SUATU senja di tahun 2001. Gunung Gede dibekap hawa dingin yang menghunjam pori-pori. Seorang lelaki paruh baya menapaki jalur sempit pendakian menuju Alun-Alun Suryakancana. Tak ada keistimewaan darinya kecuali penampilan santai lelaki tersebut yang nampak “tak normal” untuk ukuran seorang pendaki gunung: kakinya hanya beralaskan sandal jepit dan tubuhnya hanya dibalut celana pendek serta kaos oblong tanpa jaket.
Saya ingat, saat itu memutuskan untuk menemani “orang aneh” ini menuju Alun-Alun. Kami pun berkenalan dan alangkah kagetnya saya begitu tahu bahwa dia adalah Rudy David Mesmana atau lebih beken disebut Rudy Badil, wartawan senior Kompas sekaligus salah seorang sesepuh MAPALA UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia). Saya tahu juga namanya kerap disebut-sebut Soe Hok Gie (penulis sekaligus tokoh gerakan mahasiswa 1966) dalam Catatan Seorang Demonstran (catatan harian Soe yang dibukukan oleh Penerbit LP3ES).
“Lu bangga dong, berkenalan sama orang ngetop macam gue,” kelakarnya saat itu.
Baca juga: Soe Hok Gie dan Tentara
Bang BD (dia senang dipanggil demikian) sejak itu menjadi tempat saya bertanya. Bukan hanya sekitar dunia pemberitaan atau pendakian, namun juga apapun. Nyaris semua hal dia tahu. Termasuk ratusan kontak orang ternama di negeri ini.
Tapi yang paling penting, saya betah berlama-lama ngobrol dengan Bang BD karena sifat ceplas-ceplos kocaknya dan sikap egaliternya yang sangat kental. Sebagai senior, dia tak pernah malu bertanya jika ada hal yang tak dia pahami. Saya pun bisa mendebatnya tentang sesuatu hal. Kendati pada awalnya dia akan merespon dalam nada tinggi, namun dia kemudian tak ragu membenarkan jika bantahan lawan bicaranya dianggap masuk akal.
“Benar itu enggak mengenal umur, Bro,” katanya suatu hari.
Kepada saya, lelaki kelahiran Jakarta tahun 1945 itu mengaku sangat menikmati masa-masa mudanya. Sebagai anak kolong dari asrama tentara di Jalan Tenabang II, Jakarta segala macam kenakalan ala anak muda, pernah dia lakukan: mulai berkelahi dengan sesama anak tentara hingga melemparkan seekor kucing (yang mencuri telor ceploknya) dari lantai dua ke kawat listrik. Akibatnya dia dituntut oleh seorang tetangganya untuk memanggil petugas pemadam kebakaran guna menyelamatkan kucing itu.
Baca juga: Soe Hok Gie dan Politikus Berkartu Mahasiswa
“Tetangga gue itu tak lain adalah Pak Chudori, yang kelak jadi mertuanya Arief (sosiolog Arief Budiman),” kenang lelaki berdarah Dayak, Jawa, Tionghoa dan Manado itu. .
Kenakalannya juga yang menjadikan “badil” tersemat di namanya. Karena anak kolong yang identik dengan senjata api maka dia sangat senang dipanggil “badil”, istilah senjata api laras panjang dalam bahasa Dayak. Kata dia, nama itu lebih cocok disematkan ke nama lengkapnya dibanding “David” yang lebih mirip nama anak gedongan
Tahun 1965, Si Anak Badung, “anehnya” berhasil masuk Fakultas Hukum UI. Namun entah bagaimana dia tak pernah serius mempelajari ilmu hukum dan terperangkap masuk dalam “provokasi” kawan karibnya, Soe Hok Gie, untuk pindah ke tempat Soe kuliah dan mengajar: fakultas sastra. Maka resmilah pada 1969 dia menjadi mahasiswa FSUI jurusan antropologi.
Baca juga: Soe Hok Gie dan Para Penyusup di UI
Rudy mengenal Soe karena hoby naik gunung. Tak aneh jika ke mana pun Rudy mendaki, Soe selalu ikut serta. Bukan hanya dalam soal naik gunung, Rudy pun jadi tempat curhat Soe dalam segala hal, termasuk masalah cinta. Tapi menurut Rudy, orang boleh menilai Soe romantis dan pembuat puisi-puisi jempolan, namun soal hubungan dengan perempuan dia termasuk sangat “puritan” dan cenderung “penakut”.
“Gue yang ngajarin dia nonton film porno dan ngantar-ngantar ke mana pun kalau dia lagi demen sama satu cewek,” kenang Bang BD.
Rudy juga mafhum, Soe sangat menyukai lagu-lagu Joan Baez dan bisa seharian menganalisa isi lirik lagu Dona-Dona. Tapi untuk soal menyanyi, Soe sangat payah. “Jangankan menyanyi, bersiulnya aja dia fals kok,” ujar Bang BD sambil ngakak.
Baca juga: Prabowo di Mata Soe Hok Gie
Namun dari Soe, Rudy justru mengenal dunia intelektual. Apapun yang terkait sejarah, sosial, politik dan sastra, dia selalu merasa puas jika mendapatkan penjelasannya dari Soe Hok Gie. Rudy masih ingat, beberapa hari sebelum mereka mendaki Gunung Semeru, di atas kereta api jurusan Jakarta-Surabaya anak muda asal Kebun Jeruk itu dengan semangat tinggi bercerita tentang sejarah panjang perkeretaapian di tanah Jawa.
“Kami mendengarkannya dengan takjub,” kenang Rudy.
Sejarah kemudian mencatat “kuliah panjang” Soe di atas kereta api itu menjadi yang terakhir untuknya. Karena menghirup secara tidak sengaja gas H2S, (bersama Idan Lubis) Soe Hok Gie gugur di atas puncak Semeru dengan meninggalkan pesan terakhir kepada kawan-kawannya untuk menyampaikan batu dan daun cemara tertinggi (yang diambil dari puncak Semeru) di pulau Jawa kepada mahasiswi-mahasiswi Fakultas Sastra UI.
Bulan November tahun lalu, saya menemui Bang BD di Bintaro. Kami bicara banyak hal terutama terkait sejarah gerakan mahasiswa 1966 dan Soe Hok Gie yang rencananya akan saya jadikan tema liputan khusus di Historia pada Februari 2019. Alih-alih mendukung, dia malah menyarankan supaya saya mengambil angle yang lain dari gerakan mahasiswa 1966.
Baca juga: Arief Rachman Hakim: Kisah Seorang Martir
“Ngapain lu bahas Hok Gie, udah banyak yang cerita soal dia. Telusuri saja tuh soal Arief Rachman Hakim: siapa dia dan seperti apa kematiannya, kan enggak semua orang tahu. Gua aja kagak," katanya sambil terkekeh. Tanpa banyak berdebat, saya pun setuju untuk mengganti angle.
Delapan bulan telah berlalu. Karena kesibukan yang tak mau berkompromi, saya lalai bersilaturahmi kembali dengan Bang BD. Suatu kelalaian yang hingga detik ini saya sesali karena baru saja pagi tadi saya mendapatkan kabar dari Tante Luki Bekti (kata Bang BD dialah salah satu perempuan yang pernah didemenin Hok Gie) bahwa Si Anak Badung dari Tenabang itu telah berpulang. Pileuleuyan, Bang BD.