Kolonel M. Jasin menjabat Panglima Daerah Militer I/Iskandar Muda, Aceh, selama tiga tahun (1960–1963). Dia berhasil menyelesaikan gerakan DI/TII yang dipimpin Teuku Daud Beureuh.
Pangkat Jasin pun naik menjadi Brigadir Jenderal dan mendapat penugasan baru sebagai Atase Militer di Moskow. Namun, sebelum bertugas di Uni Soviet, Jasin menjabat Kepala Departemen Masalah Pertahanan Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat).
“Setelah dua tahun bertugas di Seskoad, pada tahun 1965 Brigjen TNI M. Jasin menerima perintah dari pemerintah untuk berangkat ke negara Rusia bertugas sebagai Atase Militer (Atmil) pada KBRI Moskow,” demikian disebut dalam Sejarah TNI-AD 1945-1973: Riwayat Hidup Singkat Pimpinan TNI AD.
Baca juga: M. Jasin Jadi Rektor Tak Lulus Kuliah
Jasin mengatakan, dia seharusnya sudah berangkat ke Moskow pada 1963. Namun, dia harus menunggu kedatangan Brigjen TNI Harun Sohar yang akan digantikannya.
“Pada waktu itu, hanya ada dua orang jenderal yang bertugas di luar negeri, yaitu di Amerika Serikat dan Moskow. Selain itu, berpangkat kolonel bertugas di Jerman, Inggris, dan negara-negara lainnya,” kata Jasin dalam memoarnya, “Saya tidak Pernah Minta Ampun kepada Soeharto”.
Sopir Agen KGB
Jasin berangkat ke Moskow pada Juni 1965. Sebagai diplomat, dia merasa tidak bebas bergerak. Pengawasan pemerintah sangat ketat. Tidak dapat keluar Moskow tanpa seizin pemerintah. Dia pernah dikejar mobil petugas ketika mencoba membawa mobil sampai ke perbatasan Moskow. Dia terpaksa kembali lagi.
“Diplomat bagaikan tahanan kota,” kata Jasin. “Berbeda dengan di Indonesia, di mana orang asing bebas pergi ke mana mereka suka.”
Jasin mempunyai seorang sopir orang Rusia. Orangnya baik, pintar, dan mengerti bahasa Indonesia. Belakangan, dia tahu dari asisten militernya, Subiyakto, bahwa sopir itu agen KGB. Itulah sebabnya, Jasin hanya bicara biasa-biasa saja dengan sopirnya. “Kabar terakhir saya dengar sopir saya itu ditemukan mati,” kata Jasin.
Baca juga: Agen KGB di Indonesia Dieksekusi Mati
Kemana pun Jasin pergi selalu dengan Subiyakto karena dia selalu diikuti orang tidak dikenal di Moskow. “Sampai belanja ke Belanda pun harus minta izin pemerintah, karena memang di Moskow tidak ada apa-apa,” kata Jasin.
Sebagai Atase Militer dari Angkatan Darat, Jasin bertugas mencari informasi tentang kemiliteran. Namun, dia tidak boleh mencampuri urusan angkatan lain. Suatu kali, Jasin akan menemani Atase Militer Angkatan Udara Roesmin Nurjadin pergi ke Wladiwostok untuk melihat proyek AURI. Namun, dilarang pemerintah Uni Soviet. “Ternyata, sebagai Atase Militer AD, pemerintah Moskow melarang saya mencampuri urusan AU,” kata Jasin.
Menurut Imran Hasibuan, dkk. dalam biografi Marsekal (Purn.) Roesmin Nurjadin, Elang dan Pejuang Tanah Air, Roesmin tiba di Moskow pada Agustus 1965. Dia mendapat tugas untuk memonitor semua kegiatan AURI yang berkaitan dengan Angkatan Udara Uni Soviet.
AURI kebanjiran alutsista canggih dari Uni Soviet, mulai dari pesawat Mig 15, Mig 17, Mig 19, Mig 21, hingga pesawat pengebom Il-28 dan TU-16. Sehingga, para penerbang AURI harus mengikuti latihan terbang di Negeri Beruang Merah itu.
