Masuk Daftar
My Getplus

CIA dan Penelitian tentang Indonesia

CIA mendanai pembentukan lembaga penelitian di MIT. Sebuah tim meneliti di Indonesia.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 08 Feb 2021
Max Millikan (kedua dari kiri), orang CIA yang menjadi direktur pertama CIS MIT. (webmuseum.mit.edu).

Semasa Perang Dunia II, OSS (Office of Strategic Services), cikal bakal CIA, memiliki Divisi Riset dan Analisis (R&A) yang merekrut para peneliti atau akademisi untuk mengumpulkan informasi berbagai wilayah di dunia.

Antropolog Cora DuBois menjadi direktur Divisi Asia Tenggara R&A. Peneliti yang direkrut adalah Claire Holt yang pernah tinggal di Yogyakarta pada 1930-an untuk meneliti seni dan budaya Jawa.

Selain itu, Raymond Kennedy dari Yale University karena menulis buku The Ageless Indies yang membahas mengenai praktik kolonial Belanda di Indonesia. Tragisnya, setelah tak lagi bekerja untuk R&A, Kennedy mati dibunuh di Indonesia.

Advertising
Advertising

“Sementara itu, cendekiawan lain, Amry Vandenbosch, menjadi narasumber Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang bertugas memberi wawasan mengenai di antaranya potensi dampak Jepang terhadap Indonesia sesudah Perang Dunia II,” tulis Frances Gouda dan Thij Brocades Zaalberg dalam Indonesia Merdeka Karena Amerika?

Amry Vandenbosch adalah ahli ilmu politik kawasan Asia Tenggara dari University of Kentucky. Salah satu karyanya tentang Hindia Belanda, The Dutch East Indies: Its Government, Problems and Politics (1941).

Baca juga: Akhir Tragis Mantan Analis OSS

Setelah CIA dibentuk, Amerika Serikat mengirimkan agen pertamanya ke Indonesia, Arturo Campbell, mantan anggota OSS yang ditempatkan di Konsul Jenderal Amerika Serikat di Jakarta.

Campbell bertemu dengan George McT. Kahin di Yogyakarta pada 1948. Kahin sedang melakukan penelitian untuk disertasinya di Johns Hopkin University. Campbell mencoba merekrut Kahin.

“Dia terus mendesak agar saya sebagai satu-satunya orang Amerika yang tinggal di Yogyakarta, harus menolongnya. Ketika saya menolak dia menjadi marah sekali dan mencaci maki saya, baik ketika itu maupun kemudian di Washington,” kata Kahin dalam “Kenangan dan Renungan tentang Revolusi Indonesia”, yang termuat dalam Denyut Nadi Revolusi Indonesia.

Campbell berhasil menjalankan operasinya: menyeleksi para perwira Mobile Brigade (Mobrig, kini Brimob) untuk mengikuti pelatihan di Amerika Serikat.

Selain itu, H. Merle Cochran, duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia, juga menawarkan pelatihan intelijen. Indonesia menerima tawaran itu dan mengirimkan para intelnya untuk dilatih oleh instruktur CIA.

CIA Mendanai Penelitian

Setelah OSS dibubarkan pada 1945, R&A dipindahkan ke Departemen Luar Negeri. SSU (Strategic Service Unit) dibentuk untuk menjaga aset dan fasilitas OSS. Lembaga intelijen baru didirikan yaitu CIG (Central Intelligence Group) pada 1946.

Ketika kebutuhan informasi intelijen semakin meningkat, CIG diperbesar dan digabung dengan SSU. Berdirilah CIA berdasarkan National Security Act pada 1947.

Dalam mengumpulkan informasi untuk keperluan intelijen, CIA mendanai pendirian lembaga penelitian di Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada 1951.

“CIA pada 1952 menyediakan $600.000 untuk Center for International Studies (CIS),” tulis Michael E. Latham dalam The Right Kind of Revolution.

Tokoh kunci di balik pendirian CIS adalah Walt Rostow, seorang ilmuwan politik yang memiliki hubungan dengan intelijen sejak dari OSS pada Perang Dunia II. Dia kemudian menjadi Asisten Urusan Keamanan Nasional Presiden Lyndon B. Johnson.

Baca juga: Operasi Agen CIA Pertama di Indonesia

Selain mendapatkan dana dari CIA, CIS juga dipimpin oleh seorang akademisi yang bekerja untuk CIA.

