Masuk Daftar
My Getplus

Jalan Berliku Judoka Krisna Bayu

Tiga dekade kiprahnya, Krisna Bayu mengharumkan nama bangsa lewat judo. Namanya melegenda. Kini beralih untuk membesarkan SAMBO.

Oleh: Randy Wirayudha | 19 Des 2019
Setelah 30 tahun meroketkan namanya lewat judo, kini Krisna Bayu mencurahkan perhatiannya membesarkan SAMBO Indonesia (Foto: Fernando Randy/HISTORIA)

TIGA poster olimpiade itu rapi memenuhi salah satu sudut sebuah kantor. Masing-masing poster Olimpiade Atlanta 1996, Olimpiade Sydney 2000, dan Olimpiade Athena 2004. Poster-poster itu “berbicara” banyak tentang sepakterjang legenda hidup judo Indonesia Krisna Bayu.

Kendati sejak 2017 Krisna mengomandoi Pengurus Pusat Persatuan SAMBO Indonesia (PP Persambi), ia tetap tak ingin melupakan dari mana ia berasal (baca: judo). Dari judolah namanya berkibar sebagai satu-satunya judoka Indonesia yang mampu berlaga di tiga pesta olahraga terbesar dunia.

“Saya kan memang selalu orang judo. Tapi kalau mau masuk (kepengurusan) judo atau tidak, itu masalah kesempatan datang atau enggak kepada saya secara organisasi. Selama ini enggak ada yang kasih kesempatan saya untuk membangun, ya enggak apa-apa,” ujar Krisna saat berbincang dengan Historia di kantornya.

Advertising
Advertising

Baca juga: Kisah Fonny Kusumadewi, satu dari 14 pionir atlet Wushu Indonesia

Tanpa mengecilkan prestasi para seniornya seperti Ceto Kosadek, mendiang Untung Putro Setiono atau Pujiawati, kiprah Krisna sejak 1980-an belum ada yang menyamai, apalagi melampaui. Selain satu-satunya judoka Indonesia yang mampu berlaga di tiga olimpiade, prestasi Krisna antara lain peraih medali emas SEA Games 1997, 2001, 2003, 2009; perunggu SEA Games 2011; perunggu Kejuaraan Asia 2004; serta emas Asian Indoor and Martial Arts Games (AIMAG) Bangkok 2009. Mayoritas capaiannya itu diraih di kelas 90kg atau 100kg.

Jelas, di balik prestasi itu ada perjuangan berat dan panjang Krisna sejak merintis kiprahnya.

Judo tak asing di telinga Krisna. Segala hal tentangnya sudah begitu familiar pada Krisna sejak kecil. Maklum, pria kelahiran 24 Desember 1974 itu berasal dari keluarga yang mayoritas berkecimpung dalam olahraga.

“Ayah saya, Amin Pambudi, pelatih judo. Sekarang usia 75 tahun masih aktif melatih di klub. Pernah jadi pelatih kontingen Jawa Tengah di PON (Pekan Olahraga Nasional). Hampir semua di judo. Yang di sepakbola itu cuma satu kakak saya, Gatot (Prasetyo), kiper Persib Bandung. Kakak saya yang lain, Andi Nugroho, ikut melatih di SAMBO. Adik perempuan saya, Lita, juga jadi pelatih judo dan satu lagi adik laki-laki saya melatih tim Kurash di SEA Games kemarin,” terangnya.

Krisna Bayu (kanan) saat masih berlaga mewakili Indonesia di SEA Games 2011 (Foto: Fernando Randy/HISTORIA)

Saat berumur sembilan tahun (1983), Krisna dikenalkan judo oleh ayahnya dengan lebih serius meski dikelilingi keterbatasan. Saat itu pula Krisna memilih judo untuk masa depannya yang tak pernah ia sesali.

“Di kehidupan kecil saya itu banyak problem perekonomian keluarga. Jadi sejak kecil saya diajarkan ayah, bahwa kalau sudah pilih sesuatu, jangan mundur dan terima konsekuensinya. Dari tahun 1983 itu bertahap dari kejuaraan antarklub, antar-pelajar, antar-kabupaten/kota, antarprovinsi, lalu ke ajang-ajang junior daerah, junior nasional, sampai masuk pelatnas judo tahun 1989,” kenangnya.

Nama Krisna mulai dikenal luas saat PON 1993 di Jakarta. “Gue itu dikenalnya 1993, saat gue ngebanting monster-monster (judoka kelas berat, red.). Di PON 1993 itu gue ngebanting Ceto Kosadek yang beratnya 150-an (150kg), sementara gue saat itu beratnya 79kg di kelas bebas. Banyak senior yang kena bantai waktu itu,” sambungnya.

Melawan Penyakit Ayan

Sepanjang hidupnya, Krisna tak melulu bertarung melawan judoka dalam maupun luar negeri. Ia juga mesti bertarung melawan penyakitnya sendiri, epilepsi. Penyakit yang populer disebut ayan itu sudah dideritanya sejak usia sembilan tahun.

