Masuk Daftar
My Getplus

Jalan Seorang Arief Budiman

“Gie, kamu tidak sendirian…” (Arief Budiman dalam Catatan Seorang Demonstran).

Oleh: Hendi Johari | 23 Apr 2020
Arief Budiman. (Wikipedia).

Arief Budiman alias Soe Hok Djin baru saja pergi beberapa jam yang lalu. Parkinson yang sudah berlarut akhirnya menjadi jalan bagi dia untuk menggenapi takdirnya sebagai manusia: bertemu dengan kematian. Tak perlu disebutkan bagaimana dia begitu mencintai negeri ini. Lewat caranya, berpuluh tahun dia mengupayakan Indonesia supaya bergerak ke arah yang lebih baik, terutama yang terkait dengan kehidupan rakyat kecil.

“Ketika orang-orang memuji-memuji Pak Harto di awal Orde Baru berdiri, dia tampil sebagai salah seorang pengeritik paling keras,” ujar almarhum Rudy Badil, wartawan senior sekaligus kawan Arief Budiman.

Baca juga: Bang BD Telah Berpulang

Advertising
Advertising

Badil memang benar. Tahun 1970, ketika Orde Baru mulai dijadikan sarang untuk menangguk keuntungan pribadi oleh para akademisi dan tentara, Arief dan dan kawan-kawannya eks demonstran 1966 menjadi gerah. Mengatasnamakan gerakan “Mahasiswa Menggugat”, mereka melakukan aksi long march dari Kampus Universitas Indonesia di Salemba menuju Lapangan Banteng.

“Sepanjang jalan menuju Lapangan Banteng, mahasiswa membagikan selebaran berisi kecaman terhadap perselingkuhan antara  para jenderal dengan para profesor,” tulis wartawan cum aktivis politik, Jopie Lasut dalam Kesaksian Seorang Jurnalis Anti ORBA: MALARI Melawan Soeharto dan Barisan Jenderal ORBA.

Setelah aksi itu, agen-agen Opsus (Operasi Khusus) mulai menyusup ke kampus-kampus. Dewan Mahasiswa dikooptasi, para aktivis bersuara keras dieliminasi. Situasi tersebut menjadikan Arief dan kawan-kawannya kecewa. Mereka kemudian mendirikan Balai Budaya yang terus bersuara keras terhadap segala penyelewengan cita-cita semula Orde Baru.

Sejarah mencatat, Arief terlibat dalam berbagai gerakan oposisi. Dia menjadi aktor utama  dalam aksi menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme itu. Juga dalam gerakan Golongan Putih (Golput) yang menentang segala macam monopoli politik menjelang Pemilu 1971, Arief ada di garis terdepan.

Ketika ada perhelatan sepakbola nasional di Stadion Utama Senayan (sekarang Stadion Gelora Bung Karno) yang dihadiri puluhan ribu orang, para aktivis Golput membentangkan spanduk raksasa berbunyi: “Golput Menjadi Penonton yang Baik”. Pemerintah Orde Baru berang. Lewat Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto yakni Ali Moertopo, disebutlah Golput sebagai gerakan yang tak ada artinya.

“Golput itu kentut,” ujar Ali kepada media.

Baca juga: Kabut Golput yang Menggelayut

Apa yang menyebabkan Arief menjadi begitu keras? Padahal menurut sejumlah kawan-kawannya, di era sebelum Soeharto berkuasa penuh, Arief lebih cenderung santai dan berlaku layaknya seorang akademisi tulen?

Rudy Badil memiliki sebuah cerita. Ketika sang adik Soe Hok Gie meninggal karena kecelakaan di Puncak Mahameru, Arief terlihat sangat bersedih. Kendati kesedihan itu diperlihatkannya secara wajar, namun saat dia menjemput jenazah Soe Hok Gie di Malang, orang tahu dari wajahnya dia terlihat sangat kehilangan.

“Dia terus mendampingi jenazah Hok Gie, seolah enggan meninggalkannya,” kenang Rudy.

Bisa jadi selama dalam proses penjemputan jenazah Soe Hok Gie itulah, Arief banyak merenungi hubungan pribadi antara dirinya dengan Soe Hok Gie, sejak mereka kecil hingga dewasa. Dalam kata pengantar untuk buku Catatan Seorang Demonstran, Arief pun menulis agak sentimentil tentang adiknya itu. Dia mengisahkan perasaannya saat duduk termenung di samping peti mati jenazah Soe Hok Gie, beberapa menit menjelang akan terbang dengan sebuah pesawat angkut milik Angkatan Udara RI ke Jakarta.

“Tiba-tiba saya melihat sebuah gambaran yang menimbulkan pelbagai macam perasaan di dalam diri saya. Ketidakadilan bisa merajalela, tapi bagi seorang yang secara jujur dan berani berusaha melawan semua ini, dia akan mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang,” tulisnya.

Menurut John Maxwell, sulit dikatakan seberapa besar kematian Soe Hok Gie mempengaruhi keputusan Arief untuk mengambil peran sebagai pemimpin aktif dalam demonstrasi-demonstrasi menentang penyelewengan Orde Baru.

