HARIYANTO Arbi jadi satu dari sekian legenda bulutangkis Indonesia yang turut mengernyitkan dahi kala mendengar kabar Audisi PB Djarum hendak dihentikan mulai 2020. Ia sendiri jebolan PB Djarum dan berkat didikan klub yang lahir di Kudus, Jawa Tengah tersebut ia jadi termasuk eks atlet yang bergelimang gelar dunia.
“Kami tiga bersaudara yg sangat berhutang budi dengan @PBDjarum berkat didikannya Bendera Merah Putih bisa kami kibarkan di manca negara. Sudah 50 tahun tak henti2nya @PBDjarum membina juara2 baru. Tetap semangat PB Djarum demi Indonesia Juara!!” cuitnya di akun Twitter-nya @arbismash.
Darah Olahragawan
Lahir dari keluarga olahragawan pada 21 Januari 1972 di Kudus, langkah Hariyanto lurus mengikuti jejak kedua kakaknya, Hastomo dan Eddy. Hastomo merupakan salah satu atlet binaan PB Djarum angkatan pertama sebagaimana maestro Liem Swie King.
Hariyanto dan kedua kakaknya merupakan putra salah satu jagoan bulutangkis lokal, Ang Tjin Bik. Ang-lah yang memperkenalkan bulutangkis pada Hariyanto dan kedua kakaknya.
Baca juga: Sepuluh Keluarga di Arena Bulutangkis (Bagian II – Habis)
Hariyanto mengikuti jejak Hastomo dan Eddy menseriusi bulutangkis dengan masuk PB Djarum. Ia masuk asrama Kaliputu pada 1982.
“Paling dirindukan ya, kehidupan di asrama. Ada saja kegiatan. Kalau pas enggak latihan, bisa main bola, kadang tenis meja bareng-bareng. Begitu juga tradisi lari ke (bukit) Colo dan Kaliyitno. Lari jaraknya kira-kira 18 kilometer dari asrama,” kata Hariyanto mengenang, kala ditemui Historia di kantor Flypower, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Dalam biografi Hariyanto Arbi, Smash 100 Watt, wartawan senior Broto Happy Wondomisnowo mencatat, kecemerlangan Hariyanto sudah tampak sejak usia pelajar. Saat mengikuti Kejuaraan Pelajar se-Asia di Hongkong pada 1986, ia andil dalam membawa pulang gelar juara beregu. Prestasi Hariyanto dilanjutkan dengan gelar juara Invitasi Bulutangkis Dunia Yunior tiga tahun berselang.
Era 1980-an menandai kemonceran Hariyanto di tingkat yunior. Di era 1990-an, namanya sudah melesat di level senior. Dari yang mulanya kalahan dari para seniornya seperti Joko Supriyanto, Ardy Bernardus Wiranata hingga Eddy Kurniawan, Hariyanto bangkit berkat dorongan mental dari para mentornya di PB Djarum.
“Waktu itu memang sempat ada beberapa pelatih di pelatnas (PBSI, red.) pernah ngomong bahwa prestasi saya sudah mentok. Biasanya yang bisa menguatkan itu orangtua dan klub. Jadi PB Djarum benar-benar membantu saya. Kalau lagi kesepian karena saya enggak ada sepantarannya di asrama PBSI, saya ‘ngungsi’ ke asrama PB Djarum Jakarta,” sambung Hariyanto.
Bayang-Bayang Liem Swie King
Perlahan tapi pasti, Hariyanto bangkit. Ia membuktikannya dengan menggamit gelar All England 1993. Gelar prestisius pertama itu tak pernah lekang dari ingatannya itu ia pertahankan di tahun berikutnya.
“Kalau dulu kan PB Djarum identiknya dengan All England ya. Jadi waktu juara awal All England itu yang membanggakan banget. Jadi kalau zaman dulu kan Liem Swie King patokannya. Kalau sudah juara All England seperti dia, itu sudah luar biasa sekali,” lanjutnya.
Lewat gaya permainannya yang atraktif dengan jumping smash-nya, tak ayal ia mulai disebut-sebut sebagai reinkarnasi Liem Swie King. “Ya saya sih senang-senang saja dibilang mirip Liem Swie King. Karena memang Om Swie King kan idola saya. Dan perjalanan dia untuk mencapai juara All England luar biasa,” tambah Hari.
