Masuk Daftar
My Getplus

Hikayat Lagu Melati di Tapal Batas

Tak ingin lebih banyak para gadis berguguran di medan laga, Komandan Resimen Cikampek meminta penyair Ismail Marzuki membuat sebuah lagu.

Oleh: Hendi Johari | 12 Okt 2018
Dua pejuang perempuan di Jawa Barat saat era revolusi. Foto: Arsip Nasional Belanda

KETIKA tenor asal Bandung Sudaryanto bersama Paduan Suara Esbhita dan kelompok Orkes Simfoni Angkatan Darat pimpinan F.A. Warsono melantunkan lagu Melati di Tapal Batas dalam suatu konser di tahun 1970-an, banyak orang terhenyak dengan lagu lawas ciptaan penyair Ismail Marzuki tersebut. Para veteran menitikkan air mata dan banyak mantan pejuang terkenang kembali suasan-suasana di front Jakarta timur pada era revolusi.

“Lagu itu begitu populer dan sering kami nyanyikan bersama saat kami pulang dari medan perang,” kenang Mochamad Kajat, salah seorang eks pejuang yang pernah berjuang di wilayah Bekasi dan sekitarnya.

Menurut Ninok Leksono dalam Seabad Ismail Marzuki: Senandung Melintas Zaman, lagu Melati di Tapal Batas memang dicipta oleh Ismail dalam pencitraan sosok “perempuan yang jantan dan herois”. Tentu saja itu paradoks dengan lagu-lagu Ismail lainnya seperti Sabda Alam, di mana disebutkan “wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu.” Silakan Anda simak sendiri bait-bait lagu tersebut:

Advertising
Advertising

Engkau gadis muda jelita/ bagai sekuntum melati// Engkau sumbangkan jiwa raga/ di tapal batas Bekasi// Engkau dinamakan srikandi// pendekar putri sejati// Engkau turut jejak pemuda/ turut mengawal negara// Oh pendekar putri nan cantik// Dengarlah panggilan ibu//Sawah ladang rindu menanti//Akan sumbangan baktimu// Duhai putri muda remaja/suntingan kampung halaman//Kembali ke pangkuan bunda/berbakti kita di ladang//.

Lagu Pesanan

Namun di balik ketenaran lagu yang bernuansa seriosa tersebut, tak banyak orang tahu jika Melati di Tapal Batas memiliki kisah tersendiri. Alkisah di front Jakarta Timur (tapal batas Bekasi) pasca-proklamasi dikumandangkan, eforia revolusi begitu menggelegak di dada setiap anak muda Indonesia. Bukan hanya para pemuda, para pemudi pun ikut terlibat sebagai pejuang bersenjata.

“Kebanyakan mereka adalah anak-anak perempuan para petani di Karawang dan Bekasi,” ungkap Kajat.

Keikutsertaan para pejuang perempuan itu tidak diiringi dengan keterampilan untuk bertempur. Rata-rata bergabungnya para putri petani tersebut hanya bermodalkan keberanian dan keinginan untuk ikut mengusir penjajah. Akibatnya banyak para gadis perang yang tergabung dalam lasykar-lasykar itu menjadi makanan peluru musuh di medan laga.

Demi mengetahui hal tersebut, Komandan Resimen V Cikampek Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min (yang membawahi wilayah pertempuran Jakarta dan sekitarnya) merasa prihatin. Dia menyatakan bahwa sejatinya palagan bukanlah tempat bagi para perempuan tersebut.

“Bukan kami tidak percaya, namun sebagai perempuan mereka memiliki tugas yang lebih penting untuk melahirkan generasi baru. Kalau mereka semua gugur di medan perang, lantas siapa yang akan meneruskan perjuangan ini?” ujar Moeffreni dalam biografinya berjudul Jakarta-Karawang-Bekasi, Dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min karya Dien Madjid dan Darmiati.

