Masuk Daftar
My Getplus

CIA, Tan Malaka, dan Kampret

Laporan CIA menyebut penyandang dana Tan Malaka. Berasal dari jualan mobil bekas.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 17 Jul 2021
Saeroen, tokoh wartawan, perfilman, dan perhotelan, yang pernah mendukung Tan Malaka. (Repro Jagat Wartawan Indonesia).

CIA telah beroperasi di Indonesia sejak masa revolusi kemerdekaan. Agennya melaporkan situasi yang terjadi di Indonesia. Termasuk melaporkan kegiatan tokoh pergerakan seperti Tan Malaka dan para pengikutnya. Di antaranya adalah Saeroen.

Saeroen lahir di Yogyakarta dari orang tua abdi dalem keraton dan ibunya penjual kain loak. Dia bekerja jadi tukang cuci andong dan loper koran Mataram. Setelah gagal sekolah rendah dan HIS (Hollandsch-Inlandsche School), sekolah dasar Belanda untuk anak negeri, dia akhirnya berhasil mendapatkan klein ambtenaar examen, ijazah persamaan dengan HIS.

Saeroen kemudian pergi ke Batavia dan bekerja di stasiun kereta api. Dia dipercaya memimpin berkala Vereniging van Spoor-en Tram Personeel yang diterbitkan oleh serikat buruh kereta api. Dia pun semakin tertarik dengan dunia menulis sehingga meninggalkan pekerjaan sebagai pegawai negeri untuk bekerja di media massa.

Advertising
Advertising

Saeroen memulai kariernya sebagai wartawan di harian Tionghoa-Melayu, Siang Po. Setelah itu, dia pindah ke Keng Po. Kariernya sebagai jurnalis terus menanjak sampai menjabat wakil pemimpin redaksi.

Baca juga: Sukarno: Wartawan Pekerjaan Gawat

Setelah keluar dari Keng Po, Saeroen bersama Raden Haji Djoenaedi, mendirikan harian Pemandangan. “Harian ini mendapat kemajuan yang cukup pesat, dan nama Kampret penjaga pojoknya mulai terkenal,” tulis Soebagijo I.N. dalam Jagat Wartawan Indonesia.

Saeroen mengasuh rubrik pojok dengan nama pena Kampret. Pada suatu edisi, Kampret menulis mengenai impiannya tentang Republik Indonesia Serikat. Perdana Menterinya MH Thamrin, Menteri Pekerjaan Umum Abikusno Tjokrosuyoso, Menteri Pengajaran Ki Hajar Dewantara, dan Menteri Penerangan Parada Harahap.

Impian Kampret di pojok itu ditanggapi serius oleh pemerintah kolonial. Pemandangan pun kena bredel, dilarang terbit selama satu minggu.

Yang mengherankan, Saeroen kemudian bekerja untuk kantor berita Belanda, Aneta, bagian bumiputra (inheemsche afdeling). Padahal, dia sudah menjadi pemimpin redaksi Pemandangan, salah satu koran besar milik bumiputera.

“Apa perhitungannya dan bagaimana bunyi kontraknya, mengapa sampai Saeroen yang sudah duduk mapan di Pemandangan sampai tega meninggalkannya,” tulis Soebagijo.

Baca juga: Banjir Produk Jepang di Hindia Belanda

Kemungkinan Saeroen menerima posisi itu untuk menyusup ke media milik Belanda. Sebab, dia telah berhubungan dengan orang Jepang. Sehingga pada 1939 menjelang pecahnya Perang Dunia II, dia ditahan polisi karena didakwa terlibat dalam usaha mempengaruhi pers Indonesia dengan menggunakan modal Jepang.

Dalam dokumen rancangan menerbitkan surat kabar dalam bahasa Melayu oleh Jepang di Hindia Belanda, disebutkan bahwa Saeroen akan ditunjuk menjadi pemimpin redaksi, Kubo Tatsui menjadi penasihat, dan Mominoki Tatsuo yang mencari berita tentang Jepang. Dua orang Jepang ini sudah tinggal lama di Hindia Belanda dan menjalankan surat kabar Jepang.

