Masuk Daftar
My Getplus

Hak Jawab Fadli Zon atas Tulisan tentang Sumitro Djojohadikusumo

Oleh: Historia | 24 Nov 2017
Sumitro Djojohadikusumo (ketiga dari kiri) berbincang dengan tokoh-tokoh Permesta di Minahasa, Sulawesi Utara, pada 1957. Saat itu, situasi politik antara pemerintah pusat dan daerah-daerah sedang memanas sehingga memunculkan PRRI/Permesta. Foto: Repro "Jejak Perlawanan Begawan Pejuang."

Fadli Zon, mengatasnamakan diri sebagai sejarawan dan wakil ketua umum DPP Partai Gerindra, mengajukan keberatan atas tulisan berjudul “Dugaan Korupsi Menteri Sumitro” yang dimuat historia.id pada 17 November 2017.

Tanggapan, sanggahan, dan penggunaan hak jawab yang dikirim Fadli Zon dari Warsawa tertanggal 21 November 2017 memuat beberapa hal:

  1. Artikel ngawur tadi sepertinya diproduksi untuk mendegradasi rekam jejak Sumitro, karena ia kebetulan adalah ayah Prabowo Subianto, tokoh yang kini menjadi harapan rakyat Indonesia untuk pemilihan presiden 2019 nanti.
  2. ... menyandingkan hilangnya SN yang berstatus sebagai tersangka dengan menghilangnya Sumitro yang tak pernah mendapat status hukum apapun, kecuali label buruk yang itu pun hanya diproduksi oleh golongan komunis, jelas tak sepadan. Itu sama sekali bukanlah pembandingan. Jika ingin menulis feature sejarah, kenapa tak membandingkan hilangnya tersangka korupsi hari ini dengan hilangnya Eddy Tansil di masa lalu, misalnya?! Atau, penulis bisa juga membandingkannya dengan hilang dan buronnya sejumlah tersangka dan terpidana kasus Skandal BLBI. Itu akan lebih masuk akal.
  3. ... artikel tadi sama-sama mengulang tuduhan dalam bentuk “dugaan korupsi yang dilakukan Sumitro”. Masalahnya adalah tuduhan itu terjadi pada dekade 1950-an, tepatnya pada 1957. Sesudah enam puluh tahun lewat, semua tuduhan tadi sebenarnya telah selesai dijawab oleh banyak catatan sejarah.
  4. Tulisan Hendri F. Isnaeni di Historia secara jelas bahkan bisa dianggap sengaja mengaburkan fakta. Ia menulis bahwa Sumitro tidak pernah memenuhi panggilan CPM hingga tiga kali, di mana pada pemanggilan ketiga ia kemudian bukan hanya mangkir, tapi bahkan melarikan diri. Tulisan ini bertendensi fitnah dan cenderung bersifat disinformatif. Ini bentuk “korupsi” sejarah.

Sebab, jika Hendri memang benar-benar membaca buku biografi Sumitro Djojohadikusumo, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (2000), seperti dikutip dalam artikelnya itu, bagian yang dikutip Hendri, yaitu saat Sumitro berpamitan kepada Sjahrir (hal. 209), hanya berselang dua halaman saja dari cerita bahwa Sumitro pertama kali menghadiri panggilan CPM Bandung pada 23 Maret 1957. Panggilan kedua terjadi saat Sumitro baru kembali dari Tokyo. Ia diperiksa pada 6-7 Mei 1957. Dari dua pemeriksaan itu, karena para pemeriksa menemukan Sumitro tak bersalah, ia pun diizinkan untuk kembali ke rumah. Jadi, tak benar jika ditulis bahwa Sumitro selalu mangkir dari pemeriksaan.

Advertising
Advertising

Berikut ini jawaban dari redaksi:

  1. Tak ada niatan dari kami untuk mendegradasi rekam jejak Sumitro Djojohadikusumo, apalagi Prabowo Subianto yang namanya sama sekali tak disebut dalam tulisan dimaksud. historia.id adalah media yang khusus mengulas peristiwa dan tokoh-tokoh di masa lalu di mana Sumitro adalah salah satunya.
  2. Dalam tulisan Hendri F. Isnaeni, sama sekali tak disebut penyandingan antara “hilangnya” SN dan Sumitro. Sementara tulisan berisi penyandingan “yang lebih masuk akal” sebagaimana dimaksud Fadli Zon kami muat pada 18 November 2017 dengan judul “Gaya Kabur Koruptor dalam Sejarah”, tanpa menyertakan Sumitro di dalamnya.
  3. Sumitro belum mendapat status hukum apapun karena masih menjalani proses pemeriksaan sebelum akhirnya memutuskan tak memenuhi panggilan ketiga dari Corps Polisi Militer (CPM) Bandung dan meninggalkan Jakarta untuk bergabung dengan perjuangan daerah (PRRI), melepaskan kesempatan untuk membuktikan di pengadilan bahwa dia tidak bersalah. Atas dasar itulah, kami tetap mencantumkan kata “dugaan”.
  4. Anda benar. Sumitro memenuhi dua kali panggilan dari CPM Bandung. Baik biografi Sumitro maupun hasil penelusuran kami sebelumnya atas pemberitaan media sezaman, semisal suratkabar Pedoman dan Harian Rakyat tanggal 9 Mei 1957, menyebutkan hal itu. Karena para pemeriksa menemukan tak ada dasar dan alasan untuk menahan (belum ada keputusan “Sumitro tak bersalah”), ia diizinkan pulang.

Dalam draft tulisannya, yang tersimpan di database Sistem Informasi Redaksi, Hendri F. Isnaeni sudah menyebutkan kedatangan Sumitro. Keteledoran terjadi saat penyuntingan. Redaksi meminta maaf atas kekeliruan ini dan memberikan koreksi pada tulisan tersebut. Koreksi juga kami lakukan pada tulisan “Empat Partai Ini Terjerat Korupsi” pada subjudul “Partai Sosialis Indonesia” yang dimuat pada 12 April 2017. Keduanya bersumber dari tulisan “Babak Akhir Partai Sjahrir” yang dimuat majalah Historia Nomor 18 Tahun 2014. Koreksi akan dilakukan pada majalah Historia yang akan terbit. Terima kasih.

Redaksi

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Pangeran Bernhard, dari Partai Nazi hingga Panglima Belanda Pesta Seks Tukar Pasangan Tempo Dulu Dulu Para Sersan Berserikat Philippe Troussier si Dukun Putih Kibuli Raden Paku Sehimpun Riwayat Giyugun Tepung Seharga Nyawa Lyndon LaRouche, Capres Abadi AS Pengawal Raja Charles Melawan Bajak Laut Bumi Pertiwi Hampir Mati