Masuk Daftar
My Getplus

Kala Mia Audina Terpaksa Mendua

Setelah Mia Audina, yang digadang-gadang sebagai calon pengganti Susi Susanti, meninggalkan Indonesia, tunggal putri bulutangkis Indonesia tak punya penerus yang mendunia.

Oleh: Randy Wirayudha | 09 Des 2017
Mia Audina Tjiptawan saat berlaga di Olimpiade Atlanta 1996. Foto: olympic.org

SEJAK Maria Kristin Yulianti merebut medali perunggu di Olimpiade Beijing 2008, publik tanah air belum punya lagi pujian di arena bulutangkis tunggal putri. Prestasi medali emas bulutangkis tunggal putri Olimpiade Barcelona 1992 milik Susi Susanti masih tetap yang tertinggi.

Sejatinya, di era 1990-an ada seorang pebulutangkis muda yang digadang-gadang akan menjadi “The Next Susi Susanti”. Dia adalah Mia Audina Tjiptawan alias Zhang Haili.

Prospek Mia sangat cerah. Ketika usianya belum genap 14 tahun, dia sudah terpilih masuk Pelatnas Cipayung (markas PBSI). Setahun kemudian, Mia terseleksi ke tim Uber Cup 1994 di Jakarta, yang juga diperkuat Susi Susanti.

Advertising
Advertising

“Dia mulai terjun ke kompetisi internasional membawa nama Indonesia sejak 1993 dan memenangi gelar juara dunia (Uber Cup) dengan tim Indonesia pada 1994 ketika dia baru berusia 14 tahun,” tulis P. Markula dalam Olympic Women and the Media: International Perspectives.

Mia menjadi penentu kemenangan Indonesia. Di partai terakhir, dia mengalahkan tunggal putri China Zhang Ning via rubber set 11-7, 10-12 dan 11-4. Itu menjadi gelar Uber Cup kedua Indonesia setelah 1975.

Dua tahun berselang dalam ajang yang sama di Hong Kong, Mia ikut mempertahankan Uber Cup. Prestasi gelar Uber Cup ketiga bagi para srikandi Indonesia yang juga sampai hari ini belum bisa diulangi. Sejak saat itu penampilan Mia kian meroket.

Mia kembali jadi salah satu andalan kontingen Indonesia di Olimpiade Atlanta 1996. Meski tak sebaik Susi di Barcelona empat tahun sebelumnya, Mia pulang ke tanah air mengalungi medali perak. Di tahun yang sama, pada medio Oktober Mia pun merebut titel “ratu bulutangkis dunia” dengan menduduki peringkat 1 IBF (Federasi Bulutangkis Internasional).

Namun, pencapaian pebulutangkis kelahiran Jakarta, 22 Agustus 1979 itu tetap belum bisa membuatnya keluar dari bayang-bayang Susi. Dalam sebuah laga simulasi pun, Susi ternyata masih lebih unggul dari juniornya itu.

“Saya akui, saya masih sulit kalahkan dia. Susi masih bagus dan ulet,” puji Mia setelah simulasi jelang Piala Sudirman dan Kejuaraan Dunia 1997, dikutip Kompas, 26 April 1997.

Sayang, setelah melepas masa lajang dengan pria Belanda Tylio Lobman pada 30 Maret 1999 grafik penampilan dan prestasi Mia perlahan menurun. Meninggalnya sang ibu Lanny Susilawati pada akhir April 1999 tak bisa dipungkiri menjadi penyebab turunnya karier Mia.

Mia sempat absen lama dari pelatnas lantaran ikut pindah suaminya ke Belanda. Di sana, dia sempat mengajukan permohonan untuk tetap berada di skuad PBSI meski berlatih di Belanda, tapi tak berbuah hasil.

“Kalau dia pindah ke Belanda ya harus keluar dari pelatnas. Dia memang maunya begitu (tetap di pelatnas namun latihan di Belanda), tetapi yang namanya organisasi tentu ada aturan mainnya, jadi harus patuh,” ujar Karsono, ketua harian PBSI, sebagaimana dilansir Kompas, 28 Juli 1999. Alhasil, Mia pilih mengundurkan diri dari PBSI.

Di negeri kincir angin, keinginannya untuk bermain masih tinggi. Mia akhirnya “mendua” dengan membela panji Merah Putih Biru.

“Dia mendapatkan kewarganegaraan Belanda dan mulai tampil untuk Belanda pada 2000. Dia memenangi beberapa medali di kejuaraan Eropa dan Dunia. Dia juga sempat mencapai babak perempatfinal di Olimpiade 2000 Sydney,” tulis Markula.

Namun, Mia jarang antusias jika tampil di bawah bendera Belanda dalam beragam kompetisi yang digelar di Indonesia. Kadang dia mengaku tak ingin diikutkan tim, seperti pada ajang Uber Cup 2004 dan 2008.

“Terlalu sensitif. Bagaimanapun saya dulu dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia,” tuturnya dikutip Kompas, 16 Maret 2004.

Toh, taji Mia masih besar. Di Olimpiade Athena 2004, Mia merebut medali perak untuk Belanda. Ini medali perak keduanya. Sebelumnya, dia meraihnya di Olimpiade Atlanta 1996 untuk kontingen Indonesia.

Uniknya, di laga final itu Mia seperti mengalami deja vu karena kembali bertemu Zhang Ning, lawannya di laga penentu Uber Cup 1994. Namun di Olimpiade 2004, giliran Mia yang kalah.

“Aneh rasanya bertemu lagi dalam 10 tahun di final Olimpiade. Saya rasa, hasilnya tergantung pada siapa yang memiliki hari terbaik dan dia yang menang,” tandas Mia dikutip David Miller dalam The Official History of the Olympic Games and the IOC.

Dua tahun kemudian Mia memutuskan mengakhiri kariernya yang menjulang di dua negara. "Ah, itu bukan salah saya. Ada banyak faktor yang membuat saya akhirnya pindah ke Belanda. Saya bisa bilang kesalahan PBSI ada, juga masalah keluarga dengan meninggalnya ibu saya. Dulu PBSI berpikir setelah Kak Susi mundur, saya akan meneruskan tongkatnya,” kata Mia dua tahun sebelum gantung raket.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Lika-liku Sejarah Pipa Bukan Belanda yang Kristenkan Sumatra Utara, Tetapi Jerman Antara Lenin dan Stalin (Bagian I) Situs Cagar Budaya di Banten Lama Pemusnah Frambusia yang Dikenal Dunia Perupa Pita Maha yang Karyanya Disukai Sukarno Musik Rock pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Pasukan Kelima, Kombatan Batak dalam Pesindo Tertipu Paranormal Palsu Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi”