SAKIT perut sampai ke punggung, pusing, lemas, keringat dingin, mual, dan muntah menjadi pengalaman rutin bagi sebagian perempuan ketika hari pertama atau kedua haid. Kalau sudah begitu, jangankan bekerja, mengambil makanan di dapur pun mereka tak sanggup.
Tak semua perempuan haid mengalami itu, memang. Masing-masing perempuan punya “corak” haid sendiri.
Namun, yang cilaka adalah perempuan yang terpaksa bekerja meski sakit karena haid. Mereka melakukan itu karena tak mengetahui hak cuti haid, takut kena PHK, atau perusahaan tidak memberi hak cuti haid.
Padahal, hak untuk istirahat selama sehari-dua ketika haid diatur dalam pasal 81 Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Sementara, “Pasal 93 nomor 2 huruf B berbunyi bila pekerja mengambil cuti haid karena merasakan sakit akan tetap mendapatkan upah,” kata Kepala Bagian Biro Humas Kementerian Tenaga Kerja Sahat Sinurat kepada Historia.
Bagi pihak pemberi kerja yang tidak memberikan hak cuti haid bila buruh merasakan sakit pada hari pertama, akan dikenakan sanksi. “Perusahaan yang tidak memberikan cuti haid bagi pekerja yang merasa sakit akan dikenai sanksi sesuai Pasal 185, sanksi pidana,” kata Sahat.
Dalam kenyataannya, hak cuti haid buruh perempuan hanya manis di atas kertas. Diah Pratiwi dalam skripsinya tentang pelaksanaan cuti haid di PT. Lintas Marga Sedaya Majalengka menulis, pada 2017 pekerja perempuan di perusahaan tersebut tidak diberikan izin untuk cuti haid. Pengalaman serupa juga dialami beberapa buruh perusahaan garmen yang diwawancara Sasmito pada akhir 2017 untuk buku Perempuan di Dunia Kerja. Alih-alih mendapat cuti haid, mereka justru kena marah atasan begitu mengajukan cuti haid. Buruh lain bahkan dipindahkerjakan ke bagian yang lebih berat karena hal itu.
Bukan hanya perusahaan garmen, hotel-hotel mewah dan restoran elit juga banyak yang tak memberlakukan cuti haid untuk pekerja mereka. Menurut Linda, sekretaris Serikat Pekerja PT Amos Indah Indonesia (perusahaan garmen), dia dan kawan-kawan serikat mengaku lebih mudah memberi penyadaran hak cuti haid kepada perempuan pekerja daripada berharap pada pemerintah.
Padahal, pemberian hak cuti haid sudah diatur sejak lama melalui UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja. UU ini diperbarui pemerintah lewat UU Nomor 1 tahun 1951 yang mengatur tentang cuti haid selama dua hari bagi perempuan pekerja.
Tetap saja, beberapa perusahaan tak memberikan cuti haid kepada perempuan pekerja yang merasakan sakit. Hal itu membuat banyak organisasi perempuan dan serikat buruh pada 1950-an menyerukan agar perusahaan-perusahaan swasta menyediakan tempat kerja ramah bagi perempuan. Pada 1953, Gerwani menuntut pemberlakuan cuti haid bagi semua penyedia kerja. Perempuan yang mengalami nyeri haid membutuhkan cuti tersebut untuk istirahat.
Menurut Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia, tahun 1950-an Ketua Biro Wanita SOBSI Sri Ambar dan rekan-rekan buruhnya kerap berdemonstrasi untuk memperjuangkan hak buruh yang sudah diatur dalam undang-undang.
“Aksi-aksi itu kami tujukan pada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah…. Kami menuntut hak-hak kaum wanita yang sudah ditetapkan Undang-Undang, termasuk dua hari cuti haid,” kata Sri Ambar yang diwawancara Saskia tahun 1983.
Sri Ambar juga menceritakan, kampanye memperjuangkan cuti haid mendapat penolakan dari berbagai pihak, termasuk organisasi perempuan. Yetty Noor dari Kowani, misalnya, menolak pelaksanaan cuti haid lantaran baginya merugikan pemerintah.
Pemerintah sendiri lebih condong melindungi kepentingan perusahaan swasta. Lewat Kementerian Perburuhan, pemerintah mengkritik UU Nomor 1 tahun 1951. Menurut instansi plat merah itu, peraturan ini justru merugikan perempuan. “Peraturan ini membuat minat perusahaan untuk mempekerjakan perempuan semakin berkurang,” seperti dikutip Cora Vreede de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia.
Perjuangan menuntut cuti haid makin berat ketika Orde Baru. Tuntutan pemberlakuan cuti haid jarang terdengar lantaran pingsan oleh represi penguasa. Cuti haid –di samping tuntutan kenaikan gaji dan pemenuhan hak-hak buruh lainnya– paling terdengar saat Marsinah, buruh PT Catur Surya Perkasa (PT CPS), melakukan demonstrasi pada 5 Mei 1993. Itu pun tak mendapat tanggapan dan Marsinah malah tewas.