Dengan gaya pemerintahan yang otoriter, tidak ada orang yang berani terang-terangan menentang Presiden Soeharto selama Orde Baru berkuasa. Apalagi memintanya untuk mundur dari jabatan presiden. Pemimpin rezim Orde Baru itu baru lengser setelah ditumbangkan lewat gelombang reformasi. Krisis moneter dan desakan rakyat yang berunjuk rasa menjadi cikal bakal keruntuhan Soeharto.
“Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998,” kata Soeharto dalam pidato pengunduran dirinya.
Sebelum kejatuhannya yang tragis itu, sang istri, Siti Hartinah disebut-sebut pernah menyarankan agar Soeharto mundur. Pada 1992, Ibu negara yang akrab disapa Ibu Tien itu mengusulkan kepada Soeharto agar tidak usah lagi mencalonkan diri dalam pemilihan umum. Pertimbangan Ibu Tien mengingat kondisi suaminya yang sudah lanjut usia akan begitu berat menjalankan peran dan tugas sebagai presiden. Namun, anjuran itu tidak mempan. Soeharto terpilih lagi dalam pemilihan umum untuk periode 1993—1998.
Orang Pertama
Kendati demikian, Ibu Tien bukanlah orang pertama yang meminta Soeharto turun takhta. Bustanil Arifin, kerabat Soeharto dari pihak Ibu Tien yang juga mantan Kepala Bulog menyebut nama Sayidiman Suryohadiprodjo sebagai orang pertama yang meminta Soeharto meletakkan jabatan presiden. Sayidiman merupakan mantan Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) dan duta besar Indonesia untuk Jepang. Semasa aktif di TNI, Sayidiman yang jebolan Akademi Militer Yogya angkatan pertama ini dikenal sebagai perwira intelektual.
“Dialah yang pertama kali meminta secara langsung kepada Presiden Soeharto untuk segera meletakkan jabatan alias mengundurkan diri sebagai Presiden RI. Atau tidak mencalonkan diri lagi pada Pemilu 1992, dan menolak dicalonkan kembali oleh Golkar pada tahun itu juga,” kata Bustanil dalam Kompas, 2 Juni 1998.
Baca juga:
Pesan Soeharto bagi yang Kalah Pemilu
Himbauan Sayidiman bermula ketika dirinya diminta untuk menyumbangkan tulisan dalam buku kenang-kenangan memperingati 70 tahun usia Soeharto. Seingat Sayidiman, seperti dikisahkan dalam laman pribadinya sayidiman.suryohadiprojo.com tawaran itu terjadi pada akhir tahun 1980-an. Namun, Bustanil Arifin memastikan kejadian itu berlangsung pada tahun 1986.
Semula, Sayidiman menanggapinya sebagai basa-basi belaka sebab dirinya tidak termasuk orang lingkaran dalam Presiden Soeharto. Dia juga sadar diri bukan pejabat tinggi setara menteri pilihan Soeharto. Surat permintaan untuk menyumbangkan tulisan dari Soeharto itupun sempat diacuhkan Sayidiman. Ternyata, Soeharto menagih tulisan Sayidiman. Ajudan Presiden menelepon Sayidiman yang meneruskan pesan Soeharto tentang permintaan sumbangan tulisan itu.
“Wah, saya terkejut, jadi surat itu serius! Saya langsung jawab bahwa tulisan sebentar lagi selesai dan besok pagi akan saya antarkan ke Cendana,” kenang Sayidiman.
Baca juga:
Surat Perintah yang Terlupakan
Sayidiman menuangkan testimoninya tentang Soeharto ke dalam dua bagian. Pada bagian pertama, Sayidiman menyebutkan segala kekuatan dalam kepemimpinan Soeharto. Hal ini meliputi kecakapan Soeharto sebagai ahli strategi militer dan politik, sifatnya yang dekat dengan rakyat khususnya petani dan nelayan, sosok Family Man yang setia kepada istri dan keluarga, serta kemampuan memimpin para menteri yang banyak bergelar intelektual tinggi.
