Masuk Daftar
My Getplus

Jenderal Ambon Generasi Pertama di TNI

Orang Ambon menjadi serdadu kolonial sebagai jalan keluar dari kemiskinan. Beberapa orang Ambon kemudian menjadi jenderal di TNI.

Oleh: Petrik Matanasi | 15 Des 2022
Mayjen TNI Leo Lopulisa (kanan) dan Mayjen TNI Solichin GP setelah melapor kepada Menhankam/Pangab Jenderal TNI M. Panggabean. (Perpusnas RI).

Ambon kerap merujuk pada Maluku Tengah atau Lease. Dulunya orang Ambon penganut Alifuru. Islam dan Kristen kemudian datang pada abad ke-15. Meski sudah menganut Kristen dan Islam, pengaruh Alifuru masih tetap hidup dalam masyarakat.

Orang-orang kepulauan Ambon, dengan perairannya yang tak pernah tenang, dikenal pemberani sejak dulu hingga kini. Saat ini sebagian orang Ambon dikenal sebagai penagih utang yang gigih. Mereka adalah orang-orang yang siap bertarung.

“Orang Ambon baru sibuk bilamana ia sendiri, keluarganya, atau teman-temannya terancam, dan bersikap spontan tanpa memahami permasalahannya dahulu dalam mengambil keputusan,” kata Ernest Utrecht dalam Ambon: Kolonisatie, Dekolonisatie en Neo-kolonisatie. Ini kenapa orang Ambon rawan dijadikan korban politik. 

Advertising
Advertising

Orang Ambon Jadi Serdadu

Keberanian orang Ambon membuat mereka direkrut jadi tentara kolonial sejak dulu. Setidaknya dari zaman Kapitan Jonker masih muda sekitar abad ke-17. I.O. Nanulaitta dalam Timbulnja Militerisme Ambon: Sebagai Suatu Persoalan Politik Sosial-Ekonomis menyebut Jonker “adalah spiritual hero mereka. Ia menjadi contoh bagi mereka dan ia adalah impian keberanian dan kesetiaan seorang militer Ambon. Kapitan itu pelindung mereka dalam marabahaya.”

Menurut Thamrin Ely dalam Mutiara No. 269, 26 Mei–8 Juni 1982, mulanya masyarakat Ambon adalah petani, tetapi kemudian penghidupan pertaniannya dimatikan. Pemiskinan orang Ambon di era perdagangan rempah-rempah membuat jadi serdadu menjadi jalan keluar dari jurang kemiskinan. Apalagi setelah 1830 dengan munculnya tentara kolonial yang belakangan dikenal sebagai Koninklijke Nederlandsche Indische Leger (KNIL).

“Kegiatan menjadi serdadu ini di Maluku disebut Teken Soldadu (tekensooldij),” tulis Thamrin Ely. Serdadu Ambon yang sedang mudik biasanya menjadi ajang promosi profesi tentara.

Baca juga: Mantan KNIL yang Menolak Masuk TNI

Menurut R.P. Suyono dalam Peperangan Kerajaan di Nusantara, setidaknya pada 1916 terdapat 4.000 orang Ambon dari total 30.402 serdadu KNIL. Orang Ambon dan Manado kalah banyak dari orang Jawa.

Pendekatan kolonialis Belanda selalu berbeda dalam mendekati dan mengekploitasi suku-suku di Indonesia. Begitu pula terhadap serdadu Ambon berbeda dengan serdadu Jawa yang biasa dibayar murah.

Serdadu Ambon yang bersemangat cukup disayang pemerintah kolonial Belanda dalam hal fasilitas. Beberapa serdadu Ambon di KNIL menerima bintang ksatria Militaire Willemsorde.

Kedekatan orang Ambon dengan Belanda membuat mereka tidak beruntung setelah 1942. Tentara Jepang tidak mempercayai mereka. Begitu juga milisi Indonesia yang kurang berpendidikan kerap mencurigai mereka sebagai antek Belanda.

Baca juga: Bintang untuk Anggota KNIL Sanin

Sehingga banyak orang Ambon menjadi sasaran persekusi tanpa alasan jelas dalam periode kekerasan yang disebut orang Belanda sebagai Masa Bersiap. Banyak yang terbunuh setelah tentara Sekutu mendarat di kota-kota pelabuhan di Indonesia setelah September 1945.

