Masuk Daftar
My Getplus

Di Balik Heboh Silsilah Soeharto

Mungkinkah kecerobohan semata jika sebuah majalah hiburan menurunkan artikel yang mempermasalahkan silsilah daripada presiden?

Oleh: Fandy Hutari | 04 Jun 2018
Aloysius Sugianto, pendiri majalah POP. Foto: Historia.

ADA indikasi keterlibatan Operasi Khusus (Opsus), sebuah unit intelijen yang dibuat dan diketuai Mayor Jenderal Ali Moertopo, di balik heboh silsilah Presiden Soeharto. Ini bisa dilihat dari keberadaan Aloysius Sugianto, tangan kanan Ali Moertopo yang merupakan pendiri dan pemimpin umum majalah POP.

Majalah POP membuat heboh pada 1974. Dalam terbitannya edisi nomor 17, Oktober 1974, POP memuat sebuah artikel berjudul “Teka Teki Sekitar Garis Silsilah Suharto,” yang membuat panas telinga Presiden Soeharto. Di dalam artikel itu, Soeharto disebut masih keturunan kesultanan Yogyakarta, dari garis Sultan Hamengku Buwono II.

Namun Aloysius membantahnya. Dia bahkan bilang, penerbitan artikel itu tanpa sepengetahuan dia.

Advertising
Advertising

“Mungkin dipaksakan penerbitannya atau gimana. POP itu pemimpin umum memang saya. Tapi pemimpin redaksi dan penanggung jawabnya ya Rey Hanityo,” katanya kepada Historia.

Tentang POP

Sebelum menerbitkan POP, Aloysius menerbitkan majalah serupa bernama SFF akronim Sport, Fashion, Film.

“Tapi, sampulnya dapat protes dari pedante-pedante (pendeta Hindu) di Bali, karena memuat foto artis yang sedang naik ke sebuah candi di Bali, tapi dibuat seperti tak menegakan pakaian,” kata Aloysius.

Lantaran kejadian itu, SFF dibredel. Seingat Aloysius, majalah tersebut hanya terbit empat edisi. Setelah itu, Aloysius mendirikan POP —akronim Peragaan, Olahraga, Perfilman.

Gaya sampul majalah POP serupa dengan pendahulunya. Menampilkan model atau artis, dengan sedikit teks artikel. Kontennya pun tak berbeda jauh. Masih seputar gosip artis, profil artis, mode, dan ulasan film. Jadi, bisa dikatakan majalah ini masih menyasar market yang sama.

Alasannya mendirikan SFF dan POP, menurut Aloysius, saat itu jarang ada majalah yang menampung pemberitaan menyangkut artis atau model. Padahal, majalah-majalah semacam ini sebenarnya tak asing lagi pada masa 1970-an. Ada Varia, Selecta, Flambojan, Mayapada, Variasi, Varianada, dan lainnya.

Melihat editorial POP, rasanya memang aneh majalah itu berani memuat artikel yang mempersoalkan silsilah Soeharto. Saat itu, Aloysius merupakan anggota Opsus berpangkat kolonel.

Peran Opsus

Karier militer Aloysius terbilang mentereng. Dia pernah menjadi ajudan Slamet Riyadi dalam Operasi Senopati untuk merebut Pulau Ambon dari Republik Maluku Selatan (RMS) pada 1950.

Pada 1965, Aloysius ditunjuk Ali Moertopo sebagai asistennya di Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD). Sebelumnya, pada 1956, dia bertugas di Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD).

Aloysius pun pernah terlibat dalam proses pembentukan Golkar, operasi “pembebasan” Irian Barat, hingga “integrasi” Timor-Timur ke Indonesia.

Menurut pengakuan Aloysius, sebelum dia berangkat ke Timor Portugis (kemudian menjadi Timor Timur pada 1976 dan Timor Leste pada 1999), untuk menjajaki daerah tersebut sebelum berintegrasi ke Indonesia pada 1976, dia mendapatkan kabar dari pemimpin redaksi dan penanggung jawab POP, Rey Hanityo.

“Katanya, ada seorang wartawati asal Yogyakarta yang membawa artikel soal silsilah Soeharto,” ujar Aloysius. “Saya bilang jangan diterbitkan dulu. Tunggu saya kembali dari Timor.”

Selain itu, Aloysius menyarankan Rey agar menghubungi Badan Koordinasi Intelejen Negara (BAKIN) bagian media massa untuk konsultasi.

Sekitar 10 hari Aloysius berada di Timor. Kabar buruk dia dengar sekembalinya ke Jakarta.

Usai pulang, Aloysius langsung ke Istana Negara untuk mendampingi rombongan delegasi Malaysia berkunjung ke Bina Graha. Setelah rombongan delegasi Malaysia pulang, dia mendapatkan kabar soal POP tengah tersandung masalah karena menurunkan artikel silsilah Soeharto.

Merasa tersudut atas artikel POP, Presiden Soeharto mengumpulkan wartawan di Bina Graha, kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 28 Oktober 1974. Di depan wartawan luar dan dalam negeri, dia membantah berasal dari kalangan ningrat.

Ada sas-sus kabar, isi artikel itu adalah pesanan Ali Moertopo. Robert Edward Elson dalam Suharto: A Political Biography menulis, artikel tersebut merupakan upaya yang dilakukan Ali Moertopo untuk memperbarui hubungannya dengan Soeharto yang telah rusak karena peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari).

Sementara Sue Rabbitt Roff dalam Timor’s Anschluss: Indonesian and Australian Policy in East Timor, menulis, agaknya, jauh dari niat mempermalukan presiden, Moertopo dan orang-orangnya berharap bisa menyenangkan Soeharto. Namun, tanggapan Soeharto menunjukkan bahwa Moertopo telah membahayakan posisinya sebagai asisten pribadi Soeharto.

Minta Maaf

Sebelum artikel POP bikin geger, Aloysius disarankan meminta maaf kepada Presiden Soeharto. Kemudian, dibuatlah surat permohonan maaf yang ditandatanganinya bersama Rey Hanityo. Namun ternyata yang diinginkan Soeharto adalah permohonan maaf secara pribadi, bukan atas nama majalah.

Kasus POP akhirnya menjadi pemberitaan nasional.

“Saya dipanggil kejaksaan sampai tiga kali. Saya tidak pernah datang, karena masih mengurus Timor,” kata Aloysius.

Aloysius sendiri bebas dari kasus ini. Tapi POP dibredel. Pemimpin redaksinya, Rey, dijatuhi hukuman bui selama tiga tahun, potong masa tahanan.

Aloysius mengatakan, karier militernya pun tidak pernah ada masalah. “Tidak ada dampak. Saya masih aktif terus di Opsus,” ujarnya.

Aloysius memang masih aktif di Opsus. Tapi pangkatnya tak bisa naik. Dia pensiun dengan pangkat kolonel.

Baca juga: 

Teka-Teki Silsilah Presiden Soeharto
Menelanjangi Silsilah Pribadi Presiden Soeharto

TAG

Soeharto POP Silsilah

ARTIKEL TERKAIT

Ketika Kapolri Hoegeng Iman Santoso Kena Peremajaan Insiden Mobil Kepresidenan Soeharto Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto TAP MPR Dicabut, Sejarah Makin Berkabut Pencabutan TAP MPR Membuka Lagi Wacana Gelar Pahlawan Soeharto, Begini Kata Sejarawan Merehabilitasi Soeharto dari Citra Presiden Korup Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967 Eks KNIL Tajir Soeharto Berkuasa seperti Raja Jawa Ali Moertopo “Penjilat” Soeharto