Masuk Daftar
My Getplus

Banda, Titik Nol Indonesia

Jay Subyakto membuat sebuah film dokumenter yang melukiskan betapa besar dan pentingnya Banda bagi Indonesia.

Oleh: Randy Wirayudha | 01 Agt 2017
Jay Subyakto, sutradara film dokumenter, "Banda: The Dark Forgotten Trail." Foto: Nugroho Sejati/Historia.

SIAPA tak mengenal Banda? Sejak ribuan tahun lalu, gugusan pulau di timur Nusantara itu sudah jadi primadona komoditas rempah dan kerap didatangi para pedagang dari Tiongkok, Arab, India dan Persia. Beralih ke abad 16, Banda mulai jadi rebutan negara-negara kolonialis dari Eropa.

Cengkeh dan pala jadi kekayaan alam yang menjadikan Banda sebagai pesona. Adalah Portugis, bangsa asing pertama yang menjejakkan kaki di kepuluan tersebut. Disusul Belanda dan Inggris. Sejak itu, dominasi pedagang Arab dan Tiongkok pun tergusur oleh bangsa Eropa.

Sejak bangsa Eropa mencapai Banda, beberapa perubahan dalam perdagangan terjadi. Baik dalam hal ekonomi hingga sosial. Berbagai tragedi pun pernah terjadi. Seperti insiden pembantaian massal yang pernah dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen di era kejayaan VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur milik Belanda).

Advertising
Advertising

Di era VOC pula, monopoli cengkeh dan pala diberlakukan. Sistem perbudakan diterapkan. Terjadilah percampuran dalam kehidupan sosial pasca Belanda mendatangkan banyak budak dari berbagai daerah di Nusantara.

Kompetisi antarsesama bangsa Eropa juga terjadi. Bahkan, Inggris menukar Pulau Run, pulau mungil yang jadi sentra komoditas pala, dengan Pulau Manhattan yang dikuasai Belanda sebagai salah satu syarat perjanjian damai dalam Perjanjian Breda (Treaty of Breda) pada 31 Juli 1667.

Lambat laun seiring zaman kian modern, permintaan akan komoditas pala merosot. Banda lantas lebih dimanfaatkan pemerintah Hindia Belanda sebagai tempat pembuangan para pembangkang. Sejumlah tokoh macam Cipto Mangunkusumo, Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, hingga Iwa Kusuma Sumantri pernah merasakan diasingkan di Banda.

Sebagaimana daerah lain di Hindia Belanda, Banda juga lantas jadi bagian dari Republik Indonesia pasca-Proklamasi 17 Agustus 1945. Sejak itulah banyak perkebunan pala dinasionalisasi. Namun efek dari situasi tersebut menjadikan kondisi ekonomi para petani pala “jalan di tempat” karena kesalahan manajemen yang parah.

Sejarah kelam di Banda di zaman Jan Pieterszoon Coen seolah kembali terjadi di Banda pada 1999. Kerusuhan dan konflik horizontal yang terjadi di Ambon, menular sampai ke sana.

Kini bersamaan dengan momentum 350 tahun Perjanjian Breda, Banda menyatakan diri hendak bangkit. Tidak hanya ingin maju dalam hal pariwisata yang mempromosikan keindahan alam baharinya, tapi juga kekayaan warisan sejarahnya.

Detail-detail soal Banda inilah yang lantas dirangkum sutradara Jay Subyakto dalam sebuah film dokumenter, Banda: The Dark Forgotten Trail. Dalam karya pertamanya di dunia film setelah sempat absen 17 tahun ini, Jay ingin masyarakat Indonesia bisa membuka mata tentang sejarah Banda yang begitu penting tapi seolah dilupakan.

“Buat saya, sejarah itu penting. Kalau kita melupakan masa lalu, ya kita enggak akan bisa berhasil di masa depan. Banda sekarang ditinggalkan dan dilupakan sendiri oleh bangsanya. Padahal Banda itu titik nol Indonesia,” tutur Jay Subyakto kepada Historia dalam gala premier filmnya di Epicentrum XXI, Jakarta Selatan, Senin (31/7/2017).

Untuk membuat film ini, Jay penulis Irfan Ramli melakukan penelitian lapangan termasuk membaca surat-surat pribadi Bung Hatta semasa diasingkan di Banda Neira.

“Karena Mohammad Hatta juga termasuk paman saya, jadi saya tahu surat-surat pribadinya selama dia di Banda. Beliau juga sering cerita kepada saya mengenai Banda sebelum beliau meninggal pada 14 Maret 1980,” ujar Jay.

Film dokumenter yang beberapa scene-nya diselingi animasi dan wawancara sejarawan Wim Manuhutu, Usman Thaleb serta beberapa orang Banda itu, akan tayang serentak di sejumlah bioskop pada 3 Agustus 2017.

“Semoga film ini bisa jadi jendela untuk memahami sejarah bangsa kita. Semoga juga bisa menginspirasi dan menimbulkan semangat kita sebagai bangsa yang besar,” kata produser Sheila Timothy dalam sambutannya jelang gala premier.

 

 

TAG

film banda

ARTIKEL TERKAIT

Uprising Memotret Kemelut Budak yang Menolak Tunduk Hasrat Nurnaningsih Menembus Hollywood Alkisah Eksotisme dan Prahara Sarawak lewat Rajah Sabra, Superhero Israel Sarat Kontroversi Alain Delon Ikut Perang di Vietnam Nostalgia Wolverine yang Orisinil Polonia, Tanah Tuan Kebun Polandia di Medan Anak-anak Nonton Film di Zaman Kolonial Belanda Om Sjahrir dan Anak-Anak Banda Neira Nyanyi Sunyi Ianfu