SETELAH tentara Jepang menyerah kalah pada 15 Agustus 1945, kawasan pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya dikuasai para pendukung Republik Indonesia. Sekitar 25 Oktober 1945, terlihatlah kapal AL Inggris selaku wakil Sekutu di perairan Surabaya.
Pemerintah pusat yang masih di Jakarta menyetujui pendaratan tentara Sekutu. Menurut Moehkardi dalam Peran Surabaya dalam Revolusi Nasional 1945, pemerintah pusat meminta pemerintah RI di Surabaya membantu tugas-tugas tentara Sekutu dalam melucuti tentara Jepang, memulangkan tentara Jepang ke negeri, dan menjaga keamanan dan ketertiban.
Baca juga: Detik-Detik Menjelang Surabaya Dibombardir
Meski pemerintah pusat berharap orang-orang Indonesia mau bekerjasama dengan tentara Sekutu yang sangat kuat itu, rasa tidak suka “arek-arek” Surabaya kepada tentara Sekutu terlihat jelas. Jika di Jakarta tentara Inggris masih merasakan keramahan, di Surabaya tidak. Mereka tampak tak ingin berurusan dengan penguasa asing.
“Sikap penduduk Indonesia yang acuh tak acuh namun penuh kewaspadaan,” aku Kapten PRS Mani dalam Jejak Revolusi 1945: Sebuah Kesaksian Sejarah.
Sebagai pemenang Perang Dunia II yang ingin melucuti tentara Jepang dan menegakan kekuasaan negara-negara sekutunya, militer Inggris keukeuh untuk mendarat di Surabaya. Semakin cepat pasukan mereka berada di daratan, keadaan Surabaya dengan cepat bisa mereka kuasai. Angkatan Darat Inggris yang hendak memasuki Surabaya itu adalah brigade tempur yang personelnya orang-orang India. Komandan mereka Brigadir AWS Mallaby.
Baca juga: Lelaki Pencabut Nyawa Mallaby
“Sebelum pendaratan dilakukan dua pembesar Inggris (militer) datang ke kantor dok memberitahukan bahwa sebuah kapalnya mengalami kebocoran, untuk perbaikan kapalnya ia minta izin untuk dokking,” aku Kaderi Kandhi Koyohardjo dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan II.
Meskipun militer Inggris ingin kapalnya naik dermaga untuk perawatan dan perbaikan, pengelola dok yang ikut republik tak berani sembarangan memberi izin. Mereka berkonsultasi dulu dengan Gubernur Jawa Timur Raden Panji Suryo, Walikota Surabaya Doel Arnowo, dan pemimpin Marine Keamanan Rakyat Laksamana Atmadji. Setelah diadakan rapat, akhirnya kapal Inggris itu disetujui masuk dok dengan catatan harus membayar ongkos perbaikan.
Baca juga: Gubernur Soerjo di Palagan Surabaya
Kapal Inggris yang bocor itu ternyata muatannya cukup berat. Muatan kapal Inggris itu ternyata mengejutkan pihak Indonesia. Sebelum naik ke dok, kapal itu menurutkan muatannya: panser, tank, meriam dan, truk-truk pengangkut personel.
Dengan mendaratkan alat-alat perang berikut operator dan personel pendukungnya itu, tentara Inggris mulai menusuk masuk ke Surabaya. Panser dan tank mereka tentu saja bisa memblokir kawasan pelabuhan sehingga mereka tidak terganggu oleh orang-orang Indonesia yang tidak menginginkan mereka.
Baca juga: Pasukan Meriam dalam Pertempuran Surabaya
Setelah pelabuhan mereka kuasai pada 26 Oktober 1945, kapal-kapal Inggris yang lain bisa merapat dan menurutkan muatan. Personel, peralatan, dan logistik. Kekuatan Inggris di Surabaya pun bertambah. Setelah pendaratan itu, pada 27 Oktober 1945, pertempuran meletus antara tentara Inggris –yang ingin menduduki bangunan-bangunan vital di Surabaya– dengan orang-orang Indonesia. Sejak Inggris memakai “alibi kapal bocor” hingga 10 November 1945, antara pemuda Indonesia dengan tentara Sekutu sudah tegang.
“Sungguh kita tertipu dengan siasat militer Inggris dalam usaha mendaratkan tentaranya pertama kali di daerah Pelabuhan Tanjung Perak,” aku Kaderi.*