan yang sudah menjabat, hanya dua nama yang tidak ditampilkan fotonya dalam figura. Ketiadaan potret Mr. Amir Sjarifuddin barangkali bisa dimaklumi karena keterlibatannya dalam pemberontakan di Madiun 1948. Namun, potret Imam Muhammad Suliyoadikusumo yang ikutan lowong pernah membuat jurnalis foto Isidorus Amin Soetedjo bertanya-tanya. Dari Kolonel Sudarko, kepala Biro Humas Dephankam, diperoleh keterangan bahwa pihaknya kesulitan menghimpun data tentang Suliyoadikusumo.
“Beliau sudah mencari ke IPPHOS, ke Departemen Penerangan, ke Arsip Nasional dan lain sebagainya, tetapi tidak pernah memperolehnya,” sebagaimana dituturkan Isidorus dalam majalah Warnasari, No. 116, September 1988.
Selain itu, nama Suliyoadikusumo disebut dengan penamaan yang beragam. Abdul Karim Pringgodigdo dalam Kabinet-Kabinet Republik Indonesia terbitan Kementerian Penerangan pada 1957, menyebut ejaan namanya: Suliyodikusumo. Jenderal Abdul Haris Nasution dalam bukunya Sekitar Perang Kemerdekaan pada jilid 1—3 menyebutnya Suliyohadikusumo atau Muhammad Suliyohadikusumo. Sementara itu, Mohammad Roem dalam memoarnya Mohammad Roem 70 Tahun: Pejuang dan Perunding (1978) menyebutnya Sulijo Hadikusumo.
Baca juga: Menteri Pertahanan yang Hilang
Secuplik informasi yang lebih luas mengenai Suliyoadikusumo datang dari Mohammad Roem. Semasa muda, Roem dan Suliyoadikusumo bersahabat karib meski keduanya terpaut usia lima tahun. Roem memanggil Suliyoadikusumo dengan sebutan "mas" (kakak). Suliyoadikusumo disebut Roem lahir di Magetan pada 1903.
“Dia itu sahabat baik saya, sama-sama aktivis di dalam Jong Islamieten Bond (JIB). Tahun 1932, ketika saya menikah di Malang dengan Markisah Dahlia, istri saya sekarang ini, Mas Suliyoadikusumo hadir di sana,” kenang Roem seperti dituturkan kepada Isidorus.
Suliyoadikusumo dalam direktori profil Orang Indonesia Terkemuka di Jawa disebutkan lahir pada 18 April 1903 di Magetan Jawa Timur. Setelah menamatkan sekolah dasar HIS, dia lanjut ke sekolah menengah MULO, dan kemudian lanjut ke sekolah hukum di Batavia. Selesai pendidikan, Suliyoadikusumo bekerja di pemerintahan sebagai pejabat yang diperbantukan di Dewan Pengadilan Yogyakarta. Periode 1929—1932, Suliyoadikusumo bertugas sebagai pejabat perbendaharaan pengadilan di Malang, kemudian Bondowoso.
Baca juga: Produk Hukum Kolonial Terekam dalam Arsip
Meski bekerja dalam lembaga pengadilan kolonial, Suliyoadikusumo juga turut dalam pergerakan nasional. Pada 1932, dia didapuk menjadi ketua Islam Studieclub di Bondowo dan Malang. Dalam kepartaian, Suliyoadikusumo duduk dalam Pengurus Besar Partai Sarikat Islam Indonesia (PSSI). Memasuki pendudukan Jepang, Suliyoadikusumo sempat menjadi hakim di Pengadilan Negeri Malang. Tak lama jadi hakim, dia kemudian masuk tentara PETA dan mencapai pangkat daidancho (setara mayor yang membawahi satu batalion pasukan).
Penunjukan Suliyoadikusumo menggantikan Supriyadi sebagai menteri keamanan rakyat cukup mendadak. Pada saat bersamaan sedang berkecamuk Pertempuran Lima Hari di Semarang antara pejuang "Kiblik" dengan serdadu Jepang yang memakan banyak korban di pihak pejuang. Ratusan pejuang Indonesia maupun rakyat sipil tewas dibantai serdadu Jepang. Pemerintah kemudian mengutus Suliyoadikusumo guna mengatasi situasi keamanan di Semarang yang begitu mencekam. Suliyoadikusumo berangkat dari Lapangan Udara Kemayoran dengan menumpang pesawat milik Sekutu.
Baca juga: Tentara Jepang Bantai Pejuang Semarang di Rumah Sakit
Di Semarang, Suliyoadikusumo bergabung dengan pejabat-pejabat Republik setempat, antara lain Gubernur Jawa Tengah Mr. Wongsonegoro. Selain pemerintah Indonesia dan otoritas militer Jepang, perundingan juga melibatkan Sekutu yang sudah datang untuk melucuti tentara Jepang. Perundingan berlangsung di Hotel Du Pavilion yang sekarang bersalin nama menjadi Hotel Dibya Puri.
“Setiba kembali di Jakarta, selain menceritakan keadaan di Semarang, Mas Suliyoadikusumo juga menceritakan kepada saya, itulah pertama kali ia naik pesawat terbang. Ia mengalami mabuk udara. Itu bisa dimaklumi, sebab sejak jaman penjajahan Belanda sampai jaman Jepang, sedikit saja orang-orang Indonesia sekalipun punya jabatan penting memperoleh kesempatan naik pesawat udara,” tutur Roem.
Suliyoadikusumo hanya sebentar jadi menteri, tak sampai sebulan. Sebab, pada 14 November kabinet berganti. Nomenklatur menteri keamanan rakyat diganti menjadi menteri pertahanan yang kemudian dijabat oleh Mr. Amir Sjarifuddin. Suliyoadikusumo selanjutnya ditempatkan di Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta sebagai perwira bagian hukum. Dalam kedudukan itu, Suliyoadikusumo sempat berperan menangani kasus Kudeta 3 Juli 1946 yang hendak melengserkan Kabinet Sjahrir. Setelahnya, Suliyoadikusumo menepi dari pemerintahan. Namanya, ujar Roem, tak pernah muncul lagi baik dalam percaturan militer nasional, apalagi percaturan politik Indonesia.*