Di Pelabuhan Ratu, latihan penyerbuan dari laut itu berlangsung tegang. Dalam skenario, para siswa peserta pelatihan dengan menggunakan beberapa perahu karet akan melancarkan penyerangan ke arah sebuah lapangan udara di muara Sungai Cimandiri. Namun saat tiba di tengah lautan, mendadak mereka disiram dengan peluru-peluru senapan mesin. Siapa gerangan yang melakukan manuver berbahaya tersebut? Tak lain dan tak bukan, dia adalah Mayor Mochammad Idjon Djanbi, instruktur utama mereka.
Yang mengagumkan, kendati peluru-peluru tajam itu ditembakan dari darat ke laut dalam situasi gelap gulita namun tetap terukur sehingga tak seorang prajurit pun terluka. “Kami hanya menyaksikan peluru-peluru itu jatuh tak lebih satu meter jaraknya dari perahu kami” kenang Marzoeki Soelaiman (89), salah seorang prajurit yang ikut dalam latihan tersebut.
Selain penyerangan dari laut, sebelumnya para siswa pelatihan pasukan khusus itu dibekali juga dengan pengetahuan survival, perang hutan, membaca gelombang, belajar mendayung secara efektif dan melancarkan penyerangan senyap
“Idjon benar-benar membentuk kami sebagai prajurit komando yang tangguh dan teruji di berbagai medan,” ungkap Marzoeki kepada Historia.
Obsesi Lama
Panglima operasi penumpasan RMS (Republik Maluku Selatan) Kolonel A.E.Kawilarang tak pernah bisa melupakan musuhnya. Sebagai orang militer, dirinya merasa kagum dengan pergerakan para prajurit eks anggota RST (Resimen Pasukan Khusus KNIL) tersebut.
“Mereka mampu berpindah ke sana ke mari untuk mengacau kedudukan musuh,” ungkap Kawilarang kepada penulis Julius Pour dalam buku Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan
Menurut Kawilarang, keleluasaan dalam mobilitas itu bisa dilakukan karena kekuatan eks pasukan Baret Hijau dan Baret Merah itu kekuatannya sangat ramping: hanya terdiri dari beberapa unit kecil. Kendati demikian, secara individu mereka terdiri dari prajurit-prajurit yang memiliki ketrampilan tempur yang mumpuni terutama dalam pergerakan senyap.
Ketika berdiskusi dengan Letnan Kolonel Slamet Rijadi, koleganya dari Jawa Tengah yang juga terlibat dalam penumpasan RMS, soal itu sempat menjadi perbincangan serius. Kedua perwira kharismatik tersebut sama-sama sepakat bahwa suatu hari militer Indonesia harus memiliki sejenis kesatuan seperti itu.
“Sayangnya, sebelum obsesi itu terwujud, Letnan Kolonel Slamet Rijadi keburu gugur, ditembak brengun musuh di palagan Maluku Selatan,” ujar Julius Pour.
Dua tahun Kawilarang memendam mimpinya memiliki sebuah kesatuan pasukan komando. Hingga pada awal 1952 saat dirinya diangkat sebagai Panglima Tentara Teritorium III Siliwangi (kemudian berubah menjadi Komando Daerah Militer III Siliwangi), ia berkesempatan mewujudkan obsesinya tersebut menyusul semakin mengganasnya para gerilyawan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan S.M. Kartosoewirjo di wilayah Jawa Barat.
Rekrut Eks Perwira KST
Langkah pertama yang dilakukan Kawilarang adalah berdiskusi dengan Mayor Soewarto, salah satu staf kepercayaannya. Dari perbincangan itu lantas muncul nama Roden Barendrecht Visser, seorang Belanda kelahiran Kanada yang pernah menjadi anggota pasukan KST (Korps Pasukan Khusus Angkatan Darat Kerajaan Belanda).
Visser merupakan prajurit pasukan khusus yang pernah dididik para komando Inggris. Pada September 1944, bersama kesatuan lintas udara Amerika Serikat, Visser sempat terlibat pertempuran melawan tentara Jerman dalam Operasi Market Garden. Usai berakhirnya Perang Dunia II, ia kemudian bergabung dengan KST dan sempat ikut dalam gerakan Aksi Polisional II ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948.
Saat berpangkat kapten, Visser mengundurkan diri dari militer Belanda. Ia lantas menikahi seorang gadis Sunda bernama Suyatni dan merintis usaha perkebunan bunga di Lembang. “Setelah memeluk agama Islam, Visser merubah namanya menjadi Mochamad Idjon Djanbi,” Marzoeki Soelaiman.
Singkat cerita, Djanbi menerima “lamaran” Kawilarang untuk merintis pembentukan satu kompi pasukan komando di lingkungan Siliwangi. Sesuai permintannya, ia kemudian diangkat sebagai komandan pasukan komando tersebut dengan pangkat mayor.
“Saya diangkat oleh Pak Kawilarang sebagai wakil Pak Idjon Djanbi dengan pangkat kapten, tugas saya yang pertama: menerjemahkan bahan-bahan pelatihan dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia,” kenang Marzoeki.
Pelatihan pun berjalan lancar. Setelah menghabiskan waktu selama dua bulan di hutan-hutan Gunung Burangrang, Pelabuhan Ratu dan Pulau Nusakambangan, maka calon kesatuan khusus itu telah memiliki delapan perwira berkualifikasi komando.
Pada 16 April 1952, Kawilarang meresmikan pembentukan Kesatuan Komando (Kesko) Tentara Teritorium III Siliwangi. Karena jumlah instruktur dinilai masih kurang, maka Idjon menghubungi para mantan tentara Belanda asal Indonesia Timur yang dulu pernah menjadi anak didiknya, untuk bergabung dengan Kesko.
Selanjutnya pendidikan pasukan khusus pun digelar. Sekira 400 prajurit dari berbagai kesatuan di Siliwangi mendaftar. Namun setelah lima bulan dididik dalam suatu penggojlokan yang sangat keras, termasuk terjun langsung dalam operasi-operasi perburuan gerilyawan DI/TII, hanya tersisa 242 prajurit yang mampu bertahan dan dinyatakan lulus. Merekalah prajurit-prajurit komando pertama di Indonesia.