Konflik memperebutkan Irian Barat mendorong Indonesia untuk meningkatkan kemampuan militernya. Awalnya, Indonesia akan membeli alutsista ke Amerika Serikat. Namun, Amerika Serikat tak mau menjual alutsista kepada Indonesia karena terikat persekutuan dengan Belanda dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Indonesia pun beralih ke Uni Soviet. Apalagi Perdana Menteri Nikita Khrushchev dalam lawatannya ke Indonesia telah menawarkan bantuan militer. Indonesia pun mendapat kredit alutsista dari Uni Soviet senilai $450 juta. Pembayarannya selama 20 tahun dengan bunga 2,5 persen.
Alutsista itu diutamakan untuk Angkatan Laut (kapal selam, kapal rudal cepat, pesawat, helikopter, dan peralatan amfibi), Angkatan Udara (pesawat jet tempur, pesawat pembom, dan sistem pertahanan udara beserta radarnya), sedangkan Angkatan Darat mendapat tank dan perlengkapan artileri. Indonesia menjadi satu-satunya negara Asia yang memperoleh senjata berat mutakhir dari Uni Soviet. Sehingga saat itu kekuatan militer Indonesia menjadi yang terkuat di belahan bumi bagian selatan.
Baca juga: Jenderal Nasution dan Senjata Uni Soviet
Menurut Raymond J. Batvinis, selama tahun 1960-an, Indonesia adalah gelanggang kritis Perang Dingin dalam perebutan pengaruh antara Timur dan Barat. Selama bertahun-tahun, Uni Soviet, dalam upaya menarik pemerintah Indonesia ke lingkarannya, memberi peralatan militer canggih bernilai miliaran dolar termasuk kapal laut dan sistem persenjataan.
"CIA meluncurkan Operasi HABRINK, sebuah program sangat rahasia yang dirancang untuk merekrut pejabat militer Indonesia yang akan memberikan informasi terperinci mengenai sistem persenjataan itu," tulis Raymond dalam Encyclopedia of Intelligence and Counterintelligence suntingan Rodney Carlisle.
Operasi HABRINK disebut sebagai salah satu operasi rahasia paling sukses yang dilakukan CIA terhadap Uni Soviet. Operasi itu menyediakan rincian data mengenai berbagai senjata Uni Soviet, seperti rudal SAM (surface-to-air missile), SSM (surface-to-surface missile), dan ASM (air-to-surface missile), kapal rudal cepat kelas Komar, kapal perusak kelas Riga, kapal penjelajah kelas Sverdlov, dan pesawat pembom TU16 (Badger).
Selama bertahun-tahun, militer Uni Soviet tidak dapat memastikan mengapa sistem rudal SAM SA-2 tidak efektif terhadap pesawat Amerika Serikat selama Perang Vietnam. Ternyata, ahli-ahli Amerika Serikat mengembangkan teknik pengacau terhadap SA-2. Sehingga banyak awak pesawat pembom Amerika Serikat yang selamat.
"Ini dimungkinkan karena CIA telah mengakuisisi seluruh sistem SA-2 Soviet melalui Operasi HABRINK," tulis Raymond.
Uni Soviet mengetahuinya setelah mantan agen CIA, David Henry Barnett, menjual data Operasi HABRINK kepada KGB (Dinas Intelijen Uni Soviet).
Butuh Uang karena Utang
David Henry Barnett lahir di Amerika Serikat tahun 1933. Setelah lulus dari University of Michigan pada 1955, dia memulai kariernya di dunia intelijen dengan menjadi agen CIC (U.S. Army Counter Intelligence Corps). Dia bertugas di Washington D.C., kemudian dengan Detasemen CIC ke-308 di Seoul, Korea Selatan, dari 1958 hingga Januari 1959. Dia bekerja di bagian Seksi Kontra Subversif.
Setelah bertugas di militer, Barnett bergabung dengan CIA pada Januari 1959. Dia bekerja sebagai petugas operasi CIA untuk wilayah Washington. Dia kemudian ditempatkan ke stasiun CIA di Surabaya pada 1967, dengan status (cover) sebagai petugas layanan luar negeri Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. "Menyamar sebagai diplomat memungkinkannya untuk secara langsung bertemu, menilai, dan merekrut pejabat Uni Soviet untuk spionase tanpa mengungkap afiliasinya ke CIA," tulis Raymond.
