Reporter militer Hans Post meliput pendaratan tentara Belanda di pantai timur Sumatra pada Oktober 1946. Pada bulan pertama kegiatan liputannya di Medan, dia tertarik mengamati keberadaan serdadu dari kalangan Tionghoa. Hans kaget menyaksikan mereka yang berseragam aneh dengan corak kuning berbahan drill itu. Mereka memakai topi pet dan menenteng senapan laras panjang. Pemimpinnya diketahui bernama Lim Seng yang segera memberi penjelasan perihal pasukannya kepada Hans.
Lim Seng menuturkan, pemuda-pemuda Tionghoa harus selalu berjaga dan patroli untuk menghentikan aksi para ekstremis. Pejuang Indonesia bersenjata ini kerap meresahkan; menyerang rumah-rumah milik orang Tionghoa. Mereka merampok dan kadangkala berakhir dengan jatuhnya korban jiwa. Tentara Inggris menolak memasok senjata kepada pemuda-pemuda Tionghoa. Hingga Maret 1946, pemuda-pemuda Tionghoa hanya bersenjatakan tombak dan tongkat.
“Inggris menyadari bahwa teror itu menjadi terlalu serius bila tetap bersikap pasif. Setelah sejumlah kecil senjata api disediakan, tak ada lagi penjahat - pencuri - berani memasuki distrik Tionghoa di bawah perlindungan pasukan penjaga Tionghoa,” demikian catat Hans Post dalam reportasenya Bandjir over Noord-Sumatra Volume I: Bandjir over Noord Sumatra yang terbit tahun 1948
Pasukan penjaga keamanan Tionghoa ini kelak lebih dikenal dengan sebutan Pao An Tui (PAT). Ketika revolusi kemerdekaan bergolak di Sumatra Utara, PAT memainkan lakon sebagai musuh orang-orang Republik. Lakon itu bukan tanpa sebab. Di masa krisis itu, mereka terjepit untuk mempertahankan diri guna melanjutkan hidup.
Aji Mumpung
Proklamasi kemerdekaan membawa posisi komunitas Tionghoa berada di bawah ancaman. Setelah pendudukan Jepang berakhir, orang-orang Tionghoa jadi sasaran intimidasi. Kaum pribumi radikal kerap menyatroni kediaman atau toko penduduk Tionghoa yang umumnya masyarakat pedagang. Sudah harta benda mereka dijarah, warga Tionghoa malang ini rentan sekali menjadi korban penculikan, pemerkosaan, hingga pembunuhan.
“Orang Tionghoa menjadi sasaran tindakan balas dendam yang sistematis, karena mereka tergolong kuat secara finansial dan melekat sebagai kolaborator oportunis Belanda,” tulis sejarawan Belanda Anne van deer Veer dalam pengantar tesisnya di Leiden University “The Pao An Tui in Medan: A Chinese Security Force in Dutch Occupied Indonesia, 1945‐1948”.
Sentimen anti-Tionghoa, menurut van der Veer tak lepas dari peran mereka di masa lampau. Di bawah pemerintahan kolonial, kebijakan Belanda memberi orang Tionghoa status yang berbeda: Timur Asing (Vreemde Oosterlingen). Meski tetap sebagai warga negara kelas dua setelah bangsa Eropa, orang Tionghoa (bersama Arab dan India) diperlakukan lebih istimewa ketimbang pribumi.
Pada bulan November 1945, aksi pencurian dan perampokan mulai merambah rumah-rumah orang Tionghoa di Medan. Gangguan ini semakin meningkat setelah TKR-Pesindo mengumumkan keberadaan mata-mata Belanda yang turut menyeret orang Tionghoa. Laporan intelijen Belanda (NEFIS) mencatat, sebanyak 73 rumah orang Tionghoa dibakar, dan puluhan lelaki Tionghoa dieksekusi karena mencoba melawan.
Menurut sejarawan LIPI, Nasrul Hamdani, penindasan atas kepentingan orang Tionghoa merupakan kelanjutan dari aksi “pembersihan” yang dillancarkan kaum Republikan. Sayangnya, tindakan ini tak dibarengi dengan koordinasi yang baik di antara badan-badan perjuangan. Orang Tionghoa jadi dimusuhi hanya karena mereka berasal dari etnis berbeda. Meski demikian, ada juga yang melihat revolusi sebagai momentum “aji mumpung” untuk mengumpulkan kekayaan. Dalam suasana demikian simbol-simbol etnisitas menjadi penting untuk mencari sekutu atau menciptakan seteru.
