Masuk Daftar
My Getplus

Kematian Igning Bikin Indonesia Pening

Perwira Filipina yang ikut membantu perjuangan Indonesia, meninggal di Jogja. Setengah mati AURI berjuang memulangkan jasadnya.

Oleh: M.F. Mukthi | 04 Mar 2019

OPSIR Muda Udara II Boediardjo kaget. Sebuah kawat datang dari Yogyakarta ketika pesawat RI-002 yang ditumpanginya menuju Manila masih di udara. Perwira Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) itu langsung sedih. Kawat itu mengabarkan berita duka.

Namun, instruktur di Sekolah Radio Telegrafis Udara AURI itu tak langsung memberitakan isi kawat. Sebab, penerbangan tanggal 23 November 1947 itu membawa Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan delegasinya yang akan menghadiri konferensi ECAFE kedua di Baguio, Filipina, 24 November-6 Desember 1947.

Baru setelah pesawat mendarat di Bandara Makati, Boediardjo menemui Opsir Udara II Petit Muharto, rekannya dalam penerbangan itu. “Harto, Igning meninggal, tetapi kakakmu juga,” ujarnya, dikutip Irna HN Soewito dan kawan-kawan dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950. Tangis Boediarto pun pecah.

Advertising
Advertising

Keduanya tak pernah menyangka hidup Igning, nama alias Kapten Ignacio Espina, berakhir tragis. Perwira intelijen AD Filipina itu datang ke Indonesia untuk tugas melatih taktik gerilya. Dia menumpang pesawat yang sama, yang juga diawaki Boediardjo dan Muharto. Yang lebih tragis lagi, Igning tewas bersamaan dengan Kapten AL Deddy Muhardi, kakak Muharto yang ditugaskan mendampingi Igning selama di Yogyakarta.

Baca juga: Tentara Filipina Tewas di Yogyakarta

“Tidak terbayangkan bagaimana perasaan Petit, sebab dialah yang harus menyampaikan berita duka ini kepada pihak Filipina,” ujar Boediardjo dalam memoarnya, Siapa Sudi Saya Dongengi.

Malam itu juga Muharto mendatangi markas besar Intelijen Angkatan Darat Filipina. Kepada Mayor Primitivo San Agustin, deputi Kepala G-2 AD Filipina, Muharto menyampaikan berita kematian Igning. Tapi alih-alih mendapat simpati atau penghargaan semestinya, Muharto justru dicurigai. Pihak Filipina curiga Muhardi adalah seorang perwira sekaligus agen komunis. Mereka curiga Muhardilah yang membunuh Igning.

Muharto jelas kaget. Berulangkali dikatakannya bahwa dia sendiri baru mendapat kabar setelah di Bandara Makati. Namun, upaya itu tak berhasil mengubah pendirian para interogator. Permintaan Muharto agar Boediardjo selaku pemberitahu kabar dihadirkan, ditolak. “Sampai jauh malam Muharto diinterogasi oleh 12 orang yang penuh emosi dan bertele-tele,” tulis Irna.

G-2 AD Filipina akhirnya memutuskan agar pemerintah Indonesia segera memulangkan jenazah Igning. Kepada Indonesia juga dimintakan agar menyatakan penyebab kematian Igning adalah kecelakaan, bukan pembunuhan. “RI-002 segera balik ke Yogya,” ujar Boediardjo.

Pada 29 November, RI-002 bertolak kembali ke Manila untuk memulangkan jenazah Igning dengan rute Yogyakarta-Pekanbaru-Labuan-Manila. Kendati penerbangan VIP, RI-002 tak hanya mengangkut awaknya plus peti jenazah Igning tapi juga mengangkut 20 siswa penerbang yang akan menempuh pendidikan penerbang di India.

Baca juga: Suka-Duka Terbang ke Filipina

Cuaca buruk dan menipisnya bahan bakar memaksa RI-002 mendarat di Changi, Singapura. Kepada komandan RAF (AU Inggris), Pilot Bob Freeberg dan navigator Muharto langsung memberitahukan alasan pendaratan darurat pesawatnya dan juga menjelaskan peti jenazah yang diangkut pesawatnya berisi jenazah Achmad. Lantaran orangtua Achmad orang kaya, dia ingin menguburkan anaknya di kampung halaman, Pekanbaru. Untuk itu, Bob meminta dicarikan bahan bakar agar bisa melanjutkan penerbangan ke Pekanbaru.

Begitu RAF percaya, Muharto dan Boediardjo (radio operator) langsung mengontak perwakilan Indonesia di Singapura Mr. Utoyo Ramelan, kakak ipar KSAU Komodor Suryadarma. Orang yang dikontak pun datang tak lama kemudian bersama seorang pejabat, dan memberikan bantuan bahan bakar yang dibayar oleh Kantor Penghubung.

Namun sesaat sebelum Bob menerbangkan pesawat, masalah tiba. Director of Civil Aviation (DCA) meminta jurisdictie atas pesawat yang dipiloti Bob itu dan menuntut RI-002 diterbangkan ke Bandara Kallang untuk diperiksa. Pers pun mencium misi rahasia AURI itu. Meski oleh Muharto dijelaskan bahwa pesawat membawa peti jenazah seorang pria asal Riau, The Strait Times memberitakan bahwa jenazah Achmad yang diangkut RI-002 merupakan Achmad Sukarno, presiden Indonesia.

Setelah tiga pekan menahan RI-002, DCA akhirnya mempercayai keterangan awak pesawat itu. Pesawat RI-002 pun kembali mengudara menuju Labuan, Kalimantan Utara yang kala itu masih milik Inggris.

Baca juga: Misi Kina Indonesia

Sama seperti pendaratan di Changi, begitu mendarat di Labuan Bob-Muharto-Boediardjo langsung ditodong otoritas bandara dengan pertanyaan tentang peti jenazah. Lagi-lagi, jawaban yang sama diberikan oleh para awak RI-002. Belum cepatnya arus informasi membuat otoritas bandara langsung percaya. Maka setelah makan siang dan mendapat bahan bakar, Bob langsung menerbangkan pesawat menuju Manila.

Di Bandara Makati, para personil G-2 AD Filipina langsung menjemput peti jenazah Igning begitu RI-002 mendarat. Setelah memeriksa dengan seksama, mereka memastikan bahwa jenazah yang dibawa benar merupakan jenazah Igning.

Di acara pemakaman, Muharto ikut memberi kata sambutan. Atas nama para pejuang Indonesia, Muharto mengatakan bahwa Igning merupakan orang baik yang mendapat sambutan luar biasa dari para pejuang. Pemerintah Filipina pun menyatakan masalah Igning selesai bersamaan dengan dikebumikan jasadnya.

“Akhirnya segala keraguan lenyap sudah. Persahabatan dan solidaritas Indonesia-Filipina tetap terjaga,” ujar Boediarto.

TAG

Sejarah-Indonesia Sejarah-AURI

ARTIKEL TERKAIT

Dari Pemberontakan ke Pemberontakan (Bagian I) Komandan AURI Pantang Kabur Menghadapi Pasukan Gaib Kisah Pasukan Gabungan AURI-ALRI Menahan Gempuran Belanda Seragam Batik Tempur Sosok Sukarno dan Pak Dirman dalam Kadet 1947 Tragedi Pesawat Angkatan Udara di Mata Utami Suryadarma Posisi AURI dalam Insiden Laut Aru Jajan Tahu Pakai Pesawat Mustang Ketika Hatta dan Pengusaha India Kerjai PM Nehru Hatta Bikin Pengusaha Hasjim Ning Pening