Barnett hanya bertugas selama tiga tahun di Indonesia. Setelah mengundurkan diri dari CIA, dia sempat menjadi pelatih gulat di Kiskiminetas Springs School di Saltsburg, Pennsylvania. Dia kembali ke Indonesia untuk bekerja di perusahaan pengolahan udang. Dia kemudian mendirikan perusahaan sendiri yang bergerak dalam ekspor furnitur. Namun, berusaha di lingkungan yang tidak dikenal dan tanpa pengalaman wirausaha membuat usahanya gagal dengan meninggalkan utang lebih dari $100.000.
"Putus asa untuk menutupi kerugiannya, Barnett mendekati KGB pada 1976 di Jakarta, memberikan mereka rincian lengkap tentang Operasi HABRINK," tulis Raymond. "Barnett memberi tahu KGB tentang segala hal yang dia ketahui mengenai CIA dan operasinya, agen-agennya yang direkrut di seluruh dunia, mengungkap identitas 30 pegawai CIA yang menyamar di Indonesia, dan di tempat lain di Asia.”
Menurut Thomas O’Toole dalam tulisannya di washingtonpost.com, selain memberi tahu Uni Soviet bahwa banyak senjata yang mereka berikan ke Indonesia antara tahun 1959 dan 1969 dijual kembali ke CIA, Barnett juga mengidentifikasi agen Indonesia yang mengatur penjualan kembali senjata itu dan 29 orang Indonesia lainnya yang membantu agen itu. Barnett memberi tahu bahwa dari senjata-senjata itu dan data teknis yang menyertainya, Amerika Serikat mampu mengantisipasi rudal SA-2 buatan Uni Soviet yang digunakan oleh Vietnam Utara terhadap para pembom Amerika Serikat selama Perang Vietnam.
"Dalam 'pernyataan fakta' setebal 25 halaman yang tidak ditolak Barnett, juga disebutkan bahwa dia memberi tahu nama-nama agen KGB yang diharapkan CIA dapat direkrut sebagai agen ganda di Indonesia," tulis Thomas O’Toole.
Terungkap dan Tertangkap
Barnett kembali ke Jakarta pada November 1977. Dia diperkenalkan kepada seorang pria bernama Igor, yang kemudian diketahui sebagai Vladimir V. Popov, mantan sekretaris ketiga di Kedutaan Besar Uni Soviet di Washington. Igor meminta Barnett kembali ke Washington, untuk bekerja kembali di CIA, atau Badan Intelijen Pertahanan, atau Biro Intelijen dan Penelitian di Departemen Luar Negeri.
Raymond menyebut pada 1979 Barnett dipekerjakan kembali oleh CIA sebagai kontraktor untuk mengajar kelas-kelas tentang cara menolak interogasi. Sementara Barnett berusaha mencari pekerjaan di Washington, sumber CIA melaporkannya telah melakukan mata-mata, dan FBI pun memulai penyelidikan. Selama berjam-jam diinterogasi intensif oleh agen FBI, Barnett secara bertahap mengakui kejahatannya sambil memberikan rincian yang penting untuk keberhasilan penuntutannya di pengadilan.
Namun, menurut Thomas O'Toole, Barnett gagal mendapatkan pekerjaan yang diinginkan Igor. Dia kemudian diberi $3.000 untuk pergi ke Wina. Di sana dia bertemu dengan agen KGB di sebuah toko radio di 64 Taberstrausse.
"Pada saat itu, April 1980, dan meskipun tidak pernah dibuat jelas bagaimana pihak berwenang Amerika Serikat menemukannya, seorang atase hukum FBI dari Bern berada di seberang jalan dari toko radio yang memverifikasi bahwa pertemuan itu sedang berlangsung," tulis Thomas O'Toole.
Barnett bukan agen CIA pertama yang didakwa melakukan spionase. Sebelumnya William Kampiles ditangkap karena menjual buku pedoman tentang cara kerja satelit pengawas KH11 kepada Uni Soviet. Namun, menurut Thomas O'Toole, Barnett adalah agen CIA pertama dalam 33 tahun sejarah CIA, yang didakwa atas tuduhan spionase karena telah menjual informasi salah satu operasi rahasia paling sukses yang pernah dilakukan CIA terhadap Uni Soviet.
Barnett didakwa melanggar undang-undang spionase Amerika Serikat pada Oktober 1980. Pengadilan menjatuhkan hukuman 18 tahun penjara pada 8 Januari 1981. "Untuk informasi intelijen miliaran dolar yang dia berikan kepada Uni Soviet, dia menerima total $92.000," tulis Raymond.
Tiga tahun setelah bebas bersyarat, Barnett meninggal dunia pada 19 November 1993. Dia meninggalkan istri, Sarah Blount, dan tiga anaknya: Charles, John Henry, dan Dorsey.