PADA 24 Februari 1757 Raden Mas Said menyerah kepada Sunan Pakubuwana III, raja Surakarta. Dia dikenal sebagai Pangeran Samber Nyawa yang gigih menentang VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur). Perlawanan itu mungkin karena ayahnya, Mangkunegara, diasingkan oleh VOC ke Srilanka.
Mas Said bersekutu dengan Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) melawan Pakubuwono III, raja Surakarta, yang didukung VOC. Namun, VOC berhasil mendamaikan Mangkubumi dan Pakubuwono III lewat Perjanjian Giyanti, yang membagi bekas wilayah Kerajaan Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta.
Mas Said yang tak dilibatkan dalam perjanjian itu kemudian melawan tiga kekuatan sekaligus: Surakarta, Yogyakarta, dan VOC. Dia melawan mertuanya sendiri karena dia menikahi putri sulung Mangkubumi, Ratu Bendara. Pada Oktober 1755, dia berhasil mengalahkan satu pasukan VOC. Dia juga nyaris membakar istana baru di Yogyakarta pada Februari 1756.
Baca juga: Tulisan MC Ricklefs yang lebih lengkap tentang asal-usul Pangeran Samber Nyawa
Menurut sejarawan MC Ricklefs, pasukan-pasukan Surakarta, Yogyakarta, dan VOC tidak sanggup melawan Mas Said, tetapi jelas pula dia tidak mampu menaklukkan Jawa karena menghadapi gabungan kekuatan itu. Maka, dia mulai mengadakan perundingan-perundingan pada 1756.
“Bulan Februari 1757 dia menyerah kepada Pakubuwana III dan bulan Maret di Salatiga, dia resmi mengucapkan sumpah setia kepada Surakarta, Yogyakarta, dan VOC,” tulis Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
Dalam Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 tersebut juga dibahas kedudukan, pangkat, dan penghasilan Mas Said. Dia diangkat sebagai Pangeran Miji yang kedudukannya di bawah Sunan Pakubuwana III. Dia memakai gelar Pangeran Adipati Mangkunegara I (memerintah 1757-1795).
Dia mendapat tanah 4.000 cacah dari Pakubuwana III, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari Hamengkubuwono I. Daerah kekuasaannya terletak di Keduwang, Laroh, Matesih, dan Gunung Kidul. Wilayah itu berada di sekitar Surakarta tenggara dan sebagian lagi di timur Yogyakarta.
Baca juga: Tarian perang Pangeran Samber Nyawa
“Setelah peperangan tidak lagi menjadi satu-satunya cara untuk mempersatukan kembali kerajaan, maka Sultan Hamengkubuwono I, Pangeran Mangkunegara I, dan Susuhunan Pakubuwana III kini lebih banyak terlibat permainan diplomasi perkawinan yang rumit,” tulis Ricklefs.
Putra tertua Mangkunegara I menikahi putri sulung Pakubuwana III. Namun, Mangkunegara I membeci Hamengkubuwana I sampai akhir hayat karena yakin mertuanya itu memaksa putrinya untuk bercerai.
Mangkunegara I meninggal pada 12 Desember 1795 di usia 70 tahun. Dia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 1988 karena dianggap berjasa melawan VOC.
Baca juga: Otobiografi tertua di Jawa adalah karya Mangkunergara I atau Pangeran Samber Nyawa