Mominoki Tatsuo kemudian berganti nama menjadi Ichiki Tatsuo. Sewaktu bekerja di Soeara Oemoem, dia menggunakan inisial T.M. yang dikira pembaca sebagai Tan Malaka. Ichiki membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Dia pun berganti nama menjadi Abdurachman, pemberian Haji Agus Salim. Sedangkan temannya, Tomegoro Yoshizumi, diberi nama Arif oleh Tan Malaka.

Baca juga: Ichiki Tatsuo, Kekecewaan Seorang Jepang

Menurut Soebagijo, kasus Saeroen itu juga menyeret nama Soedijono Djojoprajitno, pemimpin redaksi Warta Harian. Dia seorang Digulis (pernah dibuang ke Boven Digul, Papua oleh pemerintah kolonial Belanda), pengagum Tan Malaka, anggota Partai Murba, dan anggota parlemen.

Sementara itu, Saeroen dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman sembilan bulan penjara. Ketika Jepang menyerang Hindia Belanda, dia ditangkap dan dimasukkan ke kamp tawanan di Garut.

“Pada zaman pendudukan Jepang, dia bekerja di mana, belum saya telusuri…” tulis Soebagijo. “Juga sewaktu revolusi pecah dan perang kemerdekaan berkecamuk, tidak terdengar kabar beritanya.”

Laporan CIA

Laporan CIA mengungkap kegiatan Saeroen pada masa revolusi kemerdekaan. Dalam laporan tanggal 7 Januari 1949, disebutkan bahwa Saeroen membantu Abdulrachman Sungkar yang memimpin Partai Rakjat Djelata (PRD). Partai ini mendukung Tan Malaka.

“Partai Rakjat Djelata, juga disebut Lasjkar Pakoempoelan Rakjat Djelata, kelompok dari Batavia, yang dipimpin oleh seorang Arab, Abdoelrachman Soengkar, dibantu oleh Saeroen,” tulis laporan itu.

Sejarawan Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 2, menyebut bahwa PRD didirikan di Jakarta pada 1 Oktober 1945 sebagai Persatoean Rakjat Djelata. Nama-nama pengurusnya Ketua Abdulrachman, Wakil Ketua St. Dawanis, dan anggota-anggota M. Karnawidjaja, Abdulrachman Kosim, Soerip Soeprastijo, dan Muhammad Arsad. “Semuanya tanpa masa lalu yang terkenal dalam gerakan politik,” tulis Poeze.

Baca juga: Palu Arit ala PKI dan PRD

Saeroen tidak disebut dalam kepengurusan itu. Namun, laporan CIA menyebut Saeroen sebagai pemimpin PRD. Misalnya, laporan tanggal 3 Februari 1949 menyebut kelompok bersenjata bernama Gagak Item yang beroperasi di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Kelompok ini bersenjata pistol, senjata otomatis, pedang, pisau, dan lain-lain. “Banyak anggota organisasi ini dulunya adalah anggota Partai Rakjat Djelata yang dipimpin oleh Saeroen dan Abdulrachman Sungkar,” tulis laporan itu.

Dalam perkembangannya, PRD melebur menjadi Partai Murba yang didirikan Tan Malaka pada November 1948. Dalam laporan CIA tanggal 9 Maret 1949 disebut bahwa Saeroen sebagai komisaris Partai Murba untuk Jawa Barat. Dia sendiri tinggal di Gang Tengah No. 31, Salemba, Jakarta Pusat. Menariknya, laporan itu menyebut tugas Saeroen sebagai penyandang dana untuk Tan Malaka.

