Masuk Daftar
My Getplus

Suka-Duka Terbang ke Filipina

Misi AURI menembus blokade Belanda ke Filipina. Menghadapi beragam cobaan, bahkan hingga penerbangan pulang ke kampung halaman.

Oleh: M.F. Mukthi | 16 Okt 2018
RI-002, pesawat yang digunakan AURI untuk melakukan MIsi Kina ke Filipina/Foto: Repro buku "Bapak Angkatan Udara: Suryadi Suryadarma".

BEGITU pesawat RI-002 mendarat di Bandara Makati, Manila, para awak Misi Kina –misi udara menembus blokade ekonomi Belanda untuk menjual kina ke Filipina semasa Perang Kemerdekaan– merasa lega. Penerbangan “ilegal” yang dipiloti Kapten Bob Frieberg, veteran pilot AL AS yang menjadi pilot sipil di Maskapai Commercial Air Lines Incorporated (CALI), itu berhasil menembus blokade ekonomi Belanda.

Misi Kina yang dibuat KSAU Suryadarma untuk mencari tambahan dana guna membiayai perjuangan itu dipimpin Opsir Udara III Petit Muharto. “Dalam kondisi dikepung daerah Federal yang telah dikuasai Belanda, pada hakikatnya Djokjakarta sudah diblokade dengan rapat sehingga tidak mungkin lagi bisa mendatangkan obat-obatan, begitu juga upaya mencukupi kebutuhan sandang serta beragam keperluan hidup lainnya. Blokade tersebut hanya bisa ditembus lewat udara, dengan memanfaatkan sejumlah penerbang pemberani, yang berani nekad menerobos blokade,” tulis Julius Pour dalam Doorstoot naar Djokja.  

Baca: Misi Kina Indonesia

Advertising
Advertising

Di Bandara Makati, para anggota Misi Kina bisa menarik nafas dalam-dalam. Terlebih, kedatangan mendadak mereka menarik perhatian orang-orang setempat. “Kapten Freeberg dan ‘para awak Jawa’-nya menjadi selebriti. Bukan hanya pers, tetapi para mahasiswa, dan asosiasi profesional termasuk bahkan Asosiasi Pengacara Wanita ingin mendengar apa sebenarnya revolusi Indonesia dari tangan pertama,” ujar Muharto sebagaimana dikutip Paul F Gardner dalam Shared Hopes, Separate Fears: Fifty Years of US-Indonesian Relations.

Namun, para awak tetap yakin bahaya di perjalanan keluar dari wilayah Indonesia pada pergantian dari 9 ke 10 Juni 1947 itu bukan satu-satunya masalah yang akan dihadapi. Perjalanan mereka lakukan ibarat “bunuh diri”. Selain tanpa pemberitahuan terlebih dulu, pesawat RI-002 yang mengangkut mereka memiliki kode panggilan “RI”, tak dikenal dalam dunia penerbangan internasional. Lalu yang tak kalah fatal, penerbangan RI-002 berasal dari negara yang belum diakui internasional.

Benar saja. Tak lama setelah menjadi “selebritas” sesaat, pilot Bob Freeberg langsung dipanggil Direktorat Penerbangan Sipil (DPS) Filipina. Dia ditanyai beragam kelengkapan prosedur penerbangannya. Tapi, masalah baru muncul ketika pertanyaan jatuh pada siapa co-pilot Bob. “Bob bingung dan tidak cepat menjawab. Agaknya ia lupa bahwa penerbangan internasional dengan Dakota harus didampingi co-pilot,” tulis Ina HN Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950.

Dalam kebingungan itu, Muharto buru-buru bertindak. “Saya co-pilotnya,” ujar dia menjawab pertanyaan petugas DPS. Tapi upaya itu justru membuatnya mendapat masalah baru. Petugas DPS tak percaya sehingga meminta Muharto menunjukkan identitas penerbangnya. Kontan, Muharto kebingungan. Dia tak punya kartu identitas yang dimaksud karena memang belum pernah mengenyam pendidikan penerbangan.

Setelah putar otak, dia mengeluarkan satu-satunya kartu identitas yang dia punya: Kartu Tanda Anggota AURI. Di kartu itu tertulis “Muharto, Opsir Udara III”. Muharto yakin dia bisa mengelabui para petugas lantaran tak satu pun petugas tahu bahasa Indonesia. Dengan percaya diri Muharto langsung membacakan kartu identitasnya: “Muharto, Pilot Officer Third Class.”