Kabar orang Ambon yang dibunuh di kota-kota bagian barat membuat pemuda-pemuda di kepulauan Ambon mendaftarkan diri untuk memerangi orang Indonesia di Jawa dengan menjadi anggota KNIL. Begitu yang diingat Johannes Dirk de Fretes dalam Kebenaran Melebihi Persahabatan.

Beruntunglah, meski polisi Republik Indonesia tak mampu menindak pelaku persekusi orang-orang Ambon, masih ada orang-orang Ambon yang mendukung Republik Indonesia. Sebutlah pemuda Leo Lopulisa atau Herman Pieters yang bertaruh nyawa melawan tentara Belanda.

Setelah pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949, banyak anggota KNIL membuat keonaran di Bandung dalam peristiwa APRA, peristiwa bioskop Rex di Malang, peristiwa Andi Azis di Makassar, dan tentu saja Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon. Mereka tampak tak bisa lupa atas persekusi orang Ambon pada 1945–1946 serta hanya percaya kepada Belanda untuk berkuasa di Indonesia atau Maluku daripada Republik Indonesia.

Baca juga: Bangsawan Jawa Memilih KNIL

Sekali lagi beruntunglah Republik Indonesia. Masih banyak bekas KNIL berdarah Ambon yang rela masuk Angkatan Perang Republik Indonesi Serikat (APRIS) pada 1950. Republik Indonesia mendapatkan Julius Tahija (1916–2003), Josef Muskita (1924–2006), dan Jacob Julius Sahulata (kelahiran 1920). Keahlian ketiganya membuat mereka jadi perwira.

Letnan Kolonel Julius Tahija tidak lama di TNI. Ia kemudian bekerja di Caltex lalu Freeport dan terus mengasah jiwa bisnisnya hingga menjadi pemilik Bank Niaga. Kapten Josef Muskita, yang ketika di KNIL belajar di Sekolah Perwira Infanteri Cadangan di Bandung, menjadi perwira operasi andalan TNI AD. Sementara Julius Sahulata, yang di KNIL adalah letnan cadangan bagian perhubungan, masuk Angkatan Laut.

Pada 1950-an, Herman Pieters adalah perwira Ambon yang paling bersinar di TNI. Buku Riwayat Hidup Anggota-anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Hasil Pemilihan Umum 1971 menyebut lelaki kelahiran tahun 1924 ini setelah tahun 1955 menjabat Komandan Resimen Infanteri ke-25 di Maluku.

Orang Ambon Jadi Jenderal

Biasanya orang dari daerah yang bergolak karena adanya “negara pemberontak” kariernya di tentara agak sulit. Mencapai pangkat jenderal atau pengisi jabatan puncak TNI sulit bagi orang-orang dari Ambon atau Manado di tahun 1960-an. Namun, Herman Pieters adalah orang Ambon pertama yang menjadi panglima dalam TNI.

Setelah 1958, Herman Pieters menjabat Panglima Kodam XV Pattimura pertama yang membawahkan kepuluan Maluku. Sayangnya, pangkat militernya di TNI AD mentok di kolonel pada 1960-an dan tak pernah beranjak ke Brigadir Jenderal. Ia adalah perwira TNI Ambon yang cukup disayangi di Maluku. Belakangan ia menjadi anggota DPR.

Josef Muskita memang tak pernah jadi panglima. Perwira operasi TNI sejak zaman melawan RMS ini mungkin hanya jenderal staf, tapi ia diandalkan oleh Kepala Staf TNI AD Letnan Jenderal TNI Ahmad Yani.

“Setelah menempati berbagai jabatan kepercayaan, maka pada usia 40 tahun saya menerima kenaikan pangkat menjadi Brigjen dari Presiden Sukarno dan pada usia 43 tahun saya peroleh pangkat Mayjen dari Presiden Soeharto,” kata Muskita dalam Aku Ingat. Jadilah Muskita orang Ambon pertama jadi jenderal.

