RELIEF Gandawyuha terpahat di 460 panel relief pada lorong dua, tiga, dan empat Candi Borobudur. Ia bercerita tentang anak muda bernama Sudhana yang berkelana mencari pengetahuan dan kebijaksanaan tertinggi. Dia melakukan perjalanan religi keliling India menemui berbagai guru dan para sahabat spiritual (mitreka satata).
Kisah itu diperkirakan muncul pada awal abad 1 M di India Selatan kemudian menyebar ke seluruh Asia. Dalam kepercayaan Buddha Mahayana, Gandawyuha dikenal sebagai bagian terakhir atau bab 34 dari sutra besar, Sutra Avatasamka.
“Tokoh Sudhana dalam seni religius di Cina, Tibet, atau Jepang sering digambarkan dalam gulungan kain atau gambar di kertas,” kata Mudji Sutrisno, dosen filsafat Pascasarjana Universitas Indonesia, dalam pidato pembukaan “Borobudur Writers and Cultural Festival” ke-6 di Hotel Grand Inna Malioboro, Yogyakarta, Kamis (23/11).
Sedangkan di Borobudur, perjalanan spiritual Sudhana dipahat di atas batu sedemikian panjang. “Mengapa para arsitek Borobudur memilih memahatkan kisah sutra Gandawyuha bukan sutra yang lain? Itu adalah pertanyaan besar,” kata Mudji yang pernah mempelajari zen di Summer Course Religion and Arts di Ichigaya Sophia University of Tokyo, Jepang.
Mudji menambahkan bahwa John N. Miksic, arkeolog National University of Singapore, pernah mengatakan Gandawyuha diterjemahkan secara komplet dalam bahasa Cina pada 798 M oleh seorang rahib bernama Prajna. Sumbernya adalah manuskrip Gandawyuha yang diberikan oleh Raja Orissa, India, kepada penguasa Cina. Gandawyuha kemudian sangat populer di Cina terutama masa Dinasti Song tahun 960-1279 M.
“Ini menurut Miksic, tetapi ada indikasi para pemahat Borobudur tatkala memahat relief Gandawyuha sudah memegang atau merujuk versi komplet sebelum terjemahan ke dalam bahasa Cina selesai,” ujar Mudji.
Pada masanya, relief Gandawyuha di Borobudur telah menyajikan sebuah visi pluralis. Misalnya, terdapat sosok Mahadewa yang merupakan ikon dewata Hindu. Sosok ini digambarkan lengkap dengan ciri atribut Siwa. “Ini berbeda dengan yang di Cina atau Tibet. Di sana Buddha sama sekali menghilangkan bau Hindu,” lanjut Mudji.
Sementara itu, menurut Hudaja Kandahijaya, cendekiawan Buddhis yang meneliti Candi Borobudur, hanya 25 persen guru yang ditemui Sudhana berasal dari kalangan Buddha. Sebanyak 25 persen lainnya adalah makhluk halus, termasuk Mahadewa. Sisanya yang 50 persen berasal dari kalangan lain termasuk Brahmana, cendekiawan, profesional, politikus, dan perumahtangga (umat awam yang hidup berkeluarga). Tak segan pula Sudhana menemui seorang pelacur kelas tinggi bernama Vasumitra. Pasalnya, dalam pandangan Buddha Mahayana semua makhluk bisa ambil bagian dalam hakikat Buddha.
“Kebenaran dalam perspektif Gandawyuha bisa datang dari segala lapisan sosial manapun,” kata Mudji.
Menurut Mudji, pendapat Hudaja Kandahijaya ini sangat penting. Pembangunan berurutan dua candi besar, Borobudur dan Prambanan, di masa Syailendra sama sekali bukan karena persaingan atau kompetisi agama. “Itu melainkan karena ajaran kebenaran yang tunggal,” jelasnya.
Karenanya, Mudji menyatakan relief Gandawyuha bisa menjadi payung untuk mendiskusikan berbagai pengalaman religi dalam semua agama. Tak terbatas pada agama besar, tetapi juga agama-agama yang muncul dari bumi Nusantara yang selama ini termarjinalkan. “Pencarian ketuhanan dalam kisah Gandawyuha sangat universal. Kisah ini mencerminkan tingkat toleransi agama yang tinggi,” katanya.