PARTAI Rakjat Djelata (PRD) yang diketuai oleh St Dawanis kian aktif di panggung politik nasional. Setelah sempat berseteru dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) soal tuduhan adanya “pihak musuh yang hendak mengacaukan dan membingungkan rakyat”, partai yang sekretaris jenderalnya dijabat oleh Pandu Kartawiguna itu menggabungkan diri ke dalam Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka.
Bersama partai Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Wanita Rakjat, Angkatan Comunis Muda (Acoma), Partai Rakyat Indonesia, dan Laskar Rakyat Jawa Barat, PRD menolak Kabinet Syahrir II yang mengadakan Perjanjian Linggarjati di selatan Cirebon pada 10 November 1946.
Pada 27 Juni 1947 Syahrir mengundurkan diri dan digantikan Amir Syarifuddin pada 3 Juli 1947. Tak lama kemudian Kabinet Amir jatuh karena perjanjian Renville. Amir menyerahkan mandatnya pada 23 Januari 1948. Setelah itu, Presiden Sukarno menunjuk wakilnya, Mohammad Hatta, untuk membentuk kabinet baru. Hatta berusaha membentuk kabinet koalisi dengan merangkul semua partai.
Sayap kiri menuntut empat kursi, termasuk jabatan Menteri Pertahanan. Hatta tak mengabulkannya karena mendapat tentangan dari Masyumi. Akhirnya pada 31 Januari 1948 Kabinet Hatta diumumkan. Hatta sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan. Kabinet ini didukung oleh Masyumi, PNI, Partai Katolik, dan Parkindo. Satu-satunya anggota sayap kiri yang duduk di kabinet adalah Supeno atas nama perseorangan. Dia menjabat Menteri Pembangunan dan Pemuda.
Amir Syarifuddin yang tersingkir melancarkan oposisi dan membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). FDR merupakan gabungan partai dan organisasi sayap kiri: Partai Sosialis (PS), PKI, Pesindo, Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), dan BTI. Organisasi itu dituduh berada di balik peristiwa Madiun 1948.
Untuk mengimbangi FDR, pemerintah Hatta membebaskan tokoh-tokoh pro Tan Malaka dari penjara karena terlibat Peristiwa 3 Juli 1946. Pada 6 Juni 1948, Tan Malaka mendirikan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) dengan pimpinan Dr Muwardi, Wakil Ketua Sjamsu Harja Udaja, dan Sekretaris Chairul Saleh.
Geoffrey C. Gunn dalam New World Hegemony in the Malay World, menyebut GRR terdiri dari gabungan PRD, Partai Rakjat pimpinan Maruto Nitimihardjo, Persatuan Marhaen Indonesia (Permai), Laskar Rakjat Djawa Barat, Persatuan Invaliden Indonesia, Partai Buruh Merdeka pimpinan Sjamsu Harja Udaja, Partai Wanita Rakjat, Barisan Banteng Republik Indonesia pimpinan dr Muwardi, dan Acoma pimpinan Ibnu Parma.
Setelah PKI ditumpas pada Peristiwa Madiun 1948, GRR kemudian melakukan konsolidasi. Pada 3 Oktober 1948, GRR dengan partai sehaluan seperti PRD, Partai Rakjat, Partai Buruh Merdeka, Acoma, dan Partai Wanita Rakyat berfusi menjadi Musyawarah Rakyat Banyak (Murba).
Kongres peleburan partai itu baru dilaksanakan pada 7 November 1948. Tan Malaka, sebagai tokoh sentral gerakan tersebut, hadir. Dalam pidatonya, Tan Malaka mengatakan, “Kalau saudara kembali ke kampung, saya harap melaksanakan peleburan itu, seperti sudah terlaksana antara pucuk pimpinan yang sudah banyak memperlihatkan goodwill. Walaupun sekarang bisa dilihat begitu, tetapi juga saudara kalau sudah sampai di cabang, di desa dilupakan, bahkan saudara Maruto Nitimihardjo adalah bekas ketua Partai Rakjat, saudara Sjamsu Harija Udaja Ketua Partai Buruh Merdeka, saudara St Dawanis ketua Partai Rakjat Djelata, tetapi mereka adalah pemimpin saudara-saudara lainnya semua. Supaya saudara di desa menerangkan bahwa mereka bukan pemimpin dari Partai Rakjat, atau Partai Buruh Merdeka atau Partai Rakjat Djelata, melainkan pemimpin Partai Murba.”
Tan Malaka sendiri memilih untuk tidak menjadi ketua Partai Murba. Ia tetaplah seorang yang berada di balik layar, sebagaimana kebiasaan yang telah melekat pada dirinya selama bertahun-tahun hidup dalam kejaran. Sukarni duduk sebagai ketua Murba didampingi St. Dawanis sebagai wakilnya. Tan menaruh harapan tinggi kepada kader-kadernya untuk memajukan Partai Murba yang baru saja dibentuknya. Dalam pidato itu dia bahkan memuji St Dawanis, Ketua PRD, dan Pandu Kartawiguna, Sekjen PRD, yang juga jadi pengurus Murba.
“Sdr Dawanis yang datang dari Jakarta dan Jatinegara terpaksa menyeludup ke sana-sini, yang terpaksa melalui penjara Belanda, baru sampai ke sini; didampingi oleh sekretaris jenderalnya yang dia kenal dari dulu, yang tidak banyak bicara, tetapi meminta bukti, ialah Pandu Karta Wiguna,” imbuh Tan Malaka.
Pada pemilu pertama 1955, PRD maju menjadi peserta pemilihan umum dan berhasil meraih satu kursi, sementara Murba meraih dua kursi.