“Sangat tinggi pengaruhnya (epilepsi) dalam perjalanan saya. Frekuensi latihan saya begitu beratnya di pelatnas, itu sembilan jam sehari. Ya everytime (setiap waktu) pasti kolaps. Di-bully juga sering dengar kata-kata ‘Ya Bayu kan juara judo tapi penyakitnya ayan.’ Buat saya ya biarin aja lah,” kata Krisna lagi.

Perjuangan berat Krisna itu masih diingat betul oleh Wasekjen Persatuan Judo Seluruh Indonesia (PJSI) periode 1997-2014 Aji Kusmantri. Menurutnya, Krisna berjuang melawan penyakit ayannya tanpa mau ketergantungan pada obat-obatan, di sela-sela kerasnya latihan di pelatnas.

“Krisna sejak awal junior dia memang punya bakat alam. Namun yang jelas anak itu dulu punya penyakit epilepsi. Setiap pertandingan ke luar negeri, kita harus urus surat anti-doping, karena zat obatnya ada yang mirip dengan doping. Tapi memang dia tidak mau tergantung dengan obat. Sampai akhirnya dia bisa lepas sendiri (sembuh, red.),” kata Aji kepada Historia via telepon.

Baca juga: Cerita Ary Sudarsono yang memulai kelegendaannya sebagai wasit basket di Filipina

Kini, Krisna mengaku sudah sembuh dari epilepsi sejak 10 tahun lalu. Cemoohan orang terhadapnya perlahan berganti sanjungan berkat sejumlah prestasinya membanggakan negeri.

“Dulu jangankan dari pihak luar, dari pengurus dan pelatih saja ada yang melecehkan saya. Tapi apa harus kita balas? Kan tidak. Saya enggak pernah merasa down atau putus asa. Ayah saya pun menasihati, lebih baik membalas dengan bukti prestasi. Dari pengalaman saya, artinya Anda tidak boleh dikontrol oleh kekurangan itu. Justru Anda yang harus mengontrol kekurangan itu menjadi kelebihan kita,” ujar Krisna lagi.

Rela Mati di Arena

Dari pengalamannya sepanjang karier sejak 1983 hingga pensiun pada PON 2012 di Riau, tiada yang paling dibanggakannya selain bisa membela Indonesia di tiga olimpiade (Atlanta 1996, Sydney 2000, Athena 2004). Krisna lebih menghargai itu ketimbang koleksi emas di SEA Games. Kendati gagal membawa pulang medali, Krisna bersyukur layak disebut “Olympian” lantaran tak sembarangan judoka bisa tampil di ajang sebesar itu.

Yang takkan pernah dilupakannya, yakni di Olimpiade Sydney 2000. Bersama judoka putri kelas 70kg Aprilia Marzuki, Krisna mewakili Indonesia karena peringkat dunianya berhasil menembus olimpiade. Di babak pertama, Krisna langsung menghadapi judoka Brasil Carlos Honorato di kelas 90kg putra. Walaupun kalah dari Honorato, Krisna masih bisa ikut babak repechage lantaran sempat dapat poin.

“Main pertama ketemu Honorato, saya dibanting. Kepala saya nyungsep, posisi di bawah. Leher saya di sini dan di sini retak,” kata Krisna sambil menunjuk dua sisi samping lehernya.

Krisna Bayu dengan tiga koleksi poster yang dibanggakannya: Olimpiade Atlanta 1996, Olimpiade Sydney 2000 & Olimpiade Athena 2004 (Foto: Fernando Randy/HISTORIA)

Meski cedera parah yang bisa berakibat kematian, Krisna tak ingin berakhir seperti di Olimpiade 1996 Atlanta. Kala itu, Krisna sebagai satu-satunya judoka yang mewakili Indonesia, gugur saat baru sekali tampil di 32 besar kelas 86kg putra. Dia dikalahkan judoka Spanyol León Villar.

“Jauh-jauh dari Indonesia ke Amerika, sekali main kalah. Aduh, rasanya malu minta ampun. Berikutnya (Sydney 2000) saya lebih baik mati dikarungin kantung mayat daripada kalah memalukan. Apapun risikonya. Saat dibanting Honorato, saya berusaha agar enggak langsung ippon (poin sempurna). Jadinya kepala saya duluan yang kena matras. Berat saya dan dia (bedanya, red.) hampir 100, massa bantingan 400 yang menerima leher saya. Coba bayangin,” tambah Krisna.

Baca juga: Nasib legenda balap sepeda Hendrik Brocks yang gagal ke Olimpiade gegara politik

Selepas dibanting Honorato, Krisna masih sanggup berdiri walau mulai berkunang-kunang. Akhirnya Krisna kalah poin, 0001 berbanding 1020 milik Honorato. “Setelah keluar arena, dia sempat jatuh di kamar mandi karena nahan sakitnya itu. Tapi masih mau bertanding. Itu yang saya salut. Dulu dia satu-satunya atlet Asia Tenggara yang sulit dikalahkan memang,” kata Aji lagi.

Raihan poin membuat Krisna berhak ikut babak repechage. Namun cedera membuatnya harus terima kekalahan poin (0100) dari judoka Spanyol Fernando González (1001).