Baca juga: Dimusuhi PKI, PRD Ikut Murba

“Tugasnya adalah mengamankan dukungan keuangan untuk Tan Malaka. Di Batavia, Saeroen mendapatkan uang dengan membuka dealer mobil bekas untuk Dutch Motor Transport Dienst (MTD). Dia dibantu oleh Komisaris Polisi Lalu Lintas R.K. Achman. Untuk setiap mobil yang dia jual, Saeroen membayar Achman 20 persen ad valorem [dari harga jual]. Dua puluh lima persen dari hasilnya digunakan untuk pembelian barang-barang yang dibutuhkan oleh Tan Malaka dan Partai Murba,” tulis laporan itu.

Laporan itu juga menyebut bahwa Saeroen menempatkan anaknya, Nuradi, bersama Tan Malaka.

Dalam buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981–1982 disebutkan pada masa revolusi, Nuradi bekerja sebagai penyiar bahasa Inggris pertama RRI dan juru bahasa Inggris Presiden Sukarno. Dia kemudian bekerja di Kementerian Luar Negeri, Kementerian Penerangan, perwakilan Indonesia di PBB, dan berakhir sebagai pengusaha periklanan.

Film dan Hotel

Setelah masa revolusi kemerdekaan, Saeroen kembali ke dunianya sebagai wartawan. Dia pernah menerbitkan mingguan Warta Bogor tapi tidak berumur panjang. Dia juga seorang pengarang, karyanya antara lain Dibelakang Layar Djurnalis, Rahasia Bergaoel, Berdiri Dipinggir Djalan, dan Mas Kawin Paling Tinggi.

“Saeroen selain dikenal sebagai tokoh wartawan, juga dikenal sebagai tokoh perfilman,” tulis Soebagijo.

Karangan-karangan Saeroen yang diangkat ke layar lebar antara lain Terang Boelan (1937), Harta Berdarah (1940), Bajar Dengan Djiwa (1940), Panggilan Darah (1941), dan Asmara Moerni (1943).

Selain tokoh wartawan dan perfilman, Saeroen juga pengusaha hotel. Dia memiliki Hotel Cipayung di Bogor. Dia menjadi salah satu tokoh perhotelan yang menggagas pendirian Serganti (Serikat Gabungan Hotel dan Tourism Indonesia) pada 1953.

Baca juga: Para Terduga Korupsi di Hotel Talagasari

“Sebagaimana tulisannya sebagai Kampret, Saeroen dikenal orang sebagai humoris, suka kepada humor dan lelucon,” tulis Soebagijo. “Itu pula sebabnya mengapa dia sukses dalam pergaulan, dalam bisnisnya sampai hotel di Cipayung yang diusahakannya terus berkembang.”

Dalam buku Apa Siapa Orang Film Indonesia, 1926-1978 disebut bahwa Saeroen mendapat gelar doktor kehormatan dari salah satu universitas di Ujung Pandang (Makassar) dalam bidang ilmu pengetahuan sosial, kemudian diangkat sebagai ketua dewan kurator IKIP Bogor (mungkin IKIP PGRI Bogor yang kemudian bergabung menjadi Universitas Pakuan). Dia juga diakui sebagai perintis kemerdekaan Indonesia dan menerima tanda penghargaan Satya Lencara Perintis Kemerdekaan, serta beberapa bintang jasa lainnya.

Usaha Saeroen di bidang perhotelan juga sukses sampai akhir hayatnya pada 6 Oktober 1962. Beberapa motelnya di Cipayung diberi nama sesuai nama samarannya sebagai penjaga rubrik pojok: Kampret, Kalong, dan Kelelawar.

TAG

cia tan malaka pers

ARTIKEL TERKAIT

M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado Supersemar Supersamar Sisi Lain dan Anomali Alexander Brigjen M. Noor Nasution, Perwira TNI eks Pemain Sandiwara Sukarno, Jones, dan Green Portiere Flamboyan Itu Bernama Walter Zenga Hukuman Bagi Pelaku Perselingkuhan Secuil Cerita Jenaka dari Cianjur Semasa Pendudukan Saudara Tua Gempa Merusak Keraton Bupati dan Masjid Agung Cianjur Ibu Kota Pindah dari Cianjur ke Bandung