“Pemimpin pertama langsung datang dari CIA. Bawa dana dari CIA. Kemudian Ford Foundation dan sebagainya mulai memberi dana,” kata William Bradley Horton, sejarawan Akita University, Jepang, dalam diskusi daring tentang “Guy Pauker, CIA, dan Kajian Indonesia di Amerika,” yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2W LIPI) pada 17 Juni 2020.

Pemimpin yang maksud adalah Max Franklin Millikan yang pernah bekerja sebagai Asisten Direktur Kantor Riset dan Laporan CIA pada 1951–1952.

“Ekonom MIT Max Millikan, direktur pertama CIS, mulai bekerja segera setelah setahun sebagai orang kedua di CIA,” tulis Latham. Max Millikan menjabat direktur CIS dari 1952 sampai 1969.

Menurut Latham, selama tahun 1950-an, CIS terlibat dalam dua jenis penelitian utama: analisis Uni Soviet dan China dan studi tentang proses modernisasi di dunia pascakolonial.

"CIA mendanai banyak pekerjaan penelitian pada masyarakat komunis, sementara sumber lain pemerintah dan filantropi, terutama Ford dan Rockefeller Foundation, mendukung penelitian studi pembangunan," tulis Latham.

Proyek Mojokuto

Brad, panggilan Horton, mengatakan CIS menyediakan dana penelitian bagi para peneliti yang membutuhkannya.

“Orang-orang di Harvard seperti Clifford Geertz dan sebagainya tidak punya dana. Yang punya dana di sebelahnya, MIT. Kalau mau dana untuk meneliti di Indonesia walaupun belum jadi ahli Indonesia, misalnya graduate student, disediakan oleh proyek Indonesia CIS,” kata Brad.

S. Ann Dunham, ibu mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, mengungkapkan bahwa pada 1952, sebuah tim ilmuwan sosial Amerika Serikat datang dan tinggal di dalam atau di dekat kota kecil sebelah timur Jawa Tengah, yang mereka beri nama samaran Mojokuto.

“Tim ini terdiri atas enam mahasiswa pascasarjana dari Universitas Harvard, dipimpin oleh seorang ahli bahasa dari Yale,” tulis Ann Dunham dalam Pendekar-Pendekar Besi Nusantara.

Buku itu diangkat dari disertasi Ann Dunham di Jurusan Antropologi University of Hawaii at Manoa tahun 1992 yang mengkaji kehidupan sosial dan ekonomi perajin besi di sebuah desa di selatan Yogyakarta.

Baca juga: Menolak Membantu Agen CIA Pertama di Indonesia

Ann Dunham menyebutkan, tim Proyek Mojokuto itu bekerja menurut sebuah skema besar pembagian tugas dan dilakukan secara bertahap antara 1960–1971. Mereka menghasilkan sejumlah terbitan tentang beragam aspek kehidupan desa dan kota kecil Jawa.

Di antaranya: Hildred Geertz, The Javanese Family (1962); Alice G. Dewey, Peasant Marketing in Java (1962); Robert Jay, Religion and Politics in Rural Central Java and Javanese Villagers (1963 dan 1969); dan Clifford Geertz, The Development of the Javanese Economy (1956), The Religion of Java (1960), Agricultural Involution (1963a), dan Peddlers and Princes (1963b).

Karya Clifford Geertz yang paling terkenal di Indonesia adalah The Religion of Java yang diterjemahkan menjadi Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.

“Kerja mereka itu disponsori oleh MIT Center for International Studies, dan direkturnya untuk proyek-proyek riset tentang Indonesia adalah seorang ekonom, Benjamin Higgins,” tulis Ann Dunham yang pernah bekerja lama di Indonesia, di antaranya untuk USAID dan Ford Foundation.

TAG

cia

ARTIKEL TERKAIT

Plus-Minus Belajar Sejarah dengan AI Perjuangan Kapten Harun Kabir M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado Sukarno, Jones, dan Green Secuil Cerita Jenaka dari Cianjur Semasa Pendudukan Saudara Tua Gempa Merusak Keraton Bupati dan Masjid Agung Cianjur Ibu Kota Pindah dari Cianjur ke Bandung Gempa Besar bagi Bupati Cianjur Gempa Bumi Mengguncang Cianjur Duka Kuba di Laut Karibia