SALAH satu agenda Nikita Khrushchev dalam kunjungan ke Indonesia adalah meninjau proyek-proyek pemerintah. Dalam sebuah kesempatan, Presiden Sukarno mengundang rombongan Khrushchev menyaksikan lokasi rekonstruksi kompleks olahraga. Sebuah stadion dengan atap melingkar menjadi pusatnya.
“Sukarno meminta agar kami membangun stadion di ibu kota negaranya, Jakarta, yang akan menampung ribuan penonton,” kenang Khrushchev dalam memoarnya Memoirs of Nikita Khrushchev: Volume 3.
Pada Februari 1960, proyek itu masih berbentuk maket ketika Khrushchev meninjaunya. Kini, ia menjadi stadion kebangaan milik rakyat Indonesia: Gelora Bung Karno (GBK).
“Ini dibangun oleh spesialis Soviet yang sudah berpengalaman dalam proyek seperti ini,” ujar Khrushchev.
Berdebat dengan Bung Besar
Permintaan itu sebenarnya sudah diajukan bertahun sebelumnya. Setelah gagal mendapat kredit dari Amerika Serikat, Sukarno beralih kepada Uni Soviet. Dalam kunjungan ke Moskow pada 1956, Sukarno melontarkan keinginannya terhadap Khrushchev: pemerintah Indonesia butuh pinjaman untuk pembangunan. Khrushchev menyambut dengan tangan terbuka. Dalam pandangan sang kamerad, Indonesia masih negara terbelakang yang sedang berkembang. Dia lantas menawarkan pinjaman lunak dengan bunga ringan dan dapat dibayar dalam jangka panjang. Negosiasi pun terjalin diantara keduanya.
Di tengah pembicaraan, Krushchev tercengang. Tiba-tiba, hal pertama yang disebut Sukarno adalah keinginan untuk membangun stadion. Dalam memoarnya, Khrushchev mengurai silang pendapat dengan Sukarno.
“Untuk apa anda menginginkannya?” Khrushchev bertanya pada Sukarno.
“Untuk mengadakan demonstrasi publik yang besar,” kata Sukarno.
Khrushchev terkejut dan menyarankan bahwa itu bukan cara yang rasional untuk menghabiskan uang. Dalam hatinya, Khrushchev menganggap pembangunan stadion sebagai permintaan konyol. Namun pada akhirnya, dia dapat memahami alasan di balik keinginan Sukarno untuk membangun stadion.
“Secara umum, dia (Sukarno) lebih suka mengumpulkan kerumunan orang,” kata Khrushchev. “Sepertinya dia selalu membutuhkan penonton, dan karena itu dia butuh panggung besar, dan itu adalah stadion yang pada akhirnya kami bangun."
Dana pembangunan stadion GBK cair pada 1959. Jumlahnya cukup mahal: 12.5 juta dolar. Para insinyur dan teknisi Uni Soviet dilibatkan untuk merancang stadion berkapasitas 110.000 orang itu. Untuk ukuran Asia Tenggara, stadion ini diproyeksikan menjadi yang termegah dan terbesar.
Pembangunan stadion GBK tak luput dari kritik di dalam negeri. Pasalnya, proyek ini ditengarai sebagai ambisi pribadi dari Presiden Sukarno pada saat kesejahteraan rakyat masih terbilang sulit. Dalam otobiografinya, Sukarno mengakui banyak orang yang menganggap dirinya menghambur-hamburkan harta rakyat.
“Ini semua bukanlah untuk kejayaanku, semua ini dibangun demi kejayaan bangsa. Supaya bangsaku dihargai oleh seluruh dunia,” kata Sukarno dalam otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.
Walhasil pembangunan stadion yang berasal dari kucuran dana Uni Soviet cukup memuaskan Sukarno. Kota-kota lain, menurutnya, boleh jadi punya stadion yang lebih besar, tapi tak satu pun yang mempunyai atap melingkar seperti yang ada di ibu kota Indonesia.
“Ya, memberantas kelaparan memang penting, akan tetapi memberi makan jiwa yang telah diinjak-injak dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggan mereka--ini pun penting,” ungkap Sukarno.
Stadion GBK mulai dibuka dan diresmikan pada tahun 1962. Ia menjadi saksi perhelatan olahraga terbesar se-Asia. yaitu Asian Games pada tahun itu juga. Setahun kemudian, pentas olahraga bertaraf internasional yakni GANEFO (Games of the New Emerging Forces) pun digelar di sana. Selain untuk kegiatan olahraga, Stadion GBK pun acapkali menjadi pusat rapat-rapat akbar, gelanggang bagi Sukarno mengumandangkan pidato-pidatonya.
* Tulisan ini direvisi pada 21 Februari 2018 pukul 14.15 WIB.