“Arief jelas sangat terpukul dengan kematian adiknya sekaligus bangga dengan keteguhannya berbicara terus terang mengenai isu-isu politik yang ganjil dan sensitif,” ungkap Maxwell dalam Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Yang jelas, kata Maxwell, sebelum bersahabat dekat, Arief dan Soe Hok Gie pernah tidak bertegur sapa selama kurang lebih sepuluh tahun. Tak jelas benar apa yang menjadi sebab awal namun pertengkaran itu memicu pertengkaran-pertengkaran lebih lanjut hingga mereka memasuki Universitas Indonesia: Soe Hok Gie kuliah di Fakultas Sastra (jurusan sejarah) sedangkan Arief kuliah di Fakultas Psikologi.

Baca juga: Sang Demonstran dan Politikus Berkartu Mahasiswa

“Ya masalahnya sebenarnya mungkin remeh temeh, terkait soal-soal remaja-lah, misalnya saya kesal Hok Gie kadang malas mengurus piaran-piarannya yang sebenarnya itu adalah kewajibannya,” kenang Arief kepada Rudy Badil pada suatu hari.

Tiga tahun menjelang kematian Soe Hok Gie, kakak-adik itu mulai memperlihatkan niat untuk memperbaiki hubungan. Memang tak ada kata “resmi” dari mulut mereka masing-masing, namun sejak mereka aktif dalam berbagai diskusi-diskusi tentang situasi tanah air, Arief dan Soe Hok Gie merasa mereka berdua memiliki kesamaan sikap.

Mereka berdua akhirnya menjadi “sahabat dekat”. Soe Hok Gie sering curhat tentang kehidupan pribadinya kepada Arief. Begitu juga sebaliknya. Kakak-adik itu bahkan secara sadar tak sadar saling mempengaruhi dalam gerak langkah dan sikap politik mereka masing-masing. Salah satu yang sering disebut Soe Hok Gie adalah mengenai gerakan mahasiswa sebagai kekuatan moral.

Dalam sebuah surat kepada Boediono (sahabatnya) pada 5 Maret 1967, Soe Hok Gie pernah mengutip pendapat Arief mengenai ideal-ideal sebuah gerakan mahasiswa.

“Boedi…Lu masih ingat karangan kakak gue tentang cowboy yang basmi bandit-bandit di suatu kota? Setelah tugasnya selesai dia pergi begitu saja, tanpa minta balas jasa…Gue mau agar mahasiswa-mahasiswa sekarang juga bermoral seperti cowboy itu…” tulis Soe Hok Gie seperti dikutip Stanley Adi Prasetyo dalam Soe Hok Gie, Sekali Lagi: Buku, Pesta, dan Cinta di Alam Bangsanya suntingan Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, dan Nessy Luntungan R.

Baca juga: Soe Hok Gie dan Tentara

Sebaliknya, Arief juga tampaknya banyak terinspirasi oleh Soe Hok Gie. Berbagai keputusannya saat menjadi oposisi buat Orde Baru seolah meneruskan apa yang dulu sering mereka diskusikan. Arief paham jalan yang Soe Hok Gie ambil adalah (seolah) jalan penuh kesunyian. Setidaknya itu dirasakan Arief ketika suatu hari Soe Hok Gie memperlihatkan surat dari Ben Anderson, seorang sobatnya dari Amerika Serikat.

“Gie, seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian. Selalu…” demikian tulis Ben.

Arief menyimpulkan Soe Hok Gie sudah siap menghadapi apa yang diingatkan Ben. Dia memang tidak keliru. Ketika menulis surat kepada Riandi (salah seorang sahabatnya) pada 10 Oktober 1967, Soe Hok Gie seolah menegaskan kesiapannya itu.

“Mochtar Lubis bilang pada saya bahwa kalau seorang memilih jalan jujur, hidupnya akan berat sekali. Dia akan kesepian, dijauhi kawan dan dibenci banyak orang. Mungkin sampai kita mati, kita akan terus seperti ini. Beranikah kita berdiri sendiri? Kalau kita berani, majulah menuju dataran yang sepi dan kering. Tetapi di sana ada kejujuran…Kadang saya takut sekali. Tetapi selama saya bisa mengatasi ketakutan itu, saya akan maju terus. Sampai akhirnya saya patah…”

Baca juga: Prabowo di Mata Soe Hok Gie

Arief pada akhirnya mengambil jalan yang sama dengan Soe Hok Gie. Dia seolah telah menempati suatu “wilayah” yang pernah ditunjukan sang adik dalam sebuah puisi yang ditulisnya, Kepada Pejuang-Pejuang Lama:

Tempat kita, petualang-petualang masa depan dan pemberontak-pemberontak rakyat

Di sana…

Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru…

“Gie, kamu tak sendirian,” bisik Arief di sebelah peti mati berisi tubuh Soe Hok Gie, 51 tahun yang lalu.

Ya, orang-orang seperti Arief dan Soe Hok Gie (sebenarnya) tidak akan pernah sendirian. Mereka akan selalu hadir, memenuhi panggilan zaman.

TAG

obituari arief budiman

ARTIKEL TERKAIT

Rahayu Effendi Pernah Susah di Awal Karier Memori Manis Johan Neeskens Yang Dikenang tentang Sven-Göran Eriksson Hamzah Haz, Wakil Presiden Pilihan MPR Epilog Tragis Sang Pengusung Bendera Palestina di Olimpiade Salim Said Bicara Tentang Tiga Tokoh Pers Salim Said Meninggal Dunia Johny Pardede dari Sepakbola hingga Agama Jhonny Iskandar dan Orkes Moral Riwayat Pedangdut Nyentrik Jhonny Iskandar