Pada 1973, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menggelar lomba desain logo untuk Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Salah satu jurinya adalah pelukis sekaligus kritikus seni rupa, Koesnadi. Lomba ini sampai dihelat dua kali karena dewan juri belum juga mendapatkan logo yang cocok untuk Korpri yang baru berumur dua tahun.
Korpri dibentuk Soeharto melalui Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971 tentang pembentukan Korpri sebagai satu-satunya wadah organisasi pegawai negeri sipil (PNS). Tujuannya untuk menggiring PNS dan keluarganya agar memberikan suara bagi Golkar. Saat itu, Menteri Dalam Negeri Amirmahmud merangkap sebagai Ketua Korpri.
Pihak penyelenggara lomba logo frustrasi. Akhirnya, pihak Departemen Dalam Negeri meminta beberapa pelukis antara lain Aming Prayitno, Mujitha, Suharto PR, dan beberapa seniman lain dari Bandung dan Jakarta, untuk merancang logo Korpri. Rancangan karya Aming yang terpilih. Dia mendapatkan hadiah Rp50.000 dan piagam penghargaan Nomor Peng. 02/K.III/wan/73 tertanggal 6 Maret 1973.
Baca juga: Pegawai Negeri bukan Priyayi
Menurut Pengajar Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Mikke Susanto, logo Korpri karya Aming merupakan sekumpulan tanda yang disatukan dalam sebuah desain. Dalam logo tersebut tercantum beberapa simbol: Pohon Hayat atau Kalpataru merupakan pohon pelindung dan penyeimbang alam. Dalam pohon tersebut terdapat 17 ranting, 8 cabang, dan 45 daun sebagai simbol Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Pohon tersebut menaungi sebuah siluet rumah yang memiliki 5 buah tiang yang melambangkan dasar negara Pancasila. Di bawahnya terdapat sayap yang menyiratkan kebebasan. Logo Korpri tersebut berwarna emas (atau kuning) sebagai warna paling mulia dan tinggi.
“Logo ini lalu di-batik-kan. Maksudnya bukan batik dalam arti sebenarnya, tetapi dibuat sebagai baju seragam batik printing. Pakaian batik printing ini dipakai sebagai pakaian wajib dalam melaksanakan tugas sehari-hari para PNS,” ujar Mikke.
Baca juga: Gejolak di OSVIA
Anehnya, kata Mikke, setelah mendapatkan sertifikat dan uang jasa pembuatan logo, Aming yang juga PNS sebagai dosen di STSRI Yogyakarta, tidak lagi mendapat peran apa pun. Bahkan, sebagai desainer logo, dia tak mendapatkan pemberitahuan sebelumnya maupun hak kekayaan intelektual atas desainnya.
Aming Prayitno lahir di Surakarta 9 Juni 1943. Dia pernah belajar seni di Koninklijk Akademie voor Schonkunsten di Gent, Belgia pada 1976, dan menyelesaikan studinya di STSRI Yogyakarta pada 1977.
Menurut Mikke, Aming dinilai oleh beberapa ahli sebagai salah satu perupa yang beraliran Lirical Abstraction atau Lirisisme. Aliran ini mulai berkembang di akhir dekade 1960 hingga 1970-an, di antara ramainya perdebatan dan polemik Manifesto Kebudayaan (Universalisme) melawan Manifesto Kerakyatan (Realisme Sosial).
Baca juga: Dari OSVIA Sampai IPDN, Riwayat Sekolah Para Birokrat
Lirisisme, terang Mikke, merupakan karya-karya yang memiliki kualitas dan proses kreatif yang bersifat personal, melahirkan ungkapan-ungkapan yang menitikberatkan pada perasaan dan emosi (liris). Dalam beberapa ungkapan visual terlihat intuitif, imajinatif, dekoratif dan nonformal improvisatoris, serta memiliki dimensi abstrak yang cukup kuat.
Batik logo Korpri zaman Orde Baru menjadi motif batik paling dikenal dibanding motif batik lain. Maklum, batik itu menjadi atribut wajib PNS yang berjumlah ratusan ribu. Batik Korpri sempat surut di era Reformasi. Namun, tak lama kemudian muncul kembali motif batik baru untuk PNS masih menggunakan logo Korpri karya Aming Prayitno.
Aming Prayitno, pelukis yang merancang logo Korpri, meninggal dunia pada 24 Januari 2023.