SUATU hari di bulan Juni 1913, pemerintah Hindia Belanda merencanakan akan mengadakan pesta besar-besaran terkait 100 tahun bebasnya negeri mereka dari penjajahan Prancis. Tentu saja niat itu mendapat penolakan dari sebagian tokoh bumiputera. Salah satunya adalah seorang pemuda bumiputera asal Jawa bernama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (kelak dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantoro).
Dalam koran De Express, 13 Juni 1913, Soewardi menulis sebuah artikel berjudul Als ik een Nederlander ben (Andaikan saya seorang Belanda). Dalam tulisan itu secara kritis Soewardi menyebut orang-orang Belanda yang akan merayakan momen itu sebagai tidak tahu diri karena berpesta atas nama kemerdekaan di atas penderitaan orang-orang yang justru kemerdekaanya sedang mereka tindas.
“…Andaikan saya seorang Belanda, saya tidak akan mengadakan pesta kemerdekaan dalam suatu negeri yang kita tahan kemerdekaanya,” demikian salah satu bunyi tulisan yang membuat pemerintah Hindia Belanda menjadi panas kupingnya.
Baca juga: Ki Hajar dan Sekolah Liar
Tak dinyana. tulisan Soewardi tersebut ternyata menerobos masuk ruang belajar dan kamar-kamar asrama anak-anak OSVIA (Sekolah Calon Pegawai Negeri untuk Kaum Bumiputra Hindia Belanda) Madiun. Bahkan secara blak-blakan, empat siswa OSVIA menolak mentah-mentah merayakan pesta. Akibatnya, mereka dikucilkan dan dipecat sebagai siswa sekolah.
Gejolak solidaritas pun muncul terhadap pemecatan itu, termasuk dari seorang siswa bernama Raden Mas Tumenggung Aryo Soerjo. Dengan mengabaikan sanksi akademis yang siap mengancamnya, Soerjo bersama kawan-kawannya melakukan advokasi dan diam-diam membantu keseharian hidup keempat siswa OSVIA yang dikeluarkan tersebut.
“Mereka pun mengadakan sejenis aksi demonstrasi menuntut agar keempat kawannya itu dipulihkan kembali statusnya sebagai siswa OSVIA,” ungkap Dony Ariotejo, salah seorang cicit dari Soerjo.
Namun, konflik itu ibarat gajah melawan semut. Soerjo dan kawan-kawannya tetap “kalah” dan permintaan mereka agar pemecatan itu dibatalkan tetap tak digubris pihak OSVIA. Bisa jadi kegagalan itu menjadikan kebencian putra seorang pejabat Magetan itu terhadap kolonialisme bangsa Belanda semakin menumpuk. Itu terbukti, sejak kejadian tersebut Soerjo sering bentrok dengan para sinyo Belanda yang kerap menghina kebumiputeraan mereka.
Dikisahkan salah seorang guru Soerjo bernama Sastrohutomo pernah memergoki anak muda Jawa itu tengah membersihkan keris pusaka warisan keluarganya. Ketika ditanya untuk apa dia melakukan hal tersebut, dalam nada yang tenang, Soerjo menjawab pertanyaan Sastrohutomo: “Kangge njagi menawi wonten tiyang ingkang kurang ajar (untuk berjaga-jaga jika ada orang yang kurang ajar terhadap saya),” jawab Soerjo seperti dikisahkan dalam Pahlawan Nasional Gubernur Suryo karya Sutjiatiningsih.
Sastrohutomo mafhum atas jawaban anak didiknya itu. Dia memastikan Soerjo tengah siap-siap bertarung sampai mati dengan para sinyo Belanda yang kerap berlaku kurang ajar dan menghina anak-anak OSVIA.
Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, sang guru lantas melaporkan soal itu kepada orangtua Soerjo. Dengan tergopoh-gopoh, orangtua Soerjo (Raden Mas Wirjosumarto dan Raden Ayu Kustiah) datang langsung ke Madiun menasihati agar Soerjo lebih memikirkan masa depannya ketimbang menuruti gejolak mudanya.
“Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna,” ujar sang ayah.
Soerjo tak pernah membantah apa pun terhadap kedua orangtuanya. Ia yakin orangtuanya pasti memiliki harapan dan maksud yang baik dengan nasihatnya. Hingga hari-hari terakhir di OSVIA, Soerjo bisa menahan gejolak perasaan tidak senang kepada sinyo-sinyo itu. Namun menurut Dony, diam-diam Soerjo memupuk semuanya hingga menjadi butiran kristal patriotisme yang menjadi modal utama kelak saat ia selaku gubernur Jawa Timur ikut memimpin rakyatnya bertempur melawan tentara Inggris dan Belanda di Surabaya pada 10 November 1945.
Baca juga: Tragedi Pembunuhan Ario Soerjo