Orang Tionghoa Bersatu
Atas penyerangan yang terjadi terhadap kaumnya, Hua Ch'iao Chung Hui (HCCH, Organisasi Cina Rantau) bereaksi. Dalam sebuah telegram yang dikirimkan kepada Chiang Kai Sek - pemimpin negeri Tongkok -, HCCH menyatakan keprihatinannya terhadap nasib miris orang Tionghoa di Medan. HCCH mendesak pemerintah Tiongkok mengirim utusan yang diberi wewenang penuh melindungi orang Tionghoa perantauan di Sumatra.
Permintaan HCCH dikabulkan walaupun bukan dalam wujud bantuan militer langsung dari negeri Tiongkok. Sebuah milisi beranggotakan pemuda-pemuda Tionghoa dibentuk pertama kali di Medan pada permulaan tahun 1946. “Baoan Dui”, demikian orang-orang Tionghoa lebih suka menyebutkanya sementara masyarakat lokal di Medan mengucapkannya “Poh An Tui”. Mereka yang tergabung semula adalah pemuda-pemuda jago bela diri. Makin lama, kian banyak orang Tionghoa yang masuk PAT.
“Di masa ini tumbuh solidaritas orang Cina hingga mampu mendirikan Pao An Tui (PAT) atau barisan keamanan yang dikenal kejam, sangar, dan tergolong milisi paling kuat di Indonesia,” tulis Nasrul Hamdani dalam artikelnya “Pao An Tui Medan 1946--1948” termuat di Indonesia Across Order: Arus Bawah Sejarah Bangsa suntingan Taufik Abdullah dan Sukri Abdurachman.
Baca juga: Teror Pao An Tui di Medan
HCCH menugaskan Lim Seng untuk memimpin dan mengorganisasi PAT. Van der Veer dalam tesisnya menyebut Lim Seng adalah seorang karyawan perusahaan perdagangan Belanda di Medan milik Jacobsen van den Berg di Medan. Lim Seng dibantu oleh dua orang kepercayaan, yaitu Tan Boen Djin dan Tan Boen Hock yang bertugas sebagai penghubung ke jejaring penting. Tan bersaudara ini berasal dari keluarga saudagar Tionghoa terkemuka di Medan.
Pembentukan PAT berjalan mulus. Tentara pendudukan Inggris mengizinkan keberadaan PAT dalam menjaga keamanan distrik Tionghoa. Inggris bahkan ikut memasok senjata api kepada PAT. Fasilitas yang dimiliki PAT terbilang mantap dan modern. Markas PAT yang terletak di Hongkongstraat Medan ini, memiliki beberapa kendaraan patroli jenis jeep untuk mempertinggi mobilitas dan komunikasi.
Setelah Inggris mengalihkan kekuasannya kepada Belanda, PAT bersekubu dengan tentara Belanda. Bagi mereka, pejuang-pejuang Republik dicap ekstremis, pengacau, dan pelaku teror. Belanda dan PAT kerap melancarkan operasi bersama memburu Tentara Republik ataupun barisan laskar. Operasi ini tak jarang memakan korban dari pihak rakyat sipil.
Baca juga: Pao An Tui Dibenci Kaum Republik
Pada 1952, Kementerian Penerangan yang menerbitkan buku Republik Indonesia: Provinsi Sumatera Utara mengatakan bahwa aksi menyimpang orang Tionghoa dalam revolusi dapat dimaklumi. Selama pendudukan Jepang, orang-orang Tionghoa tak berdaya dan jadi bulan-bulanan. Ketika Indonesia merdeka, tak semua orang Tionghoa bisa mengerti esensi perjuangan kaum Republik. Padahal, pemerintah sebelumnya telah menyerukan golongan Tionghoa untuk bekerjasama dan menjauhi pekerjaan membantu musuh-musuh Republik.
“Bagi penduduk Tionghoa di Medan yang selama ini ditindas perniagaan dan perekonomiannya oleh Jepang dapat dimengerti apabila mereka itu melihat kemungkinan-kemungkinan yang menguntungkan dalam mengadakan perniagaan dengan Inggris ataupun Belanda,” tulis Kementerian Penerangan. “Akan tetapi dapat dimengerti pula bahwa semangat dan jiwa revolusi kemerdekaan yang meluap pada dada pemuda bangsa Indonesia mencurigai setiap perhubungan dengan Inggris apalagi Belanda.
Maka di sana-sini terjadilah pertempuran bersenjata antara Pao An Tui dengan pemuda Indonesia.