Tetapi jika hal itu disampaikan secara langsung kepada mereka, Moeffreni yakin akan ada upaya penolakan. Maklum, darah muda. Karena itu, dia lantas mencari akal agar bukan saja komandan yang melarang tetapi masyarakat juga ikut melarang.

Ketika situasi penuh kebingungan itu, tetiba di markas Resimen V Cikampek muncullah penyair Ismail Marzuki dan penyair Suto Iskandar. Mereka singgah di Cikampek dalam rangka perjalanan mereka ke Yogyakarta. Kepada dua seniman itu Moeffreni lantas menceritakan masalah yang tengah dihadapinya di front Jakarta Timur. Lalu terbetiklah ide untuk menciptakan suatu lagu yang bisa mempengaruhi para remaja putri tersebut untuk menarik diri dari garis depan tanpa harus merasa kehilangan kehormatan.

“Terserahlah kepada kalian caranya,” ujar Moeffreni.

Maka sekira awal 1947, berkumandanglah lagu Melati di Tapal Batas di seantero palagan Pulau Jawa. Bekasi dan Jakarta Timur pun heboh. “Responnya sangat bagus, para remaja putri banyak yang sadar bahwa berjuang mempertahankan kemerdekaan tidaklah harus lewat memanggul senjata,” kata Moeffreni.

Cerita Nyata

Banyak kalangan menyebut bahwa kisah di balik lagu Melati di Tapal Batas tersebut tak lebih sebagai fiksi semata. Tapi benarkah? Beberapa waktu lalu, saya pernah berupaya menelusuri soal ini dan menemukan kenyataan menarik bahwa ada kemungkinan subyek-subyek yang dikisahkan dalam lagu tersebut adalah nyata.

Dalam lagu itu, Ismail dan Suto memanggil para petempur putri itu sebagai “srikandi”, seorang prajurit perempuan dalam dunia pewayangan (merupakan istri Arjuna) yang piawai menggunakan senjata panah. Di lagu itu juga duo penyair tersebut mangidentifikasi secara eksplisit sang srikandi adalah putri dari para petani. Dan anggapan terakhir itu dibenarkan oleh Kajat seperti di atas.

Soal sebutan “srikandi”, Ninok Leksono berpendapat bahwa penyebutan itu hanya sekadar simbol untuk mencitrakan sosok perempuan yang gagah perkasa dan tak kalah ksatria dari para pejuang laki-laki. Tapi dari penelusuran yang saya lakukan terhadap para pelaku sejarah di Karawang dan Bekasi, nama “srikandi” memang pernah ditabalkan kepada suatu kelompok lasykar perempuan yang aktif berjuang melawan tentara Inggris dan Belanda di sekitar Karawang dan Bekasi,

“Nama kelompoknya BSI, Barisan Srikandi Indonesia,” ungkap Abdurachman, salah seorang eks anggota lasykar di Karawang Utara.

Nama BSI juga sekilas sempat disebut-sebut dalam buku sejarawan asal Australia Robert B. Cribb berjudul Gangsters and Revolutionaries (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi: Para Jago dan Kaum Revolusiener Jakarta 1945-1949). Cribb menyatakan kepada saya bahwa dia sendiri kesulitan untuk mencari data lengkap tentang kelompok tersebut. Yang jelas, kata Cribb, BSI terkait dengan nama Sidik Kertapati, salah seorang tokoh pejuang yang mengikuti jalur politik Tan Malaka dan pernah bergabung dengan LRDR (Lasjkar Rakjat Djakarta Raja).

TAG

Musik

ARTIKEL TERKAIT

Eric Carmen dan "All By Myself" Komponis dari Betawi God Bless di Mata Roy Jeconiah Ray "The Doors" Prajurit Rock n’Roll Aretha Franklin dan Hegemoni Maskulinitas Musik Rock Pendiri Pink Floyd Peduli Palestina Alkisah Bing Slamet Koes Plus dan Mantan Perwira AURI Orba Benci Musik Cengeng Anak Presiden Main Band