Masuk Daftar
My Getplus

Kala Soeharto Jadi Panglima (1)

Demi operasi membebaskan Irian Barat, aib sang jenderal pun dinafikan.

Oleh: Martin Sitompul | 26 Agt 2018
Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Komando Mandala Operasi Pembebesan Irian Barat. (Koleksi Dinas Sejarah AD).

SOEHARTO sumringah begitu mendengar dirinya akan ditugaskan ke medan tempur. Sebagai perwira lapangan, dia memang cukup berpengalaman dalam soal perang. Itu pula yang mengantarkannya menjadi Panglima Divisi Diponegoro di Jawa Tengah. Kali ini, Presiden Sukarno mendapuknya memimpin operasi militer pembebasan Irian Barat.

“Pelaksana komando itu adalah ‘Komando Mandala Pembebasan Irian Barat’, yang dipikulkan pada pundak saya,” kata Soeharto dalam otobiografinbya Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang disusun Ramadhan K.H.

Dengan bangga, Soeharto menyambut panggilan tugas itu. Panggung Irian Barat adalah kesempatan untuk membuktikan kualitas keperwiraannya. Sebagai lulusan terbaik Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD) di angkatannya, Soeharto menyadari kemampuannya sedang dalam uji coba.

Advertising
Advertising

 “Kejadian ini merupakan suatu tantangan, tapi juga kehormatan yang luar biasa bagi Prajurit Sapta Marga,” kenangnya lagi.

Penguasa Indonesia Timur

Komando Mandala dibentuk pada 2 Januari 1962. Sepekan berselang, Komando Operasi Tertinggi (KOTI) mengumumkan Brigadir Jenderal Soeharto sebagai panglimanya. Pada saat yang sama, Soeharto naik pangkat menjadi mayor jenderal. Wakil Kepala Staf AD, Letnan Jenderal Gatot Subroto melantik Soeharto di Istana Bogor, 23 Januari 1962.

Posisi panglima yang dipegang Soeharto berbeda dengan panglima daerah kebanyakan. Komandonya terdiri dari beberapa divisi dengan total 42.000 pasukan gabungan dari semua matra. Sedangkan wilayah perang Mandala membentang antara Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Dengan kata lain, seluruh kawasan Timur Indonesia saat itu dipimpin oleh Soeharto untuk menghadapi Belanda di Irian Barat.

“Tugas saya sangat berlainan dengan tugas panglima-panglima di negara lain,” kata Soeharto kepada jurnalis Jerman O.G Roeder dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto. “Mereka itu menggunakan pasukan-pasukan yang telah disiapkan; sedangkan saya mesti menyusun pasukan-pasukan itu lebih dahulu. Baru sesudah itu saya dapat merencanakan operasi.”

Selain jabatan panglima, Soeharto juga diberi pangkat gubernur militer Mandala. Kedudukan itu memberinya kekuasaan hukum darurat efektif atas wilayah Mandala. Tanggung jawab nya termasuk meningkatkan produksi pangan dan menyiapkan pemerintahan sipil Irian Barat sebagai misi pasca pembebasan. 

Baca juga: Muslihat Opsus di Papua

Tiga bulan pertama, Soeharto mengepalai Komando Mandala di markas Korps Caduad, Jakarta Pusat. Pada 12 Maret 1962, markas komandonya pindah ke Makassar, Sulawesi Selatan. Ketika bertugas di sana, anak kelima Soeharto lahir yang kemudian dinamai Hutomo Mandala Putra. Nama itu –dengan panggilan di rumah Tommy– kata Soeharto, memberi kenang-kenangan tersendiri pada tugas yang sedang dijalankannya.

“Suatu pertanda betapa kewajiban tugas yang diemban Soeharto amat penting,” tulis sejarawan Robert Elson dalam Suharto: Sebuah Biografi Politik.

Momok Belanda

Banyak kalangan menyoroti pengangkatan Soeharto. Tajuk rencana Merdeka, 10 Januari 1962 menuliskan, “Ini adalah pengangkatan yang sudah lama dinanti-nantikan.” Harian Duta Masjarakat sebagaimana dikutip Elson bahkan mengangkat laporan khusus mengenai sosok Soeharto. Panglima yang pamornya baru naik ini digambarkan berwajah bersih dan terkesan seperti selalu tersenyum. Rambutnya beriak-riak kecil tersisir ke belakang dan kulitnya kuning langsat.

Dalam arus publisitas yang berpusar sekitar penunjukannya, Soeharto mendapat julukan “momok Belanda”. Ketika wartawan menanyakan perihal julukan tadi, Soeharto tersenyum sambil menjawab, “Ya, bagaimana ya, biasa saja, ah?,” Dia pun enggan membesarkan promosi terbarunya sebagai jenderal bintang dua.

Popularitas yang dituai Soeharto seiring jalan dengan karakter low profile yang dimilikinya. Menurut R. Ridhani dalam Mayor Jenderal Soeharto: Panglima Komando Mandala, Soeharto dikenal sebagai seorang tokoh militer pendiam dan dianggap tak berambisi politik. Dia diperhitungkan lebih mampu untuk menjadi pengendali operasi militer yang direncanakan akan besar-besaran.

Meski demikian, ada juga yang terkejut dengan pengangkatan Soeharto ke posisi amat penting bersakala nasional. Ini terutama berasal dari kelompok petinggi Jakarta. Di level pusat, nama Soeharto agak kurang bersih. Citra demikian sehubungan dengan perdagangan yang dilakukan Soeharto semasa menjabat Panglima Diponegoro.

Baca juga: Persekutuan Jenderal dan Pengusaha

Tersebutlah peran Kepala Staf AD, Jenderal Abdul Haris Nasution di balik pengangkatan Soeharto sebagai Panglima Mandala. Dalam memoarnya, Nasution mengakui ketidaksenangan Presiden Sukarno terhadap Soeharto, terutama soal “barter Semarang”. Komisi disiplin AD yang diketuai Brigadir Jenderal Badarusyamsi sebelumnya telah menetapkan perbuatan Soeharto sebagai tindak penyelundupan. Sukarno lantas menegur Nasution supaya perkara ini diteruskan ke pengadilan.   

“Disimpulkan bahwa barter ini adalah kecil. Dan Panglima Soeharto berniat baik, yakni untuk proyek kesejahteraan prajurit dan pembangunan daerah,” ungkap Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama. Nasution juga mengetahui bahwa Sukarno cukup menghargai Soeharto sebagai komandan yang menonjol dalam ABRI.

“Dan Presiden tidak ragu-ragu dalam menerima usul saya mengangkat Jenderal Soeharto menjadi Panglima Mandala Pembebasan Irian Barat.”

Baca juga artikel sebelumnya:  Papua di Tangan Soeharto

TAG

Soeharto

ARTIKEL TERKAIT

Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto TAP MPR Dicabut, Sejarah Makin Berkabut Pencabutan TAP MPR Membuka Lagi Wacana Gelar Pahlawan Soeharto, Begini Kata Sejarawan Merehabilitasi Soeharto dari Citra Presiden Korup Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967 Eks KNIL Tajir Soeharto Berkuasa seperti Raja Jawa Ali Moertopo “Penjilat” Soeharto Pangeran Haryasudirja Hampir Mati Ditembak Jepang Nisan dan Tengkorak dalam Peringatan Reformasi