Sultan Agung tercatat sebagai raja terbesar Kerajaan Mataram. Ia berkuasa selama lebih dari tiga dekade (1613–1646). Ia menguasai seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk Ujung Timur dan Madura.
Tak hanya di Jawa dan Madura, kekuasaan Sultan Agung juga diakui oleh Sukadana di Kalimantan, Palembang, Banjarmasin, dan Makassar. Memang kecuali di Sukadana, angkatan laut Mataram bukanlah kekuatan penakluk yang besar atas pulau-pulau lain. Tetapi keberadaannya telah memberi kepada Mataram suatu pengaruh yang mungkin bisa dibandingkan dengan Majapahit.
Sehingga, sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern, 1200–2004, menyebut “Sultan Agung merupakan penakluk terbesar di Indonesia sejak zaman Majapahit.” Satu-satunya kekurangan Sultan Agung adalah kegagalannya merebut Batavia dari VOC dan satu-satunya kerajaan di Jawa yang tetap merdeka adalah Banten yang terletak di ujung barat.
Dalam ekspansi kekuasaannya, salah satu kendala yang dihadapi Sultan Agung adalah wabah penyakit. Seperti ketika ia menyerang Wirasaba (Mojoagung).
“Setelah setengah bulan berperang, para prajurit Mataram diserang wabah penyakit pes. Banyak prajurit yang meninggal, sehingga Sultan Agung mengusulkan untuk menghentikan serangan dan pulang. Akan tetapi Tumenggung Martalaya tetap teguh. Ia minta waktu satu hari lagi untuk merebut Wirasaba,” tulis sejarawan H.J. de Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung.
Baca juga: Pasukan Mataram Diserang Wabah Penyakit
Akhirnya, setelah tiga serangan hebat yang mendadak, Wirasaba bisa ditaklukkan. Sebaliknya, Sultan Agung menggunakan taktik penyakit untuk mengalahkan lawan terkuatnya, Surabaya, dengan cara membendung Kali Mas, cabang dari Sungai Brantas. Hanya sebagian dari air tersebut melewati bendungan. Air yang sedikit itu menjadi busuk karena keranjang-keranjang berisi bangkai binatang dan buah aren, yang diikat pada tonggak-tonggak di dalam kali.
“Karena itu, penduduk Surabaya dihinggapi bermacam-macam penyakit: batuk-batuk, gatal-gatal, demam, dan sakit perut,” tulis De Graaf.
Namun, setelah Surabaya menyerah pada 1625, kegiatan militer Sultan Agung mengalami kemunduran. “Kecuali disebabkan oleh perluasan keraton dan keletihan oleh kerja keras selama tahun-tahun sebelumnya, kemunduran ini juga akibat penyakit menular,” tulis De Graaf.
Penyakit pes yang mewabah pada 1625–1627 itu membunuh 2/3 penduduk di beberapa daerah di Jawa Tengah dan 1/3 penduduk Banten.
Baca juga: Taktik Penyakit Sultan Agung
Sultan Agung memulai lagi ekspansinya pada 1628 dengan menyerang VOC di Batavia. Serangan itu gagal meskipun telah menerapkan strategi seperti ketika merebut Surabaya, yaitu membendung sungai untuk menimbulkan penyakit. Serangan kedua pada 1629 juga mengalami kegagalan.
“Kurang lebih lima puluh persen angkatan perang Sultan Agung mati karena kelaparan, penyakit, kecapaian, hukuman, dan peluru Belanda,” tulis sejarawan Adolf Heuken dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta.
Kekalahan itu tak menghentikan Sultan Agung. Ia menaklukan Giri, Panarukan, Blitar, dan Blambangan di Ujung Timur.
Setelah itu, menurut Ricklefs, Sultan Agung melakukan langkah simbolisnya yaitu mengirim utusan ke Mekkah untuk meminta gelar sultan. Ia tak mau kalah dengan pesaingnya, raja Banten yang pertama di Jawa menerima gelar sultan dari Mekkah. Pangeran Ratu mendapatkan nama Arab, Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir. Utusan Sultan Agung kembali pada 1640 dengan membawa gelar dan nama Arab: Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani.
Baca juga: Mataram Batal Menyerang Banten
Kesehatan Sultan Agung menurun. Ia jatuh sakit pada 1642. Sehingga yang tampil menggantikannya dalam urusan kerajaan adalah Tumenggung Wiraguna.
“Sedemikian menonjol orang kuat ini tampil dalam surat-surat, sedemikian sepinya muncul berita-berita tentang rajanya,” tulis De Graaf. “Mungkinkah tindak-tanduk Tumenggung Wiraguna yang kuat ini disebabkan karena kemunduran kesehatan Sultan Agung? Pada tahun 1642, raja jatuh sakit. Penyakitnya cukup berat.”
Sehubungan dengan itu, lanjut De Graaf, menurut cerita tutur dalam Serat Kandha, Nyai Loro Kidul telah meramalkan kematian Sultan Agung, yaitu ketika ia mengunjunginya di istana bawah laut. Jadi, awal tahun 1644, ia telah mengetahui atau merasa bahwa ia akan meninggal.
“Apakah pengetahuan ini didasarkan pada kesehatannya yang tidak stabil, ataukah ia sungguh-sungguh menerima wahyu ketika ia mengunjungi Gua Langse? Pengganti-penggantinya pun biasa pergi ke gua tersebut,” tulis De Graaf.
Baca juga: Mata-mata Mataram dalam Penaklukan Tuban
Menurut Ricklefs, untuk menghadapi kematiannya, pada 1645, Sultan Agung membangun sebuah tempat pemakaman baru di puncak bukit di Imogiri, kira-kira lima kilometer di sebelah selatan istananya. Situs ini akan menjadi pemakaman bagi hampir semua penggantinya dan anggota-anggota keluarga kerajaan yang terkemuka.
Akhirnya, Sultan Agung meninggal dunia pada 1646, kira-kira antara awal Februari dan awal April. “Wabah-wabah penyakit merajalela pada tahun 1640-an, dan kematian Sultan Agung mungkin sekali disebabkan oleh salah satu wabah tersebut,” tulis Ricklefs.
Mengenai wabah penyakit itu, sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1, mengutip Babad ing Sangkala bahwa pada 1643–1644 di Mataram (Jawa) terjadi “epidemi beratus-ratus mati setiap hari”.
Saat Sultan Agung wafat, pintu-pintu gerbang yang menuju ke istana ditutup untuk mencegah terjadinya kudeta. Ia digantikan oleh putranya dengan gelar Susuhunan Amangkurat I.