“Setelah kalah, pas masuk kamar mandi, saya jatuh. Sudah enggak sadar. Tahu-tahu saya di rumahsakit. Pas bangun, kondisi leher sudah digips. Pas lihat manajer saya tanya, ‘Oom, masih ada kesempatan main lagi enggak?’ Kata dia, ‘sudah, santai aja. Sudah enggak ada. kamu tenang aja.’ Kalau di situ leher saya patah, wah saya malah bangga. Saya hanya malu kalau sekali main langsung gugur. Buat saya kehormatan bangsa di atas segalanya walau nyawa harus saya berikan,” kata Krisna.

Menakhodai SAMBO Indonesia

Setelah pensiun pada 2012, Krisna lebih banyak berkecimpung di dunia bisnis. Baru pada 2017 ia comeback ke dunia olahraga dengan menjadi ketua umum PP Persambi, bukan di kepengurusan judo alias PJSI yang sudah membesarkan namanya.

“Ya enggak sempat di kepengurusan PJSI karena belum dikasih kesempatan saja. Hak ketumnya mau melibatkan saya atau tidak. Bukan berarti saya meninggalkan judo. Judo is my life. Judo itu artinya membangun watak manusia. Kalau enggak dibutuhkan ya enggak apa-apa, harus sabar dan tetap berdedikasi walau di luar organisasi. Ya makna filosofi judo itu yang saya aplikasikan, tapi orang judo malah memusuhi saya. Kan aneh,” tuturnya.

Semenjak menakhodai SAMBO Indonesia, bersamaan dengan mulai dipertandingkannya SAMBO di Asian Games, Krisna menggulirkan sejumlah program. Antara lain, menerapkan sport science dan sport intelligence.

“Karena kan kalau mau pasang target untuk menang, butuh basis data yang bisa menjelaskan secara rinci. Kita punya database person-to-person semua atlet kita. Kita juga kerahkan wasit-wasit kita sebagai sport intelligence agar bisa melihat dan membaca kekuatan negara-negara lain,” sambungnya.

Hasil dari kebijakannya pun terlihat di SEA Games Filipina 2019. Target satu emas yang dipasang Krisna tak dinyana dilampaui tim SAMBO Indonesia dengan membawa pulang empat emas, satu perak, dan dua perunggu.

Sejak 2017 Krisna Bayu didapuk sebagai Ketum PP Persambi (Foto: Fernando Randy/HISTORIA)

Selain dua hal teknis di atas, menurut Krisna, faktor penting lain yang membuat tercapainya prestasi adalah dia terjun langsung melecut spirit para atletnya sepanjang lima bulan persiapan di Ciloto dan di sejumlah turnamen ajang ujicoba.

“Cara bertarung anak-anak saya (atlet-atlet SAMBO Indonesia) dan semangatnya harus sama dengan saya. Saya bilang kalau hanya perunggu, kamu pasti dapat. Tapi pimpinan kamu ini seorang legenda. Saya enggak mau membina anak-anak pecundang,” ujarnya mengulangi seruannya pada para anak-didik.

Baca juga: SAMBO, Seni Beladiri dari Negeri Tirai Besi

Krisna ingin para anak-didiknya mendapatkan latihan sekeras ketika ia dididik menjadi atlet. Ia tak segan memberi peringatan keras bila ada atlet yang performanya tak memuaskan. Bahkan, Krisna tak segan “main tangan”.

“Begitu ada yang latihan ‘mencla-mencle’, saya pepetin leher dia ke tembok. ‘Kamu ngerti enggak ini duit siapa? Ini kamu makan duit negara! Cara latihan kamu kayak orang kampung. Kayak gini cara kamu bertanggungjawab? Anda mau ngikutin aturan saya atau enggak? Kalau enggak, silakan keluar!’,” ujarnya sambil memperagakan aksi gebrak meja.

Meski Persambi hanya mendapat anggaran Rp1,6 miliar dan Krisna menomboki Rp200 juta, Krisna hanya ingin para atletnya bisa membayar biaya itu dengan prestasi.

“Tapi setelah selesai latihan mereka harus kita rangkul. Harus kita rebut hatinya. Saya kasih motivasi bahwa kalau mau sejajar dengan saya, mereka harus berani dapat emas. Yang dapat perunggu kemarin aja menangis, minta maaf gagal dapat emas. Kalau saja kita dapat anggaran lebih dari Rp1,6 M itu, saya berani targetkan sikat tujuh emas,” tandasnya.

TAG

seni-beladiri atletlegenda seagames sea games olimpiade

ARTIKEL TERKAIT

Mengenal Tang Soo Do dari Cobra Kai Kompak Unjuk Aksi Solidaritas HAM di Podium Olimpiade Demonstrasi Menolak Olimpiade Berujung Pembantaian Kampung Atlet Olimpiade dari Masa ke Masa Kisah Atlet Wanita Jerman yang Ternyata Laki-laki Kontroversi Identias Gender Atlet di Olimpiade Pencemaran Sungai Seine yang Mengkhawatirkan Kemenangan Tak Terduga Atlet Kanada di Olimpiade Los Angeles 1932 Satu Abad Olimpiade Paris Saat Sungai Seine Berwarna Merah