Masuk Daftar
My Getplus

Juru Tulis Nasionalis

Dia berulang kali masuk penjara, diasingkan ke Boven Digul Papua, lalu ke Australia. Dari sana, dia bergerak untuk Indonesia merdeka.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 19 Okt 2011
Mohamad Bondan dan istrinya, Molly, di Jakarta, 1963. Foto: Ivan Southall.

BELANDA semakin terdesak. Jepang menghujani gulag Tanah Merah Papua dengan peluru. Belanda, yang prihatin akan keselamatan keluarga para pejabat Hindia Belanda di sana, meminta agar Australia mengizinkan untuk mengevakuasi warganya dari Boven Digul ke Australia. Permintaan itu disetujui dan pengungsian dipimpin oleh Van der Plas.

Selain warga Belanda, mereka juga mengungsikan para tawanan Indonesia. Pasalnya, Belanda takut, jika dibebaskan Jepang, para tawanan akan menjadi alat propaganda anti-Belanda. Terlebih Jepang membentuk tentara partisan dan akan melakukan pemberontakan. Belanda berharap, para tawanan yang diangkut ke Australia akan membantu Belanda.

Pada Juni 1943, rombongan sebanyak 502 orang Indonesia laki-laki, perempuan, dan anak-anak diangkut ke Australia. Dalam rombongan terakhir yang berjumlah 15 orang terdapat Mohamad Bondan.

Advertising
Advertising

Bondan lahir di Desa Bojong, Kecamatan Susukan, arah barat laut Kota Cirebon. Tak ada catatan resmi kapan Bondan dilahirkan. Ada dua versi tanggal kelahirannya, yaitu 15 Januari 1910 dan 13 Januari 1911. Bondan berdarah bangsawan Cirebon. Ayahnya, Ranasudirdja, seorang mantri polisi kehutanan, adalah anak Sastradirana, seorang demang dan kepala distrik Plumbon yang memiliki tiga istri –salah satunya diyakini anak bangsawan. Ibunya, Amimah, adalah anak Sacawilastra, seorang mantri irigasi. Karena menjadi pelayan sebuah keluarga Belanda, Amimah dapat berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Belanda.

Bondan menyelesaikan sekolah HIS Kuningan pada pertengahan 1926, setelah berkali-kali pindah sekolah. Namun, dia tak bisa melanjutkan ke MULO. Selain baru dibuka di Cirebon sehingga peminatnya besar, biayanya juga tak terjangkau. Dengan berbekal ijazah HIS dan pengaruh ayah dan kakak iparnya yang menjadi pegawai pemerintahan, dia mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu juru tulis di kantor pemerintahan Kota Praja Cirebon.

Gejolak jiwa muda, apalagi sebagai terpelajar, membuat Bondan terlibat dalam pergerakan nasional. Pertengahan 1929, bersama Ronggo dan Pringgodimedjo, dia membidani Partai Nasional Indonesia (PNI) cabang Cirebon.

Bondan mengawali Memoar Seorang Eks Digulis (2011) ini dengan kisah keterlibatannya dalam PNI. Sebagian besar dirangkum dari buku karya istrinya, Molly Bondan, Spanning A Repolution dan In Love with A Nation.

Karena keterlibatannya dalam politik, Bondan harus berurusan dengan pemerintah. Pada 29 Desember 1929, Belanda menangkap semua anggota dan pengurus PNI di seluruh Indonesia. Bondan ditangkap dan dibui di penjara Kesambi Kota Cirebon. Akibat tekanan dari Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia yang dipimpin Dr Sutomo dan kaum nasionalis di Volksraad, para tahanan dibebaskan pada 6 Januari 1930, kecuali pengurus PNI Pusat seperti Sukarno, Gatot Mangunpraja, Maskun, dan Supriadinata, yang kemudian perkaranya disidangkan di Pengadilan Negeri Bandung.

Meski bebas, Bondan tak lagi punya pekerjaan. Dia dipecat, sehingga pergi ke Jakarta untuk mencari pekerjaan baru. Di sana dia bekerja sebagai juru tulis di NV Authohandel Behn Meyer Ford. Gara-gara majikannya, seorang Belanda, menghina Indonesia dan dia tak terima sehingga dengan emosional membalas penghinaan majikannya, dia dipecat. Sebulan kemudian, dia dapat pekerjaan lagi sebagai juru tulis di Kantor Akuntan & Administrasi C. Hegie. Lagi-lagi dia dipecat karena menuntut cuti tahunan bagi karyawan yang umumnya orang Indonesia. Setelah itu, selain bekerja di beberapa perusahaan, dia menjadi dewan redaksi berkala nasional Marhaen.

Tekadnya berjuang untuk kemerdekaan Indonesia mendorong Bondan kembali berpolitik. Dia aktif di PNI Baru cabang Jakarta dan komisaris PNI Baru Jawa Barat. Tapi Belanda kembali menangkapi semua anggota dan pengurus PNI Baru. Pada 25 Februari 1934, Bondan, Hatta, dan Sjahrir ditangkap di Jakarta.

Setelah lima hari meringkuk di penjara polisi di Koningsplein West (sekarang Jalan Merdeka Barat), Bondan dan Hatta dipindahkan ke penjara Glodok sedangkan Sjahrir di penjara Cipinang. Enam bulan kemudian mereka diasingkan ke Tanah Merah, Boven Digul, Papua. Di sinilah Bondan menjalani pengasingan selama delapan tahun. Lalu dia dipindahkan ke gugusan Kepulauan Thursday, Brisbane, dan Distrik Cowra –semuanya di Australia.

Akibat operasi usus buntu, Bondan keluar paling akhir dari kamp di Distrik Cowra. Dia dibawa ke Desa Helidon dekat Toowoomba, untuk bekerja sebagai tukang gosok amunisi sebagai bagian dari dinas penempatan tenaga (employment service company). Setelah dinas di Helidon ini dibubarkan karena amunisi sudah terangkut semua ke medan perang, Belanda mempekerjakan Bondan sebagai anggota redaksi Penjoeloeh, suratkabar berbahasa Indonesia dengan penanggungjawab Winanta.

Suratkabar berbahasa Indonesia ini terbit tiga kali seminggu dan penerbitannya dikawal Dinas Penerangan Belanda (Netherlands Indies Gouvernments Service, Nigis), yang merupakan bagian dari Pemerintah Pengasingan Hindia Belanda. Dinas ini bertujuan memasok bahan bacaan bagi orang-orang Indonesia di Australia dan Papua yang tak dapat berbahasa Belanda atau Inggris. Karena Bondan menulis tentang standar ganda imperialisme di suratkabar itu, Winanta tiga kali kena tegur kepala Nigis. Bondan pun memutuskan berhenti dari Penjoeloeh.

Bondan terus diawasi, bahkan dipindahkan ke Brisbane. Di sinilah terbentuk Komite Indonesia Merdeka (KIM) pada 21 September 1945. Bondan menjadi sekretaris dan Jamaludin Tamin sebagai ketua. Komite memiliki cabang di Sydney, Melbourne, dan Mackay. Untuk memudahkan koordinasi, KIM Brisbane menjadi pusat dan disebut Central Komite Indonesia Merdeka (CENKIM).

Bersamaan dengan pendirian KIM, sekira 85 orang pelaut Indonesia melakukan aksi mogok karena kapal yang hendak berlayar ke Indonesia itu mengangkut amunisi dan perlengkapan perang Belanda. Aksi mogok itu merembet ke Pelabuhan Sydney, Melbourne, dan Selandia Baru. Bahkan dalam waktu sepekan, pemogokan menjalar sampai ke pantai-pantai Amerika dan Eropa. Sejak itu pula sensor negara-negara Sekutu, yang menutup-menutupi berita proklamasi kemerdekaan Indonesia, tak berdaya lagi.

CENKIM berperan penting dalam repatriasi. Sebagai lembaga yang mengurus orang Indonesia di Australia, ia bukan saja diakui oleh warga Indonesia tapi juga pemerintah Australia. Ketika orang Indonesia di Melbourne tak ingin pulang, kepala Imigrasi di Brisbane meminta bantuan CENKIM. Repatriasi pertama memberangkatkan 1.416 orang. Namun, pemulangan ini menimbulkan masalah, sebab Belanda menurunkan 44 orang yang dianggap masuk daftar hitam. Insiden ini menampar pemerintah Australia, khususnya Menteri Imigrasi Calwell. Untuk pemulangan kedua sebanyak 392 orang pada Februari 1946, CENKIM menuntut agar pemerintah Australia menjamin keselamatan repatrian.

“Saya sebagai sekjen CENKIM telah mengajukan tuntutan-tuntutan itu kepada Menteri Calwell,” kata Bondan, “supaya repatrian diserahkan kepada Pemerintah Republik dan diturunkan di pelabuhan yang dikontrol Republik.”

Kepada Menteri Luar Negeri Australia, Dr H.V. Evatt, Bondan menyampaikan surat yang menggugat politik kolonial Belanda. “Kami menggugat daerah pembuangan politik Belanda di Digul. Republik berjuang sesuai asas-asas Piagam Atlantik, berhak menentukan nasibnya sendiri.”

Selain repatriasi, CENKIM bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia dan menampung bantuan dari lembaga macam Medical Aid for Indonesia Appeal (organisasi bentukan rohaniawan Australia Uskup Dr. Moyes dan L.P. Austin, ketua Trade and Labour Council di New South Wales) maupun perorangan. Yang juga penting, CENKIM berperan dalam menjalin hubungan perdagangan Australia dan Indonesia.

“Kalau saya mencari-cari rezeki di kala itu, barangkali saya akan menjadi orang kaya pertama di alam Indonesia merdeka, kaya tanpa korupsi.” Sebab, di kalangan pengusaha Australia ada yang bersedia memberikan modal sebesar setengah juta pound Australia untuk mendirikan organisasi ekspor-impor perdagangan Australia dan Republik Indonesia.

Pada Juli 1947, segera setelah terbentuk Komisi Tiga Negara, CENKIM dibubarkan. Bondan dan istrinya, Molly Warner, seorang simpatisan kemerdekaan Indonesia dan bekerja sebagai sekretaris Asosiasi Indonesia-Australia, kembali ke Tanah Air. Bondan bekerja sebagai kepala Bagian Pelatihan Kementerian Pembangunan dan Pemuda Kabinet Hatta pada awal 1949. Sedangkan Molly kerja di Departemen Penerangan.

Bondan tutup usia pada 6 Februari 1981 karena kanker paru.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Lika-liku Sejarah Pipa Bukan Belanda yang Kristenkan Sumatra Utara, Tetapi Jerman Antara Lenin dan Stalin (Bagian I) Situs Cagar Budaya di Banten Lama Pemusnah Frambusia yang Dikenal Dunia Perupa Pita Maha yang Karyanya Disukai Sukarno Musik Rock pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Pasukan Kelima, Kombatan Batak dalam Pesindo Tertipu Paranormal Palsu Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi”