Arjuna singgah di sebuah pertapaan di tengah hutan dalam perjalanannya menuju Gunung Indrakila. Pertapaannya indah. Dinding-dindingnya dihiasi lukisan adegan dari kisah Ramayana.
Melihat Arjuna datang, dua orang pertapa perempuan (kili) menghampiri. Dari sikapnya, kedua kili itu seperti pernah dibesarkan di keraton. Rupanya mereka menganggap ringan sikap ingin melepaskan diri dari hal-hal duniawi, sehingga mau menyepi ke pertapaan.
Kedua kili itu dirundung rasa ingin tahu, siapakah gerangan pemuda rupawan bagai dewa asmara yang kini tengah beristirahat di atas bale-bale itu? Pura-pura mereka menundukkan pandangan, bersikap malu-malu. Namun, mereka tak sanggup menyembunyikan perasaan mereka sesungguhnya. Mereka pun menduga si tamu tak lain adalah Arjuna.
Arjuna pun segera menerangkan maksud kedatangannya. Dari kedua kili itu, dia tahu kalau pertapaan itu bernama Wanawati. Pendirinya bernama Mahayani, seorang perempuan berdarah ningrat dari kalangan keraton.
Kedua kili kemudian mengantar Arjuna ke bagian dalam pertapaan, di mana Mahayani tinggal. Dari Mahayani, Arjuna mendapatkan pelajaran mengenai rajas, tamas, dan satva, yaitu pelajaran tentang pengendalian nafsu, keikhlasan, dan sifat-sifat lain yang selalu membelenggu manusia.
Malam harinya, ketika semua sudah terlelap, seorang kili mendatangi bilik Arjuna. Kepada sang Dananjaya, dia menyatakan cinta. Kili itu mengaku, ketika masih hidup di keraton, dia sudah jatuh cinta dengan Arjuna. Kini perasaan itu masih berkobar. Dia bahkan rela terpergok dan dilaporkan kepada Mahayani. Namun, Arjuna menolak cintanya dan menasihati untuk mengendalikan hawa nafsu.
Begitulah kehidupan pertapa perempuan dalam cerita Parthayajnya. Seseorang yang memutuskan menjadi pertapa harus rela meninggalkan segala kemewahan, nafsu duniawi dan hidup menyepi. Kehidupan yang demikian berat nyatanya juga menjadi pilihan bagi perempuan.
Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa menerangkan, dalam pertapaan yang disebut tapowana atau pajaran umumnya dipimpin seorang mahaguru laki-laki. Dia biasanya membawahi seorang pertapa perempuan yang disebut ubwan. Tempatnya disebut Panubwanan. Di tingkat bawahnya ada pertapa laki-laki yang disebut manguyu.
“Terakhir adalah pertapa laki-laki dan perempuan yang paling rendah tingkatannya yang punya sebutan macam-macam, mereka tinggal di lembah dalam bangunan yang disebut yasa atau rangkang,” jelas Titi.
Baca juga: Mandala kadewaguruan tempat menyepi dan belajar agama
Gambaran pertapa perempuan
Penggambaran keberadaan pertapa perempuan muncul dalam berbagai media: kesusastraan, relief, bahkan arca. Dalam Kakawin Sutasoma yang digubah Mpu Tantular pada abad ke-14 M menyebut pertapa perempuan dengan istilah kili dan walkali. Sementara Kakawin Arjunawijaya menyebutnya tapi. Teks Ramayana juga menyebut pendeta perempuan yang tinggal di hutan, berpakaian kulit kayu, dan hanya makan buah-buahan.
Baca juga: Puasa zaman Gajah Mada
Adapun dalam Kakawin Krsnayana disebutkan salah seorang dayang Rukmini yang telah berumur, pernah menjadi seorang kili. Sang dayang kemudian menuturkan pengalamannya ketika berkeliling mencari derma. Dalam perjalanannya, dia sempat melihat Keraton Dwarawati, tempat tinggal Kresna. Selama sepuluh hari dia dapat menikmati keindahan keraton itu dengan diantar seorang kawan.
“Cara hidup seorang pertapa yang keras itu untuk beberapa hari ditinggalkannya," tulis Mpu Triguna pada masa Kadiri abad ke-12 M.
Kemudian dalam Kakawin Sumanasantaka kata kili muncul pada awal kisah. Ketika pertapa Brahmin Trenawindu, murid Agastya, mengira seorang bidadari yang ditugasi menggoda tapanya sebagai seseorang yang ingin menjadi kili.
Penggambaran lain juga muncul dalam relief kisah Parthayajnya di dinding Candi Jago, Malang. Melihat reliefnya, para kili itu mengenakan tata rambut yang biasa dikenakan seorang rohaniawan. “Bentuk tatanan di kepala itu lebih cocok bagi seorang perempuan,” tulis P.J. Zoetmulder, pakar sastra Jawa Kuno, dalam Kalangwan.
Sementara arca pertapa perempuan ditemukan di Kediri dari sekira abad ke-11 atau 12 M. Kini arca itu menjadi koleksi Museum Nasional, Jakarta.
Baca juga: Harga mahal di balik patung gajah Museum Nasional
Arca perempuan itu digambarkan duduk bersila. Rambutnya terbungkus lilitan kain, sehingga tampak seperti gundukan besar di atas kepalanya. Bahu kanannya terbuka, kecuali itu dia memakai kain yang digunakan dengan melilitkannya di pundak dan tubuhnya. Sebelah tangannya tampak menyangga mangkuk di atas pahanya.
Dewi Kili Suci
Kata kili juga menjadi tak asing jika dihubungkan dengan kisah tradisi Dewi Kili Suci. Cerita rakyat ini menempatkannya sebagai putri mahkota Raja Airlangga, Sri Samgramawijaya Dharmaprasadottunggadewi yang menolak takhta dan lebih memilih menjadi pertapa.
Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti menjelaskan, identifikasi Kili Suci dengan Sri Samgramawijaya Dharmaprasadottunggadewi hingga kini tidak didasarkan atas petunjuk yang tegas. Namun, memang benar kalau berdasarkan prasasti Samgramawijaya sekira tahun 959 Saka (1037 M) telah melepaskan haknya sebagai putri mahkota. Lalu pada 964 Saka (1042 M) Airlangga menempatkan anaknya di dalam tempat suci dharma gandhakuti di Kamban Sri. Itu meski tak jelas apakah anak yang dimaksud laki-laki atau perempuan.
“Maka mungkin sekali tradisi Kili Suci itu berdasarkan fakta sejarah, atau kalau nanti ternyata anak Airlangga yang disebut dalam Prasasti Gandhakuti ternyata seorang lelaki, tradisi telah mencampur kedua fakta sejarah itu,” jelas Boechari.
Boechari pun mengatakan bukan hal aneh jika seorang ayah pada masa lalu menempatkan putrinya ke dalam kabikuan. Dalam Prasasti Taji dari 823 Saka (901 M) diketahui kalau Rakryan I Watutihan pu Samgramadurandhara telah menempatkan anak perempuannya, Rake Sri Bharu dyah Dheta, istri Samgat Dmun pu Cintya ke dalam kabikuan i Dewasabha.
Baca juga: Islamisasi Jawa menurut Tome Pires
Pada masa yang lebih modern, para pertapa perempuan itu masih bisa disaksikan oleh penjelajah asal Portugis, Tome Pires. Dalam Suma Oriental, dia mencatat ketika tiba di Jawa pada awal abad ke-16 M ada kurang lebih 50.000 pertapa di Jawa. Di antara mereka banyak pula yang perempuan.
"Mereka tidak menikah dan tetap perawan," catat Pires.
Para pertapa itu membangun rumah di tempat terpencil, seperti pegunungan dan tinggal di sana hingga akhir hayatnya. Seperti juga pertapa laki-laki, mereka meminta makanan (derma) dengan berkah Dewata sebagai balasan.
Beberapa orang lainnya memutuskan untuk menjadi pertapa setelah mereka kehilanga suami pertamanya. Mereka ini menolak membakar diri. Pires mencatat jumlah mereka konon lebih dari 100.000 perempuan. Mereka hidup dalam kesucian hingga mati.
Baca juga: Tradisi perempuan membakar diri karena suaminya meninggal