Muharto berhasil. Para petugas tampak puas. “Mulai saat itu di Filipina Muharto secara resmi diakui sebagai penerbang,” sambung Irna.

Namun, selesainya urusan adminitrasi penerbangan hanyalah pintu bagi para anggota misi memasuki masalah-masalah berikutnya. Lebih dari dua bulan waktu yang mereka habiskan untuk menyelesaikan masalah-masalah itu, mulai dari menghadapi tuntutan Konsulat Jenderal Belanda hingga mencari pembeli vanili dan kina yang mereka bawa.

Kini, mereka tinggal menghadapi masalah terakhir: pulang ke Yogyakarta. Terbang langsung Manila-Yogyakarta tak mungkin karena daya jelajah pesawat tak mampu bila tanpa transit. Sementara, Labuan di Kalimantan yang biasa dijadikan tempat transit mesti dihindari RI-002 untuk menghindari patroli pasukan Inggris. Sebab, perjalanan pulang itu misi membawa penumpang baru, Kapten Ignacio “Igning” Espina dari AD Filipina, yang diperbantukan untuk melatih gerilya para pejuang di Jawa. “Sikap pemerintah Filipina jelas bersimpati kepada tujuan kami, sementara opini publik mengutuk apa pun yang berbau kolonialisme,” ujar Muharto, dikutip Gardner. Namun, Filipina tak ingin hubungannya dengan Indonesia diketahui negara lain.

Bob lalu meminta bantuan rekan-rekan penerbang militer AS-nya yang ada di Manila. Dia mendapat sebuah tangki pesawat bekas. Tangki itu lalu ditaruh di dalam kabin dan disambungkan pipa-pipa sehingga berfungsi menjadi tangki cadangan.

Maka, pada September 1947 itu RI-002 bertolak dari Manila menuju Sanga-Sanga di Mindanau Selatan. Di bandara transit itu, para awak menginap semalam dan melanjutkan penerbangan keesokan harinya dengan seluruh tangki yang sudah penuh terisi bahan bakar. Di langit Kalimantan timur Bob memfungsikan tangki cadangannya karena mesin mulai “batuk” kehabisan bahan bakar.

Ketika senja, RI-002 telah mencapai sekitar Salatiga. Bob hanya mengandalkan Muharto, yang hafal geografis Jawa, sebagai penunjuk jalan. Namun entah kenapa, yang diandalkan justru agak bingung petang itu karena ketidaktampakan Gunung Merapi-Merbabu. Muharto berupaya mengidentifikasi kota di hadapannya, tapi tetap tak mendapat keyakinan.

Dalam keadaan remang-remang di ambang malam, sementara pesawat sudah diturunkan Bob sampai 2000 kaki, Muharto akhirnya mendapat keyakinan bahwa pegunungan di hadapannya merupakan Pegunungan Seribu, yang membentang di sisi selatan Jawa. Dia langsung meminta Bob membelokkan pesawat ke utara begitu pegunungan habis.

RI-002 akhirnya mencapai langit Alun-alun Kidul Yogyakarta. Namun, kedatangannya justru dianggap penduduk sebagai akan adanya bombardir udara sehingga mereka semua mematikan lampu. “Anehnya, dalam keadaan gelap itu ada 5 sampai 6 senter dimainkan ke atas. Tampaknya mata-mata NICA menyambut kedatangan pesawat yang dikira sekutunya,” tulis Irna.

Bob langsung mengarahkan RI-002 berputar-putar sambil menaik-turunkan sayap sebagai kode teman dalam dunia penerbangan. Usahanya berhasil. Sekejap kemudian, lampu landasan Maguwo menyala. RI-002 mendarat dengan aman. Mission accomplish.  

TAG

Sejarah-Indonesia Sejarah-AURI

ARTIKEL TERKAIT

Dari Pemberontakan ke Pemberontakan (Bagian I) Komandan AURI Pantang Kabur Menghadapi Pasukan Gaib Kisah Pasukan Gabungan AURI-ALRI Menahan Gempuran Belanda Seragam Batik Tempur Sosok Sukarno dan Pak Dirman dalam Kadet 1947 Tragedi Pesawat Angkatan Udara di Mata Utami Suryadarma Posisi AURI dalam Insiden Laut Aru Jajan Tahu Pakai Pesawat Mustang Ketika Hatta dan Pengusaha India Kerjai PM Nehru Hatta Bikin Pengusaha Hasjim Ning Pening