KENDATI sudah hampir 30 tahun berlalu, momen pahit di SEA Games 1989 Kuala Lumpur masih lekat di benak mantan ratu tenis meja Indonesia Rossy Pratiwi Dipoyanti Syechabubakar. Kala itu, Rossy gagal merebut medali emas di nomor andalannya, tunggal putri. Yang menyakitkan, dia gagal bukan karena kalah “tempur” secara terhormat.
“Final saya itu klimaksnya. Klimaks sudah, dari awal dicurangi terus. Terakhir, saya main dan dicurangi lagi,” ujar atlet kelahiran Bandung 28 Juni 1972 itu kepada Historia.
Semua itu tak lepas dari konflik “abadi” Indonesia-Malaysia. Konflik yang berakar dari penentangan Indonesia terhadap pembentukan Malaysia itu telah menjalar ke berbagai bidang kehidupan. Sentimen negatif rakyat Indonesia maupun Malaysia terhadap negeri “lawan” begitu besar, termasuk di arena olahraga.
Rossy mengalaminya di final tunggal putri tenis meja melawan wakil tuan rumah, Leong Mee Wan, 25 Agustus 1989. Di set pertama, yang dimenangi Rossy 17-16, pertandingan berjalan normal. Namun di pertengahan set kedua, kala suasana kian sengit, wasit Goh Kun Tee asal Malaysia mengeluarkan satu keputusan kontroversial.
“Saat bola pengembalian Mee Wan jatuh di sisi kanannya, Rossy melancarkan forehand drive. Bola berkelebat menyentuh tepi meja sebelum jatuh. (Tapi) Wasit mengangkat tangan kanan memberi angka kepada Mee Wan (dengan keputusan bola out),” tulis suratkabar Kompas, 26 Agustus 1989.
“Padahal bola pukulan saya masuk. Banyak juga yang lihat bahwa bola itu masuk,” kata Rossy.
Manajer tim Indonesia RM Nuryanto langsung memprotes keputusan itu. Rossy hanya bisa menangis histeris dalam dekapan pelatih Diana Wuisan.
Namun, keputusan wasit tuan rumah tak berubah. Alhasil, tim Indonesia memilih mundur sehingga Malaysia menang WO. Rossy pun harus puas membawa pulang dua emas (beregu dan ganda putri), satu perak (tunggal putri), dan satu perunggu (ganda campuran).
“Kalau enggak dicurangi, ya harusnya saya dapat tiga emas,” kata Rossy menutup obrolan.