Baca juga: Operasi Rahasia CIA terhadap Uni Soviet di Indonesia
Jasin pulang ke Indonesia pada Desember 1965, sekitar tiga bulan setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Dia menghadap KSAD Jenderal TNI Soeharto. Tanpa diduga, dia ditunjuk menjadi Panglima Brawijaya menggantikan Mayjen TNI Soemitro. Namun, pengangkatannya ditunda karena Jasin ditugaskan kembali ke Moskow untuk melakukan screening (pembersihan) terhadap mahasiswa di Eropa Timur yang terindikasi mendukung G30S dan menentang Orde Baru.
Jasin juga membawa pesan Jenderal TNI A.H. Nasution bahwa Roesmin Nurjadin sangat dibutuhkan. Roesmin kembali ke Indonesia dan diangkat menjadi KSAU menggantikan Omar Dani yang dituduh terlibat G30S.
Baca juga: Orang-orang Indonesia yang Kehilangan Tanah Airnya
Pada tahap pertama pembersihan, Jasin menindak 37 orang dari pegawai KBRI dan mahasiswa. Paspor mereka dicabut pada pertengahan tahun 1966. Sedangkan tahap kedua pembersihan pada November 1966, Jasin mencabut 115 paspor mahasiswa. Mereka kemudian disebut eksil.
“Saya tidak hanya mengadakan screening di Moskow, tetapi sampai pada mahasiswa di seluruh Eropa Timur. Saya tanyakan pada mereka apa cita-citanya, keinginannya, dll. Saya minta mereka mengisi formulir screening. Saya mengambil keputusan, bagi yang hasil screening-nya baik, saya siapkan paspor,” kata Jasin. Bagi yang tidak lulus screening, paspornya dicabut.
Meng-orba-kan Jawa Timur
Setelah menyelesaikan tugas screening, Jasin kembali ke Indonesia pada Desember 1966. Dia kemudian menjabat Pangdam VIII Brawijaya di Jawa Timur.
“Sesuai dengan penugasan Jenderal Soeharto yang saat itu pejabat sementara presiden ketika melantik saya, bahwa pemerintah memerlukan seorang yang keras untuk meng-orba-kan Jawa Timur,” kata Jasin.
Upaya Jasin meng-orba-kan Jawa Timur dengan melakukan pembersihan terhadap orang-orang Sukarnois dan komunis. Dia juga memimpin Operasi Trisula untuk menghabisi sisa-sisa PKI di Blitar Selatan.
Baca juga: M. Jasin, Jenderal Penantang Soeharto
Dukungan terhadap Soeharto dan Orde Baru dikukuhkan dalam kebulatan tekad para panglima se-Jawa pada Oktober 1967 di Malang. Pertemuan yang dihadiri Panglima Kostrad dan Komandan RPKAD (kini Kopassus) ini kelanjutan dari rapat kebulatan tekad panglima se-Jawa pada 7 Juli 1967 di Yogyakarta.
Isi pernyataan kebulatan tekad: pertama, mendukung Jenderal Soeharto dan melaksanakan cita-cita Orde Baru. Kedua, mengikis segala penyelewengan Orde Lama dan melaksanakan secara konsekuen cita-cita Pancasila dan UUD ‘45.
Namun, beberapa panglima termasuk Jasin kemudian kecewa kepada Soeharto dan Orde Baru. Mereka dan para tokoh terkemuka menandatangani Petisi 50 untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan rezim Orde Baru. Soeharto tak terima dan menindak mereka yang menandatangani petisi itu.
“Beberapa tokoh yang menandatangani pernyataan di atas akhirnya harus berhadapan dengan pemerintahan Soeharto, dan mereka harus menghadapi akibat-akibatnya, seperti yang terjadi pada [mantan Pangdam Siliwangi] H.R. Dharsono. Termasuk saya. Orde Baru tidak menjadi Orde Baru lagi untuk saya. Semuanya berubah dalam waktu yang begitu cepat,” kata Jasin.
Baca juga: H.R. Dharsono, Akhir Tragis Mantan Loyalis
H.R. Dharsono, Jenderal Terpidana