Masuk Daftar
My Getplus

Gerakan Aron di Sumatra Timur

Para petani merebut lahan raja-raja dan menggarapnya secara gotong-royong. Ditumpas polisi Jepang.

Oleh: Andri Setiawan | 23 Jan 2023
Potret perempuan Karo antara tahun 1914-1919. Hanya ilustrasi. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons).

Pada masa pendudukan Jepang muncul gerakan subversif di wilayah Sumatra Timur yang meresahkan pemerintah Jepang dan kesultanan. Gerakan ini dinamai Aron, di mana para petani merebut dan menggarap lahan pertanian secara ilegal. Menyebabkan sejumlah tragedi berdarah, namun dianggap heroik di kemudian hari.

Gerakan Aron bermula dari Gerakan Indonesia Raya (Gerindo) Sumatra Timur. Kader-kader Gerindo juga bergabung dengan Serikat Tani Indonesia. Tujuannya untuk menyusun program-program yang membela kaum tani. Organisasi ini mempunyai komite-komite perladangan. Serikat Tani Indonesia kemudian menjadi gerakan Aron. Aron mengacu pada sekelompok petani yang bekerja secara bergotong-royong.

Gerakan Aron, menurut Brahma Putro dalam Karo dari Zaman ke Zaman, serupa dengan gerakan gotong-royong, di mana anggotanya bekerja demi kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Orang yang masuk gerakan Aron, biasanya muda-mudi dan ibu-ibu, disebut Raron.

Advertising
Advertising

Baca juga: Gerakan Baso di Sumatra Barat

“Kemajuan pertanian di daerah Kabupaten Karo adalah pengaruh dari pergerakan tenaga Aron di setiap kampung, di samping pengaruh kemajuan teknologi sekarang ini,” tulis Brahma.

Sidik Kertapati dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 menyebut Aron pada mulanya merupakan organisasi saling bantu di kalangan kaum tani. Aron kemudian berkembang menjadi organisasi perlawanan terhadap fasisme dan kaum feodal yang hendak merampas tanah-tanah garapan di Deli, Langkat, dan Karo.

“Gerakan Aron ini dipimpin oleh kader-kader Gerindo yang terjun ke desa untuk melancarkan perjuangan antifasis sebagaimana yang telah digariskan oleh Mr. Amir Sjarifuddin, yaitu: ‘Tanah-air kita harus diselamatkan dari tangan dan budaya fasisme Jepang. Dengan segala cara dan usaha hendaknya dapat diselamatkan demokrasi untuk mencapai kemerdekaan nasional Indonesia’,” tulis Sidik.

Melalui Gerindo, Serikat Tani Indonesia, dan kemudian Aron, para petani dididik mengenai kesadaran nasional dan perlawanan terhadap raja-raja yang merampas tanah rakyat. Penggunaan istilah Aron membuat para petani dapat berkumpul tanpa dicurigai penguasa karena hanya terlihat seperti sekumpulan petani biasa.

“Dipilihnya nama Aron adalah sebagai penyamaran kepada penguasa Jepang,” tulis A.R. Surbakti dalam Perang Kemerdekaan Volume 1-2.

Surbakti mencatat, gerakan Aron di Deli Hulu terbagi menjadi tiga kepengurusan. Gerakan Aron Urung Sebanyaman dipimpin oleh Ngumban Surbakti, Usin Surbakti, Ng. Sitepu, dan K. Sinulingga. Gerakan Aron XII Kuta dipimpin oleh Kite Purba, Mabai Purba, Ngasil Sinuhaji, Pa Ngendik, dan Tek Karo-Karo. Gerakan Aron Sukapiring dipimpin oleh Kenaken Ketaren, Pehi Sembiring, Bangun Perangin-angin, dan Nimbang Ginting. Sedang pemimpin dari ketiga Gerakan Aron ini ialah Kite Purba (ketua) dan Terang Ketaren (ketua II).

Baca juga: Lagak Laskar Sumatra Timur

Di dataran tinggi Karo, gerakan Aron dipimpin oleh Kolah Tarigan dan kawan-kawannya. Sementara di Langkat Hulu, gerakan Aron dipimpin oleh Jumbak Perangin-angin.

Setiap gerakan terbagi menjadi dua macam regu, Aron Belin (aron besar) dan Aron Kitik (aron kecil). Aron Belin berisi delapan hingga 12 orang anggota, sedang Aron Kitik berisi lima hingga tujuh orang anggota. Setiap Aron diketuai oleh Bapa Aron dan Nande Aron (Ibu Aron).

Brahma Putro menjelaskan, sepanjang tahun para anggota Aron bekerja dari ladang satu ke ladang lain secara bergiliran setiap hari. Selain bekerja secara gotong-royong menggarap lahan, gerakan Aron melakukan pengambilalihan lahan dari para sibayak di berbagai daerah.

“Tanah atau persawahan yang direbut Aron ini ialah tanah persawahan yang telah dikuasai oleh raja-raja, yang tadinya diperoleh sebagai hak istimewa dalam setiap pembukaan proyek persawahan,” tulis Brahma Putro.

Gerakan Aron tentu saja meresahkan penguasa Jepang dan para raja (datuk). Sejumlah petani Aron ditangkap dan pertikaian terjadi. Pada 6 Agustus 1942 dini hari terjadi insiden di Arnhemia, kota perkebunan orang Eropa sekira 17 km dari Medan. Para petani melakukan aksi menuntut pembebasan kawan-kawannya.

Baca juga: Ketika Ibukota Kesultanan Deli Pindah ke Medan

Dalam insiden itu, Inoue Tetsuro dalam memoarnya “Bapa Jango: Bapa Djanggut” yang termuat dalam The Japanese Experience in Indonesia: Selected Memoirs of 1942-1945 menyebut para petani Aron akhirnya menyerang kantor polisi. Dua petani Aron tewas dan sejumlah orang luka-luka.

Inoue Tetsuro adalah kepala Kepolisian Kabupaten Deli Serdang yang kemudian ditugasi memberantas gerakan Aron. Ia dengan mudah menahan Jacub Siregar atau Iwan Siregar, mantan ketua Gerindo Sumatra Timur sekaligus pengurus Serikat Tani Indonesia. Tetsuro kemudian mempersiapkan perjalanan ke desa-desa untuk melakukan propaganda kepada kaum tani.

“Saya menulis dua surat, memasukkannya ke dalam amplop, dan mengalamatkannya. Pada keduanya saya menulis ‘wasiat’ dengan warna merah di bagian samping. Satu untuk Chokan (residen) dan satu lagi untuk keluarga saya di Jepang,” tulis Tetsuro.* (Bersambung)

TAG

gerakan aron sumatra timur

ARTIKEL TERKAIT

Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Permina di Tangan Ibnu Sutowo Selintas Hubungan Iran dan Israel Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Kematian-kematian Sekitar Pemilu 1971 Melawan Sumber Bermasalah Pangeran Bernhard, dari Partai Nazi hingga Panglima Belanda Kibuli Raden Paku