NATAL tahun 1948 agaknya hampir pasti dilewatkan oleh Prajurit Akuluhiluh dan rekannya Alfred Lapian. Tugas penting ke Yogyakarta telah menanti kedua prajurit berbaret hijau tersebut beberapa hari sebelum Natal.
Akuluhiluh maupun Alfred merupakan serdadu pasukan elite Korps Speciale Troepen (KST). Pelatih KST terkenal adalah Kapten Raymond Paul Pierre Westerling, yang –sempat juga memimpin KST– terkenal sebagai “Jagal” Sulawesi Selatan dan pemimpin Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung.
“Sebagai bagian dari KNIL ada ‘pasukan-pasukan khusus’, komando-komando yang jumlahnya tidak pernah lebih dari seribu, tetapi mempunyai arti yang sangat penting, yaitu pasukan Depot yang kemudian menjadi Depot Speciale Troepen/Korps Speciale Troepen (DST/KST). Berbeda dengan angkatan bersenjata bagian Belanda, pasukan KNIL termasuk DST/KST di segi etnis beragam, setidaknya mereka yang berpangkat rendah,” tulis Gert Oostindie dkk. dalam Serdadu Belanda di Indonesia, 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah.
Baca juga:
Murid Westerling Tumbang di Jogja
Akuluhiluh tinggal di tangsi KST yang terletak di Purabaya, Batujajar, Cimahi, Jawa Barat. Dia satu dari ratusan anggota KST di sekitar Bandung. Arsip OGS menyebut, dia berasal dari Ambon, Maluku. Nomor stamboeknya sebagai anggota KNIL adalah 24714127. Pangkatnya adalah prajurit kelas satu. Keluarganya juga tinggal di tangsi Purabaya.
Di tangsi itulah Akuluhiluh punya teman bernama Alfred Lapian, yang berasal dari Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara. Keduanya sama-sama prajurit rendahan. Alfred yang kelahiran 11 Maret 1927 lebih muda dari Akuluhiluh. Sudah tentu Akuluhiluh juga punya kawan yang berasal dari Belanda.
Namun, “kehangatan” kehidupan sosial di tangsi terpaksa mereka tinggalkan dulu. Sebelum Natal 1948, Alfred dan Akuluhiluh diikutkan dalam sebuah misi besar. Mereka diberangkatkan ke Semarang. Sekitar 15 Desember 1948, ketika mereka tiba di Semarang, keadaan cukup tenang bagi militer Belanda.
Baca juga:
Murid Westerling Tewas di Parepare
Jelang pagi 19 Desember 1948, kompi-kompi KST disiapkan untuk naik pesawat Dakota. Setelah terbang sebentar dari Semarang, pesawat yang membawa KST itu mendarat di Maguwo, pinggiran kota Yogyakarta. Pesawat itu bisa mendarat tanpa gangguan setelah pasukan para baret merah yang sebelumnya terjun payung berhasil merebut bandara tersebut.
Setelah keluar pesawat, Akuluhiluh dan Alfred naik jip militer –yang juga keluar dari pesawat– ke dalam kota Yogyakarta. Misi mereka yakni menduduki Yogyakarta yang merupakan ibukota Republik Indonesia.
Dalam hitungan jam, pasukan tersebut sudah mencapai istana Presiden Sukarno, Istana Gedung Agung, di selatan Malioboro. Mereka berhasil menduduki ibukota RI dan mengasingkan para pejabat, termasuk Presiden Sukarno, ke dua tempat di Sumatra. Setelah misi berhasil, pasukan para Belanda itu keluar Yogyakarta, sedangkan pasukan baret hijau sebagian ada yang bertahan.
Baca juga:
Mayor Belanda Tewas di Parepare, Westerling Ngamuk
Esoknya, 20 Desember 1948, sepasukan KST bergerak ke sebuah daerah yang disebut Kampung Salem. Pergerakan KST ke situ untuk operasi pembersihan terhadap sisa-sisa tentara RI yang jumlahnya masih banyak dan ingin bergerilya meski ibukota sudah diduduki dan para pejabatnya ditangkapi. Dalam operasi di Kampung Selam itu, Kopral Johannes Josephus Petrus van der Made, yang berusia 32 tahun, terbunuh.
Pada hari yang sama dengan kematian Kopral Johannes, Akuluhiluh sedang berjuang antara hidup-mati. Dia tertembak dalam operasi pendudukan Yogyakarta sehari sebelumnya. Akuluhiluh langsung dibawa ke Semarang dan mendapat perawatan medis di RS Juliana (kini RS Bhakti Wira Tamtama). Hari penyerbuan Yogyakarta, yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II, ternyata menjadi hari terakhir Akuluhiluh sadar. Pada 20 Desember 1948, ajal menjemputnya.
Selang sehari kemudian, 21 Desember 1948, satu korban jatuh lagi dari KST di Kampung Salem. Kali ini, Prajurit Alfred Lapian, kawan Akuluhiluh. Dia tertembak, namun bukan oleh lawan melainkan oleh kawannya (friendly fire). Alfred dengan segera dibawa ke rumahsakit Petronella (RS Bathesda) Yogyakarta. Alfred juga tak tertolong. Dia meninggal dunia ketika usianya masih 22 tahun. Seperti Akuluhiluh, Alfred juga kemudian dimakamkan di Ereveld Candi, Semarang.*