Semasa belia di kandang PB Djarum di Kudus, ia dibina para pelatihnya macam Arisanto dan Anwari dengan diberi patokan sosok Swie King. “Waktu kecil di tempat latihan, oleh pelatih kita diberitahu bahwa di Djarum ini ada sosok yang luar biasa, Liem Swie King. Bahwa dia kalau latihan enggak mau kalah, disiplin juga. Jadi kita kalau latihan diceritakan itu. Oh, kalau mau bagus ya diarahkannya mengikuti Om Swie King ini.”
Smash 100 Watt
Hariyanto lantas dikenal luas bukan hanya karena gelar-gelar prestisiusnya macam Thomas Cup 1994, dua emas Asian Games 1994 serta Kejuaraan Dunia 1995. Ia juga tenar lantaran senjata mematikannya yang ikonik, Smash 100 Watt, yang membuatnya keluar dari bayang-bayang Swie King.
Dalam biografinya disebutkan bahwa julukan itu mencuat setelah ia ditantang seniornya, Ardy BW, untuk bisa mengalahkan Rashid Sidek di kandangnya pada final Malaysia Open 1993. Tantangan itu pun dijawab Hariyanto lewat perkataan bahwa dia akan mengalahkan Rashid dengan “Smash 100 (berkekuatan) Watt”. Celetukan itu lantas terdengar wartawan Indonesia dan ketika menang, sebutan itu muncul di headline beberapa suratkabar nasional.
Pukulan ikoniknya itu menurut salah satu pelatihnya di PB Djarum, Arisanto, dalam biografinya, dikatakan terinspirasi dari jumping smash Liem Swie King. Namun, Hariyanto tidak membenarkan 100 persen. “Benar bahwa inspirasi salah satunya dari Liem Swie King. Kedua, pelatih saya, Indra Gunawan, menyarankan juga melihat Mas Hastomo. Dia posturnya kecil tapi lompatan smash-nya tinggi. Saya disuruh coba latihan kayak gitu. Seperti menambah skipping, lompat pagar, drilling, latihan shadow/bayangan, banyak prosesnya sampai bisa kayak gitu,” tuturnya.
Baca juga: Hastomo Arbi, Legenda Pertama Hasil Audisi
Alhasil, gerakannya “Smash 100 Watt” tak 100 persen sama dengan jumping smash Swie King. Jika Swie King lazimnya lebih dulu ambil selangkah mundur sebelum melompat, Hariyanto langsung melompat dan melakukan smash keras itu.
Hariyanto menutup kariernya tahun 2000. Enggan mengikuti jejak Hastomo yang masih melatih di PB Djarum, Hariyanto memilih berbisnis peralatan olahraga bersama seniornya Fung Permadi dengan membangun merek Flypower.
Baca juga: Fung Permadi Cemerlang di Formosa
Di balik suksesnya dalam karier dan bisnis, Hariyanto masih menyimpan satu penyesalan. Dari semua gelar yang dibanggakannya, ia kecewa belum pernah menyumbangkan medali olimpiade buat negerinya. Pada Olimpiade 1992 di Barcelona ia tak masuk dalam line-up tim. Di Olimpiade Atlanta 1996, ia disingkirkan wakil Denmark Poul-Erik Høyer Larsen di semifinal 11-15 dan 6-15.
Untuk perebutan perunggu pun ia keok di tangan Rashid Sidek lewat pertandingan tiga set: 15-5, 11-15 dan 6-15. Ia pun gagal menambah pundi medali dari cabang bulutangkis, sebagaimana kelima rekannya: Ricky Subagdja/Rexy Mainaky (emas), Mia Audina (perak), serta Susy Susanti dan Denny Kantono/Antonius Ariantho (masing-masing perunggu).
“Waktu Olimpiade 1996 itu paling pahit. Saya sudah masuk semifinal tapi tidak mendapatkan medali sama sekali. Itu pengalaman yang sangat mengecewakan buat saya. Dulu sebelumnya kan belum ada olimpiade (baru dipertandingkan 1992). Patokan prestis biasanya All England. Setelah ada olimpiade, semua mencita-citakan juara di olimpiade,” tandasnya.