Di teras rumahnya di kawasan Ampel, Kota Surabaya, Muhammad Chotib menyambut hangat kedatangan Historia. Mengenakan kaos polo dan sarung, pria paruh baya itu lalu mempersilakan masuk.
Tembok ruang tamunya yang bercat biru diramaikan bingkai-bingkai foto. Sebuah lukisan menyelip di antara kumpulan foto itu. Dari sekian banyak foto di dinding itu, foto dua orang paruh baya paling menyolok. Salah satu pria dalam foto tersebut merupakan figur yang amat populer, yakni Jenderal (Purn.) Abdul Haris Nasution atau yang biasa disapa Pak Nas.
“Itu saya lupa tahunnya. Ada satu kesempatan ayah saya ke Jakarta, sewaktu ingin mengurus tunjangan veterannya. Ketemu Pak Nas di rumahnya,” kata Chotib menjelaskan foto tersebut.
Duduk di sofa hitam ruang tamu itu, Chotib lalu menceritakan lebih lanjut siapa ayahnya, yang ternyata turut terlibat dalam sebuah peristiwa yang berujung pada pertempuran dahsyat di Surabaya, 10 November 1945.
Baca juga: Bagaimana Akhir Pertempuran Surabaya?
Abah (ayah) saya H. Abdul Azis. Di daerah Ampel sini dikenalnya Haji Azis Endog karena dulu ibu saya satu-satunya yang jualan endog (telur) di Ampel. Dia pejuang tulen, enggak neko-neko orangnya. Kumpulannya saat revolusi ya bareng pentol-pentolnya (orang-orang besar) asli Surabaya, seperti Doel Arnowo, Achijat Alap-Alap, Wirontono,” ujarnya.
Pertempuran 10 November dipantik oleh kematian seorang perwira tinggi Inggris, Brigadier Aubertin Walter Sothern Mallaby, pada 30 Oktober 1945 di depan Gedung Internatio. Chotib meyakini ayahnyalah yang dengan pistolnya menembuskan timah panas ke arah Mallaby hingga tewas.
Kejadiannya berlangsung petang hari. Suasana di sekitar Internatio amat ricuh meski sebelumnya Presiden Sukarno, sebagaimana dilansir Kronik Revolusi Indonesia I: 1945, sudah menyepakati penghentian tembak-menembak antara Inggris sebagai perwakilan Sekutu dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan unsur-unsur pemuda serta rakyat.
Mallaby bersama rombongan Biro Kontak Indonesia serta para pemimpin Surabaya, seperti Residen Soedirman dan Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Doel Arnowo, merapat ke Internatio selepas dari Lindeteves untuk memberi penjelasan penghentian kontak senjata.
Baca juga: Pemuda di Balik Senjata Berat dalam Pertempuran Surabaya
Tapi ketika rombongan sudah masuk gedung, Mallaby berada di dalam mobil lantaran para pemuda Indonesia menghendaki perunding Inggris diwakili perwira muda (Kapten Shaw). Tiba-tiba, lemparan granat muncul dari dalam gedung. Suasana yang tenang sontak kembali ramai oleh letusan senjata dari luar gedung.
Begitu baku tembak itu reda, sekira pukul 20.30 malam, Mallaby melihat keadaan dengan melongok dari dalam mobil. Abdul Azis yang tergabung di Pemuda Rakyat Indonesia (PRI) langsung menghampiri mobil yang ditumpangi Mallaby dan dua perwira Inggris lain lalu melepaskan tembakan.
“Seorang Indonesia datang ke jendela (dekat, red.) Brigadir dengan senapan. Dia melepaskan empat tembakan ke kami bertiga,” tulis Kapten RC Smith, yang ada di mobil itu, dalam laporannya yang dikutip JGA Parrott dalam “Who Killed Brigadier Mallaby”, dimuat di Jurnal Indonesia 20 Oktober 1975. “Butuh waktu 15 detik hingga setengah menit bagi Brigadir untuk benar-benar tewas.”
“Jadi setelah itu dia lapor ke Cak Doel Arnowo. ‘Wes Cak. Wes tak beresno! (Sudah cak, sudah saya bereskan!’,” tutur Chotib menirukan cerita ayahnya saat melapor ke Arnowo.
“’Apane diberesno? Sing Iku (Mallaby)? Ngawur ae kon! (Apanya yang dibereskan? Yang itu (Mallaby)? Ngawur saja kamu!’ Lha ya kena marah dia (Abdul Azis) sama Doel Arnowo,” sambung Chotib.
Meski hingga kini hanya segelintir orang yang mengetahuinya, keterangan Chotib diyakini otentik oleh peneliti sejarah yang juga pendiri Roodebrug Soerabaia, Ady Erlianto Setyawan. “Klaim (Abdul Azis) itu relatif kuat,” kata Ady saat dihubungi Historia. Penulis buku Benteng-Benteng Surabaya dan Surabaya: Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu? itu yakin lantaran klaim Abdul Azis via penuturan Amak Altuwy, jurnalis keturunan Arab yang juga saksi mata, itu diutarakan saat para pelaku Pertempuran 10 November masih hidup.
Baca juga: Bintang Perang Pertempuran Surabaya
“Kalau dia (klaim Abdul Azis) bohong, pasti tokoh-tokoh macam Ruslan Abdulgani yang juga ada di TKP saat Mallaby terbunuh akan buka suara. Dan orang selevel Brigjen Barlan Setiadijaya enggak akan memasukkan kisah itu ke dalam buku dia (10 November 1945: Gelora Kepahlawanan Indonesia) yang isinya studi tentang pertempuran Surabaya yang sangat-sangat komprehensif,” tandas Ady.
Doel Arnowo memerintahkan Azis tutup mulut soal penembakan itu. “Bukan karena takut dianggap penyebab Pertempuran Surabaya, tapi karena memang sudah janjinya pada Doel Arnowo untuk tidak bicara soal itu,” tambah Chotib yang kini ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Ampel itu.