Baca juga: Ahmad Yani Berkelahi Dibantu Kopral KNIL

Julius Sahulata yang mulanya di bagian perhubungan Angkatan Laut, akhirnya masuk ke Korps Komando. KKO sejak lama dikenal sebagai pasukan pendarat Angkatan Laut yang kini disebut Korps Marinir. Mulanya KKO dipimpin seorang mayor pada awal 1950-an dan awal 1960-an diperbesar.

Hingga pertengahan 1960-an barulah Sahulata menjadi Brigadir Jenderal KKO. Menurut buku Riwayat Hidup Anggota-anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Hasil Pemilihan Umum 1971, ia pernah menjadi Kepala Staf KKO ketika Komandan Jenderal KKO dipegang oleh Mayor Jenderal TNI Hartono. Seperti Herman Pieters, Sahulata pada awal Orde Baru juga menjadi anggota DPR.

Sejak akhir 1965, Leo Lopulisa (kelahiran Bandung tahun 1926) adalah Kepala Staf Kodam Bukit Barisan. Kala itu, pangkat Panglima Kodam biasanya Brigadir Jenderal. Sedangkan Kepala Staf biasanya Kolonel. Baru pada 1969, Leo resmi menjadi Panglima Kodam Bukit Barisan. Leo pun jadi Brigadir Jenderal di usia 42 tahun.

Baca juga: Tinggi Badan Pas-Pasan Tapi Jadi Jenderal

Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat mencatat, setelah jadi Panglima Kodam hingga 1971, Leo dijadikan Asisten Operasi Kepala Staf TNI AD (KSAD) hingga tahun 1975. Dengan jabatan itu, Leo setidaknya melayani KSAD Umar Wirahadikusumah, Surono Reksoatmodjo, dan Makmun Murod.

Dalam sejarah jenderal Ambon, Leo adalah orang Ambon pertama yang menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Ia mengisi jabatan itu dari Januari 1975 hingga Januari 1978. Pada masanya Indonesia melakukan invasi ke Timor Timur.

Leo Lopulisa boleh kesal oleh invasi itu. Menurut David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba Rezim Militer Indonesia 1975–1983, Leo sedang di Paris ketika invasi terjadi bahkan tak diajak bicara soal kesiapan pasukan serta rencana invasi itu.

“Saya cuma sekadar komandan upacara penguburan jenazah. Hanya itu, saya tidak dilibatkan. Saya hanya bertugas bagi mereka yang tidak akan kembali lagi,” kata Leo Lopulisa seperti dicatat Jenkins.

Baca juga: Jenderal yang Ditolak Jadi KSAD

Leo Lopulisa bukan jenderal Ambon terakhir di TNI. Tiga dekade setelah Leo ada lagi jenderal Ambon yang melampauinya, yakni Jenderal TNI George Toisutta (1956–2019) yang menjadi KSAD dari 2009 hingga 2011. Ia adalah KSAD pertama berdarah Ambon.

Di zaman Orde Baru, ada Leo yang lain selain Leo Lopulisa di ABRI. Namanya Leonardus Willem Johanes Wattimena (1927–1976). Penerbang jet pertama bersama Rusmin Nurjadin ini dikenal sebagai Leo Wattimena. Setelah sebagai kolonel dalam Operasi Mandala Trikora pada 1963, ia menjadi Komodor yang setara dengan Brigadir Jenderal.

Leo Wattimena adalah penerbang lulusan TALOA Amerika bersama Sri Mulyono Herlambang dan Omar Dani. Sebelum masuk AURI pada 1950, Leo menghabiskan masa mudanya dengan sekolah dan bekerja sebagai buruh kantoran di derah pendudukan Belanda.

Leo Wattimena adalah jenderal berdarah Ambon pertama di TNI AU. Komodor Leo Wattimena pernah menjadi Panglima Komando Operasi AURI (1963) lalu Panglima Komando Pertahanan Udara (1966).*

TAG

knil tni

ARTIKEL TERKAIT

Gugurnya Arung Rajang Ibu dan Kakek Jenifer Jill Siapa Penembak Sisingamangaraja XII? Sejarah Prajurit Thomas Nussy versus Anak Cik Di Tiro Hukuman Penculik Anak Gadis Dulu Para Sersan Berserikat Pengawal Raja Charles Dilumpuhkan Orang Bali Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Setelah Gerard van Daatselaar Ditawan