Dalam tiga tahun terakhir kekuasaannya (1610–1613), Panembahan Krapyak berusaha menaklukkan Surabaya. Ia sampai mengirim utusan kepada Gubernur Jenderal Pieter Both di Maluku untuk mengadakan persekutuan. Ia menganggap Mataram dan VOC punya musuh yang sama: Surabaya. Ajakan itu membuat VOC dapat mendirikan pos dagang di Jepara di bawah pengawasan Mataram, tetapi masih tetap memiliki posnya di Gresik yang berada di bawah pengawasan Surabaya.
“Lawan Krapyak yang paling kuat adalah Surabaya,” tulis sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008.
Menurut Ricklefs, sebuah dokumen VOC dari tahun 1620 menggambarkan Surabaya sebagai sebuah negara yang kuat dan kaya. Luas wilayahnya kira-kira 37 km, yang dikelilingi sebuah parit dan diperkuat dengan meriam. Konon pada tahun itu, Surabaya mengirim 30.000 prajurit ke medan perang melawan Mataram, tetapi tidak terlihat adanya pengurangan penduduk yang nyata di kota itu –cerita ini mungkin berlebihan.
Pada 1622, Surabaya menguasai Gresik dan Sidayu. Pengaruhnya meluas ke lembah Brantas sampai Japan (Mojokerto) dan Wirasaba (Majaagung). Penguasa Sukadana di Kalimantan juga mengakui kekuasaan Surabaya. Kapal-kapal dagang Surabaya terlihat di seluruh kepulauan, dari Malaka sampai Maluku.
Baca juga: Pasukan Mataram Diserang Wabah Penyakit
Panembahan Krapyak meninggal dunia pada 1613. Ia digantikan anaknya, Sultan Agung, raja terbesar Mataram. Sultan Agung melanjutkan politik ekspansi ayahnya. Ia lebih dulu menaklukan daerah-daerah sekutu Surabaya: Malang dan Lumajang (1614), Wirasaba (1615), Lasem (1616), Tuban (1619), Sukadana (1622), dan Madura (1624).
“Dari tahun 1620 sampai 1625, Sultan Agung mengepung Surabaya dan membinasakan hasil-hasil panennya,” tulis Ricklefs. “Akhirnya, pada 1625 Surabaya berhasil ditaklukan, bukan karena diserang melainkan karena mati kelaparan.”
Menurut sejarawan H.J. de Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, strategi Sultan Agung menaklukan Surabaya dengan cara membendung Kali Mas, cabang dari Sungai Brantas. Hanya sebagian dari air tersebut melewati bendungan. Air yang sedikit itu menjadi busuk karena keranjang-keranjang berisi bangkai binatang dan buah aren, yang diikat pada tonggak-tonggak di dalam kali.
“Karena itu, penduduk Surabaya dihinggapi bermacam-macam penyakit: batuk-batuk, gatal-gatal, demam, dan sakit perut,” tulis De Graaf.
Baca juga: Wabah Penyakit Mematikan di Banten dan Jawa Tengah
Surabaya pun menyerah. Kota jatuh ke tangan penakluk dalam keadaan utuh. Laporan ke Negeri Belanda tanggal 27 Oktober 1625 menyebutkan: “Pada musim panas ini Surabaya menyerah kepada raja Mataram, tanpa perlawanan, hanya karena berkurangnya rakyat dan karena kelaparan, sehingga dari 50–60 ribu jiwa tinggal tidak lebih dari seribu.” Bahkan Daghregister, 1 Mei 1624, menyebut tinggal “500 jiwa, sisanya meninggal dan hilang karena keadaan menyedihkan dan karena kelaparan”.
“Dengan jatuhnya Surabaya,” tulis De Graaf, “maka selesailah penaklukan bagian timur Jawa yang beragama Islam.”
Pada saat Surabaya takluk, menurut Ricklefs, sudah muncul kekuatan baru di Jawa, yaitu VOC di Batavia. Sultan Agung lebih dulu mengarahkan perhatiannya terhadap musuh-musuhnya yang Jawa daripada VOC, tetapi perhatiannya akan segera beralih menghadapi orang-orang Eropa itu.
Mataram Menyerang VOC di Batavia
Sultan Agung mengerahkan pasukannya untuk menyerang VOC di Batavia pada Agustus–November 1628. Serangan pertama itu gagal.
Menurut De Graaf, ketika tidak melihat kemungkinan untuk merebut Batavia dengan penyerbuan mendadak, maka digunakanlah cara yang telah diuji keberhasilannya pada pertempuran di Surabaya, yaitu membendung sungai. Untuk itu, dipekerjakan 3.000 orang, namun kemajuannya lamban karena mereka kelaparan dan serba kekurangan.
“Mereka berusaha menimbulkan wabah penyakit pes,” tulis Willard Anderson Hanna dalam Hikayat Jakarta. “Akan tetapi, di kalangan pasukan Mataram sendiri beratus-ratus yang jatuh sakit dan meninggal, yang menambah penderitaan mereka.”
Baca juga: Wabah Penyakit dalam Perang Makassar
Sutrisno Kutoyo, dkk., dalam Sejarah Ekspedisi Pasukan Sultan Agung ke Batavia menyebut bahwa jika Sungai Ciliwung dapat dibendung, Kompeni tidak akan menyerah karena mereka tinggal di dalam benteng-benteng dan sudah mempunyai persediaan bahan makanan serta air yang dapat diambil dari sungai Untung Jawa yang bebas dari penjagaan prajurit Mataram atau Banten.
“Mereka juga telah menggali sumur-sumur untuk mengatasi kekurangan air. Untuk pertahanan, sungai-sungai di dalam kota dihubungkan dan dipasang pintu-pintu air gejlegan yang sewaktu-waktu dapat dibuka dan ditutup. Di tempat-tempat itu selalu dijaga dan di setiap sudut benteng didirikan bastilon atau cakruk sebagai rumah penjagaan,” tulis Sutrisno.
Menurut sejarawan Adolf Heuken dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, serangan kedua Mataram pada (21 Agustus–2 Oktober) 1629 yang disiapkan lebih lama juga gagal. Penyebabnya, logistik Mataram dihancurkan VOC, angkatan lautnya lemah, dan jarak antara Jawa Tengah dan Batavia jauh, sehingga prajurit capai apalagi membawa meriam-meriam yang berat.
Baca juga: Mataram Batal Menyerang Banten
Karena takut dihukum bila pulang tanpa kemenangan, cukup banyak pasukan Mataram yang menetap di sekitar Batavia yang kosong penduduknya, di antaranya di daerah yang sekarang bernama Matraman (dari kata Mataram) di Jakarta Timur.
“Namun, kurang lebih lima puluh persen angkatan perang Sultan Agung mati karena kelaparan, penyakit, kecapaian, hukuman, dan peluru Belanda,” tulis Heuken.
Sultan Agung memang gagal mengalahkan VOC. Namun, VOC sendiri kehilangan gubernur jenderalnya. Jan Pieterszoon Coen meninggal dunia karena penyakit kolera pada 20 September 1629.