Jatuhnya Wirasaba (sekarang Mojoagung) ke tangan Mataram pada 1615, membuat bupati-bupati daerah timur (Surabaya, Tuban, Japan, dan Madura), merapatkan barisan. Pada 1616, mereka berkumpul di Surabaya untuk mempersiapkan menyerang Mataram.
Dalam menentukan rute yang akan ditempuh, seorang kajineman (mata-mata) menyarankan agar mengambil jalan lewat Madiun, karena tanahnya datar, beras murah, dan banyak air. Namun, seorang mata-mata Mataram, Randu Watang, yang telah lama bekerja pada adipati Tuban, melarangnya.
"[Karena] Madiun, Jayaraga, dan Ponorogo ada di bawah kekuasaan Mataram, dan untuk melalui tempat-tempat tersebut, mereka harus bertempur berat. Ia menganjurkan untuk mengambil jalan melalui Lasem dan Pati. Nasihat yang buruk ini disetujui, dan penasihat yang baik (kajineman) itu dibunuh," tulis H.J. de Graaf, ahli sejarah Jawa, dalam Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung.
Baca juga: Mata-Mata Pembunuh Sultan Demak
Pasukan sekutu bergerak sampai mendekati wilayah musuh. Mereka berkemah di Siwalan, terletak dekat Pajang. Mereka berkemah di sana mungkin karena akan mendapatkan bantuan dari Pajang. Namun, Pajang batal bergabung dan kembali kepada Mataram.
Pasukan Mataram di bawah Tumenggung Martalaya dan Jaya Suponta memotong jalur pasokan makanan. Pasukan sekutu pun berperang dalam keadaan lapar dan sakit. "Adipati Tuban yang malu karena kebohongan mata-matanya telah menyesatkan sekutu, memberanikan diri menyerang terlebih dahulu. Akan tetapi tembakan-tembakan lawan menghalau kembali pasukannya, yang sambil melarikan diri sebagian masuk ke dalam rawa," tulis De Graaf.
Esok harinya serangan kedua dipimpin oleh adipati Japan (Mojokerto) yang berakhir dengan kekalahan total bagi sekutu. Pasukan Surabaya dan Madura juga tidak bisa bertahan. Mereka dihabisi dalam pelarian.
Adipati Japan melakukan perlawanan hingga gugur. Atas perintah Raja Mataram, Sultan Agung, yang memuji keberaniannya, adipati Japan dimakamkan di Butuh, sebelah raja Pajang. Sementara itu, adipati Tuban berhasil melarikan diri.
Mataram Menaklukkan Tuban
Sekitar tiga tahun setelah pertempuran di Siwalan, Sultan Agung memerintahkan Tumenggung Martalaya dan Jaya Suponta untuk menyerang Tuban. Sebelumnya, kakeknya, Senopati, gagal menaklukkan Tuban.
"Serangan ini gagal karena kota itu pada peralihan tahun 1598-1599 masih berkembang dengan pesat, dan penduduknya menyebut rajanya sebagai raja yang paling berkuasa di Jawa," tulis H.J. de Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senopati.
Mata-mata kembali berperan dalam menentukan penyerangan ke Tuban. "Raja Mataram mengirim seorang mata-mata bernama Randu Watang ke sana. Randu Watang memberitahukan kepada raja bahwa Pangeran Dalem akan mengadakan pemberontakan," tulis De Graaf.
Randu Watang menyimpulkan Pangeran Dalem akan melakukan pemberotakan karena bupati Tuban ke-17 itu, membangun pagar tembok dan benteng pertahanan di luar kota di Guwa Gabar. Benteng pertahanan yang paling besar dinamai Kumbakarna yang dibangun oleh Muhammad Sasnagari, modin Mojoagung dari Cempa.
“Mungkin bangunan pertahanan itu juga telah berjasa dalam mematahkan serangan tentara Mataram yang dikirim oleh Senopati pada 1598 dan 1599,” tulis De Graaf.
Baca juga: Tjong Ling, Mata-mata Sultan Banten
Serat Kandha menggambarkan jalannya pertempuran. Adipati Pati mengusulkan serangan kilat, tetapi Tumenggung Martalaya lebih menghendaki menunggu sampai pasukan Tuban keluar. Patih Tuban, Jaya Sentana, menasihatkan agar pasukan istimewa maju terlebih dahulu. Adipati Tuban menolak karena mengandalkan sepenuhnya pada tiga meriam yang mempunyai kekuatan gaib. Meriam-meriam itu ditempatkan di atas tembok. Namun, dua meriam kemudian meledak yang membunuh banyak kawan dan lawan. Meriam ketiga macet tidak bisa melepaskan tembakan.
Babad Tanah Djawi menyebut dua nama meriam itu: Sidamurti dan Pun Gelap. Yang pertama membunuh tiga adipati, yang lainnya, sebuah pusaka tua meledak. Orang-orang Tuban terkejut karena menganggapnya sebagai pertanda kekalahan.
Dalam Babad Sangkala disebutkan bahwa pasukan Mataram menaklukkan Tuban (bedahing Tuban) pada 1619. Adipati Tuban melarikan diri ke arah Giri, tetapi kapalnya, Indra Jala, tertelan ombak. Sedangkan Serat Kandha menyebut adipati Tuban lari ke Balaga di Madura.
Serat Babad Tuban memuat cerita berbeda. Setelah pertempuran hebat, awalnya Tuban memenangkan pertempuran, namun kemudian kota itu dikepung oleh pasukan Mataram yang dipimpin oleh Pangeran Pojok. Pangeran Dalem melarikan diri ke Pulau Bawean. Selanjutnya dia pindah ke Desa Rajek Wesi. Lima tahun kemudian dia meninggal dunia dan dimakamkan di Kampung Kadipaten (sebelah timur Kabupaten Bojonegoro). Makamnya kemudian disebut Buyut Dalem.
"Setelah penaklukkan kota, meriam wasiat, Kiai Sidamurti, menghilang," catat De Graaf. "Pangeran Pojok menjadi bupati Tuban yang hancur tepat pada hari Gerebek Maulud."