Agar fair dan berimbang, pada bagian kedua, Sayidiman juga menyoroti kelemahan Soeharto. Sayidiman mengatakan, dengan berbagai kekuatannya agak sukar dipahami mengapa Soeharto masih menunjukan ketidakpercayaan diri melalui tindakannya memukul pihak lain. Sepertinya misalnya terhadap Megawati yang putri Bung Karno dan kelompok perwira TNI yang tergabung dalam Petisi 50. Padahal, kalau mau menggunakan kekuatannya untuk merangkul, tentu posisi Soeharto lebih kuat di hadapan para oposisi.
Sebagai kesimpulan, pada bagian ketiga, Sayidiman menyarankan agar Soeharto melepaskan keterlibatannya dalam kehidupan formal kenegaraan. Menurut Sayidiman, inilah saat yang tepat bagi Soeharto turun dari panggung kekuasaan setelah mencapai puncaknya. Lagi pula, seluruh dunia telah memperhatikan Indonesia yang telah berkembang maju dengan kepemimpinan Soeharto. Dalam filosofi Jawa, cara turun takhta demikian lazim disebut sebagai lengser keprabon. Sayidiman merujuk kepada pemimpin Singapura Lee Kuan Yew, meski telah menanggalkan posisi perdana menteri namun tetap dihormati seluruh rakyat.
Baca juga:
Chemistry Lee Kuan Yew Pada Soeharto
Sayang sekali, setelah Sayidiman menyerahkan gagasan tertulisnya ke Cendana, bagian kedua dan ketiga harus kena sensor alias tidak dapat dimuat. Ketika buku berjudul Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun itu terbit pada 1991, tulisan Sayidiman yang dimuat hanya bagian pertama saja.
Tak Usah Ya!
Gagasan Sayidiman yang menyarankan Soeharto untuk mundur itu dibenarkan Bustanil Arifin. Menurutnya sebagai seorang bawahan yang setia pada atasan, Sayidiman paham betul konsekuensinya melontarkan pendapatnya itu langsung kepada Soeharto. Sebagai seorang yang tahu betul seluk-beluk geopolitik Indonesia saat itu, dimana kondisi perekonomian sedang jaya-jayanya, amat mustahil ada orang mengajukan usulan ‘gila’ seperti itu kepada Soeharto. Tetapi ia melontarkan pendapatnya itu justru agar dimuat dalam sari pendapatnya dalam buku itu.
Namun, respon mengejutkan diperlihatkan Soeharto ketika membaca tulisan Sayidiman. Waktu itu bertepatan Bustanil berada di Cendana. Soeharto sempat menyodorkan naskah itu kepada Bustanil dan menanyakan tanggapannya.
Baca juga:
Presiden Soeharto Becanda di Papua
“Bus, ini ada tulisan temanmu Sayidiman yang menyarankan agar saya mengundurkan diri sebagai presiden,” ujar Soeharto.
Bustanil hanya menanggapi seadanya dengan bertanya balik, “Bagaimana pendapat Bapak?”
“Tak useh yee,” jawab Soeharto santai dengan gaya Betawi.
Kalimat “Tak usah ya” waktu itu memang sedang digandrungi. Dipopulerkan oleh karakter Emon yang gemulai dalam film Catatan Si Boy dan sering dijadikan guyon dalam siaran radio. Bermuasal dari lagu gambang kromong berjudul “Tak Usah Ja” yang dinyanyikan penyanyi keroncong Betawi Suhaeri Mufti.
Baca juga:
Akhir Palagan Jenderal Sayidiman
Sebelum wafat pada 16 Januari 2021 lalu, Historia sempat mewawancarai Sayidiman. Mengenai sarannya meminta Soeharto untuk mundur pun terkonfirmasi. Meski terbilang berani, menurut Sayidiman, dia telah melakukan apa yang sepatutnya. Ketika mengenang peristiwa itu, Sayidiman terkekeh kala menuturkan kalimat “Tak usah ya” itu kepada kami. Kemudian dengan senyum tersimpul seraya menatap lurus ke depan, Sayidiman berujar.
“Andai kata Pak Harto mau perhatikan saran saya, ia akan turun secara terhormat dan selalu terkenang positif di Indonesia.”